Seharusnya, perubahan UU Desa tidak saja berbasis profesi aparat desa, tetapi juga berbasis potensi desa.
Oleh
GUNAWAN
·3 menit baca
Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah telah menyetujui materi yang akan masuk dalam Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Materi tersebut tentang penambahan masa jabatan kepala desa dan badan permusyawaratan desa atau BPD, penambahan hak mendapatkan perlindungan hukum bagi kepala desa, dan pemberian tunjangan purnatugas kepada kepala desa, perangkat desa, dan anggota BPD (Kompas.id, 8/2/2024).
Seharusnya, perubahan UU Desa tidak saja berbasis profesi (kepala desa, perangkat desa, dan BPD), tetapi juga berbasis potensi desa, yaitu sumber-sumber agraria di desa yang dapat dipergunakan sebagai sarana pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Undang-Undang Desa menjadikan potensi desa sebagai salah satu pertimbangan dalam pembentukan desa.
Potensi desa sebagaimana tersebut di atas perlu diatur lebih komprehensif dalam Perubahan UU Desa mengingat adanya sejumlah permasalahan. Pertama, wilayah desa yang dianggap masuk areal konsesi.
Kedua, ketidakpastian pascarekognisi atau pengakuan atas aset desa terkait sumber-sumber agraria, seperti hutan milik desa dan mata air milik desa. Ketiga, ketidakpastian kewenangan desa terkait pembangunan kawasan perdesaan di sekitar kawasan pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
Desa dalam konsensi
Undang-Undang Desa telah mengatur bahwa penataan desa diatur melalui peraturan daerah (perda) kabupaten dengan persetujuan gubernur dan sepengetahuan kementerian yang menangani desa. Perda sebagaimana dimaksud disertai dengan peta desa. Meski telah disertai peta desa, masih banyak desa yang terkendala pembangunannya karena wilayah desa dianggap oleh badan usaha masuk di areal konsensinya.
Dengan desa ditetapkan melalui produk hukum sebagaimana dimaksud di atas, seharusnya pemerintah daerah dan pemerintah pusat membela desa sebagai produk hukum pemerintah, dan badan usaha tidak menghalang-halangi pembangunan desa di wilayah desa dengan anggapan wilayah desa tersebut masuk di areal konsensinya sampai dengan perda pembentukan desa tersebut dibatalkan.
Meskipun permasalahan sebagaimana tersebut di atas telah menjadi program pemerintah sejak Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019, hingga disahkannya Peraturan Presiden Nomor 62/2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria yang mengatur redistribusi tanah dan penyelesaian konflik agraria tidak ada regulasi yang mengatur secara spesifik permasalahan sengketa/konflik wilayah desa dengan areal konsensi.
Seharusnya pemerintah daerah dan pemerintah pusat membela desa sebagai produk hukum pemerintah.
Pascarekognisi
Aset desa memiliki arti penting karena memperlihatkan keterjalinan antara rekognisi dan kewenangan desa dalam pengelolaan sumber-sumber agraria yang merupakan aset desa. Namun, UU Desa tidak memberikan pengaturan setelah rekognisi dilakukan. Misalnya dalam hal hutan milik desa, di dalam regulasi kehutanan yang dikenal adalah hutan desa, tanpa kata milik, yaitu hutan negara yang dikelola desa.
Oleh karena itu, perlu diperinci pengaturan hutan milik desa. Selain itu di dalam kebijakan dan pengaturan terkait kehutanan, dalam rangka redistribusi sumberdaya produktif, tidak hanya melalui pelepasan kawasan hutan dalam rangka reforma agraria, dan perhutanan sosial, tetapi juga hutan milik desa.
Meskipun UU No 17/2019 tentang Sumber Daya Air telah memberikan kewenangan kepada pemerintah desa dalam pengelolaan air dan memberikan Badan Usaha Milik Desa sebagai salah satu prioritas utama dalam pengusahaan sumber daya air, tetapi tidak mengatur terkait mata air milik desa sehingga perubahan UU Desa seharusnya memperjelas hal tersebut.
Pembangunan kawasan
Undang-Undang Desa telah mengatur pembangunan kawasan perdesaan. Namun, UU Desa tidak mengatur bagaimana keterjalinan antara pembangunan kawasan perdesaan dan pengembangan kawasan di sekitarnya, seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perairan pesisir.
Seharusnya kawasan di sekitar kawasan perdesaan mendukung pembangunan kawasan perdesaan yang berguna dalam rangka transformasi perdesaan untuk mewujudkan transformasi sistem pertanian-perikanan berbasis masyarakat desa.
Undang-Undang Desa menyebut tambatan perahu sebagai salah satu aset desa. Pengaturan tersebut dapat dikembangkan dalam perspektif pembangunan kawasan perdesaan pesisir. Demikian halnya dengan kewenangan desa terkait pertanian organik dan pengembangan benih lokal sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah dan Transmigrasi (Permendesa PDTT) No 1/2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa, dapat dikembangkan dalam rangka sistem jaminan pertanian organik berdasarkan yurisdiksi desa.
Terlebih, Peraturan Pemerintah No 17/2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi telah memberikan mandat kepada pemerintah desa untuk melakukan pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran cadangan pangan desa sehingga menjadi penting peranan desa dalam pengembangan kawasan pertanian pangan berkelanjutan.
Dalam rangka mendukung kinerja pemda dalam pengembangan perkebunan sawit berkelanjutan, pemda dapat melibatkan partisipasi desa sehingga penilaian usaha perkebunan tidak hanya untuk mendukung pelaksanaan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) daerah, tetapi juga untuk mendukung pelaksanaan pencapaian SDGs Desa, karena di kawasan perdesaan perkebunan sawit itu berada, sehingga dampaknya kepada permasalahan kemiskinan, pangan, infrastruktur, dan kelestarian lingkungan hidup dapat langsung dinilai secara faktual.
Demokrasi desa
Prakarsa desa sangat penting dalam pengembangan potensi desa sehingga perihal tersebut perlu diakomodasi dalam perubahan UU Desa dengan cara pemerintah dan DPR memfasilitasi partisipasi desa secara lebih bermakna dalam pembahasan Rancangan Perubahan UU Desa.
Proses tersebut di atas tidak hanya akan mengembangkan potensi desa, tetapi juga mendemokratiskan desa dan mendesakkan demokrasi, dalam pengertian demokrasi yang berkedaulatan rakyat, yaitu dari, oleh, dan untuk rakyat, yang bersandar pada nilai-nilai tradisional yang berakar di perdesaan.
Gunawan, Penasihat Senior IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice) dan Penasihat ADeSI (Asosiasi Desa Sawit Indonesia)