Petruk
Setiap orang, meski yang tidak pantas sekalipun, sedikit banyak bernafsu ingin jadi raja.
Artikel yang ditulis YB Mangunwijaya (almarhum) dan diterbitkan Kompas pada edisi 20 Januari 1997 ini kami terbitkan kembali untuk mengenang YB Mangunwijaya yang meninggal 25 tahun lalu, pada 10 Februari 1999. (Redaksi)
Ada lakon wayang Jawa: Petruk Jadi Raja. Si budak nakal tukang ngawur Petruk aneh sekali oleh suatu daya magis mendadak mengalahkan para kesatria penguasa lalu menjadi raja. Tentu saja raja karikatur konyol sewenang-wenang. Yang akhirnya hanya dapat dikalahkan oleh sang ayah tua bijak Semar, simbol dari segala yang arif dan baik.
Komedi serba tak keruan yang jelas bukan buah ciptaan pujangga istana itu sebenarnya pelambangan universal dari gejala universal juga, yakni setiap orang, meski yang tidak pantas sekalipun, sedikit banyak bernafsu ingin jadi raja. Tragislah misalnya fenomena mantan sersan Bokassa yang 1976 mengudeta presidennya, lalu kekanak-kanakan memahkotai diri meniru Napoleon menjadi kaisar sok hebat di jantung Afrika teramat miskin; konon kemudian jadi kanibal; akhirnya digulingkan oleh yang ia kudeta dulu dan mati di pengasingan. Kisah unik. Tetapi dalam aneka bentuk peristiwa Bokassa sebetulnya gejala umum.
Sejarah bangsa manusia 5.000 tahun terakhir telah merekam pentasan sekian ratus kaisar raja sultan sunan pangeran yang selalu dimitoskan sebagai keturunan dewa atau kekasih dewi, bahkan tak jarang mengklaim diri sebagai tuhan pujaan. Kemudian sekian diktator, presiden kudeta, big boss, presdir taipan, jenderal warlord, godfather mafia yakusha triad maupun jagoan preman, mandor mini. Atau biasa: ayah/suami tiran paternalistik maternalistik yang terdapat di negara maju apalagi di negara berkembang ataupun terbelakang.
Si budak nakal tukang ngawur Petruk aneh sekali oleh suatu daya magis mendadak mengalahkan para kesatria penguasa lalu menjadi raja.
Revolusi Perancis yang spektakuler memenggal leher raja mutlak toh masih juga menghasilkan Napoleon kaisar. Pendahulunya, revolusi kaum borjuasi USA membuahkan elite ningrat baru, para raja kapas, ternak, tambang-tambang emas, minyak, industri serta bisnis besar, dengan demokrasi oligarki borjuis kaya yang menyerambah di dunia Barat seumumnya. Dengan atau tanpa raja warisan budaya agraris.
Kini ideal dan realisasi nafsu ingin jadi raja sudah beragam amat banyak di segala lapisan maupun bentuk, yang gelagatnya baru dapat diatasi (mudah-mudahan) dalam milenium yang akan datang. Terutama sebagai buah interaksi dan interkomunikasi global yang pelan tetapi pasti mengemansipasi rakyat kebanyakan, sehingga akhirnya sesudah menggejala minimum 5.000 tahun sosok raja, jagoan, bos, atau penguasa agama mahkota raja, dalam abad ke-21 akan menjadi bahan cerita belaka tentang nun-di-zaman-dahulu-kala atau kisah konyol Petruk Jadi Raja.
Zaman lain sedang datang
Di Jepang, Jerman, Perancis, Eropa seumumnya, juga di Afrika, Asia, Indonesia tak terkecuali, bahkan di ambang sejarah kuno Mesir, Mesopotamia, Cina, kita melihat bagaimana selama ribuan tahun massa rakyat tunduk penuh takut kepada suatu kelompok kecil kaum istana, tepatnya kaum penguasa senjata. Orang kebanyakan harus berkorban demi kelompok amat sedikit yang penuh kemewahan, diperdewa dan diperidola. Begitu efisien sistem kekuasaan mutlak berdasarkan ketakutan itu sehingga mereka yang diperintah sungguh amat berbahagia bila dapat berkenan kepada yang menjajahnya, memperkukuh kedudukan sang tuan, sehingga perbudakan terhadap dirinya semakin terkonsolidasi dan terlembaga semakin parah.
Kolonialisme dan imperialisme tidak hanya dikerjakan oleh bangsa bule dan diterapkan kepada bangsa-bangsa kulit berwarna, tetapi juga terhadap bangsanya sendiri, bahkan hidup di kalangan kaum intelektual dan rohaniwan tertinggi pun. Apalagi di benua-benua berwarna oleh bangsa berwarna terhadap rakyat sama-sama berwarna. Selaku hasil involusi psikologi ketakutan dan penakutan massal yang sampai sekarang pun masih real menggejala di mana-mana. Sampai banyak pakar atau selalulah ada yang kaya dan ada yang miskin, ada yang menguasai dan yang dikuasai. ”Ini hukum alam”. Yang didukung oleh jenis cendekiawan ”daulat tuanku”, para pujangga istana dan pandita-resi ”kahyangan para dewa”. Apakah sampai seterusnya akan begitu selama matahari terbit di ufuk timur?
Gelagat tendensi perjalanan sejarah dunia kini rupa-rupanya mengatakan: tidak. Khususnya dengan datangnya dunia industri massa dan kini pendidikan informal spontan lewat komunikasi massa yang terjangkau sampai di pelosok rimba atau pulau terpencil pun. Sudah menyebarluaslah sebentuk virus amat menular, tetapi dalam arti positif, yang membalikkan arah kesadaran bangsa manusia. Memang Petruk-petruk model baru di mana-mana masih saja bermunculan dan menuntut atau merekayasa pemujaan diri sebagai tuhan-tuhan modern, mengganti para raja tradisional, tetapi evolusi kesadaran manusia jelas mengarah ke kiblat membalik dengan koordinat lain.
Ribuan tahun hampir semua tata negara berbentuk kerajaan. Mulailah tampak kemudian tanda-tanda pertama tuntutan partisipasi dan pembagian kekuasaan. Di komunitas-komunitas kecil seperti Banda kuno, orang sudah lama tidak mengenal raja. Pemuka mereka disebut orang-kaya yang terbingkai dalam pengaturan bersama demokrasi awal. Di negeri Minang, figur sultan juga tidak ada. Di zaman antik di kalangan suku-suku Indian, di Yunani, Swiss, dan kelak Negeri Belanda suatu bentuk persekutuan penata-masyarakat tumbuh yang kelak menjadi republik. Inggris sudah amat lama mengenal kerajaan tanpa penguasa raja mutlak. Bentuk republik dipilih oleh hampir semua negara baru di Asia, Afrika, Amerika Latin. Sebentar lagi Australia, bahkan Inggris juga.
Sebenarnya sebagai tokoh nomor 1 dan 2 mereka tidak punya modal apa-apa... kecuali, ya kecuali sinar kepribadian, keharuman integritas serta kejujuran mereka.
Bersamaan dengan itu semakin keroposlah sendi dan mitos pemerintahan berdasarkan ketakutan Si Banyak yang tunduk karena serba berkekurangan dan tak berdaya kepada Sang Sedikit yang berkuasa hidup mewah. Semakin dihalaulah model brutal singa beruang harimau maupun yang harus sekali gaya cacing tambang.
Tirani tradisional kasta kesatria militer yang berkolaborasi atau berkolusi dengan kaum modal (tanah, uang, organisasi) serta kaum sarjana/pakar yang menguasai pengetahuan dan informasi secara alamiah akan impoten akibat proses incest penyebab kanker. Dan kesewenang-wenangan paternal maternal ayah/induk suami/istri/lover Mr, Mrs, and Ms Chauvinistic Pig semakin rontok karena ditertawakan generasi baru.
Hikmah awal RI
Sehubungan dengan evolusi sejarah kesadaran bangsa manusia tadi, hikmah Revolusi Indonesia 1945-1955 sangatlah berharga karena amat jelas memperlihatkan perbedaan antara otoritas yang berdasarkan kekuasaan/ketakutan dan yang bersendi kewibawaan/penghargaan. Soekarno-Hatta dulu punya otoritas praktis yang boleh dikatakan mendekati mutlak, meski tanpa etasisme, bahkan dalam kerangka demokrasi bagus yang amat saling mendengar dan berdialog dalam proses real kedaulatan rakyat.
Semua krisis dan kemacetan negara pada instansi terakhir hanya dapat dan nyatanya diatasi oleh dua tokoh itu. Bukan oleh pimpinan partai-partai atau komandan laskar dan serikat buruh, bukan pula oleh perdana menteri ataupun panglima besar sekalipun.
Namun, Soekarno-Hatta pada hakikatnya tidak berkuasa dalam arti kerajaan tradisional, dan real juga tidak mungkin berkuasa seperti itu karena tidak punya uang atau pasukan pengawal elite khusus seperti Napoleon, Hitler, atau Mao Ze Dong. Sebenarnya sebagai tokoh nomor 1 dan 2, mereka tidak punya modal apa-apa... kecuali, ya kecuali sinar kepribadian, keharuman integritas serta kejujuran mereka. Dan last not least berkat keteguhan mereka tak dapat tergoda untuk menumpuk harta pribadi dan keluarga meskipun bisa, seperti Mahatma Gandhi ataupun Ho Chi Minh.
Pada zaman itulah signifikan sekali disarankan perubahan nama pangreh-praja (konotasi penguasa menakutkan) menjadi pamong-praja (konotasi kewibawaan kaum bersih). Paduka yang mulia menjadi saudara atau bung (kecuali dalam peristiwa amat resmi, ini pun mengingat pandangan sekian mata internasional). Soekarno-Hatta tidak berkuasa, juga tidak pernah ditakuti, tetapi berwibawa, dihargai. Bahkan lebih dari itu, dicintai.
Sesudah Soekarno-Muda berubah menjadi penguasa Soekarno-Tua dengan sifat-sifat sultan atau diktator dan lebih suka berseragam militer daripada pakai baju putih rakyat biasa, ia mulai ditakuti. Namun, siapa tahu ia berfungsi justru sebagai peringatan sejarah bagi generasi muda.
Semua bangsa dan negara di dunia sepanjang sejarah panjang 5.000 tahun ini mengalami fase massa bagian terbesar rakyat harus membungkuk dan berkorban demi gengsi, kenikmatan dan kemewahan the happy few. Namun, benang merah evolusi bangsa manusia mengarah ke pemerdekaan massa rakyat itu dalam suatu proses emansipasi, baik finansial, fisik, mental, maupun spiritual. Tentulah jalan yang ditempuh serba penuh halangan dan kendala serta minta biaya tumbal banyak, tetapi di mana-mana semakin banyaklah manusia dan bangsa yang sadar akan harkat-martabat serta hak-hak asasi rakyat yang paling dina sekalipun. Dan yang berani membelahnya.
Tumbuhlah keragu-raguan serius, benarkah itu dalil kuno ”Selama bumi berputar, selalu ada yang miskin dan yang kaya, yang dikuasai dan yang menguasai?” Benar abadikah itu susunan aneh the happy few dan the suffering crowd itu? Betulkah ada orang yang bernasib menjadi dewa dan yang lain menjadi bolo-dhupakan (Bhs Jawa: orang banyak yang hanya pantas untuk disepak)?
Timbullah gagasan dan istilah seperti musyawarah, kemufakatan, demokrasi, konstitusi, parlemen, trias-politika, pertanggungjawaban pemerintah, akuntansi, emansipasi, hak-asasi, partisipasi, liberalisasi gerakan kiri, sosialisme, republik, pemilu, free enterprise, free press, academic freedom, kreativitas, inovasi, revolusi, demonstrasi, NGO, LSM, LKMD, dan sebagainya yang, meski sering belum sempurna bahkan menyeleweng dari insprirasi semula, pada garis besarnya menunjukkan suatu evolusi ke arah hapusnya sang penguasa raja tunggal de iure atau de facto, ataupun raja-raja monopoli, oligarki, ataupun nepotis, dan semakin didambanya bukan penguasa, melainkan manusia berwibawa. Bukan tipe-tipe Jenderal Tojo atau Kuomintang, melainkan Jenderal Sudirman yang tetap sederhana, bahkan tergolong miskin, tetapi dihargai dan dicintai. Tentu saja nama-nama yang disebut tadi adalah lambang- lambang karena setiap zaman setiap milenium meminta para wibawa yang lain relevan.
Timbal balik
Namun, manusia berwibawa sejati memang hanya dapat tampil maju jika rakyatnya memang konsekuen tidak suka pada orang kuasa belaka. Dengan kata lain, tidak bermental jongos, budak, atau babu yang cara hidupnya hanya dapat bertahan dengan menjilat atasan dan menginjak bawahan. Pemimpin siapa pun adalah cermin dari pengejawantahan dari mereka yang ia pimpin. Inilah kesulitannya, seolah-olah kita menghadapi lingkaran setan. Pemimpin korup membuat rakyat korup, tetapi pemimpin korup hanya dapat tampil dari rakyat korup juga. Sebaliknya yang positif juga terjadi.
Apakah lingkaran setan ini dapat dipatahkan? Tidak hanya dapat, tetapi pasti dan biasanya akan patah. Jikalau tidak oleh bangsa yang bersangkutan itu sendiri, ya nantinya oleh semua komunitas global yang tidak pernah statis. Yang mendukung suatu inti perintis pribumi generasi baru yang sungguh baru dan yang secara alamiah mengolah secara baru serta lebih baik zaman mereka. Berkat senjata Cakra (lingkaran), kata kearifan mitologi. Alias oleh perputaran waktu yang tak terkalahkan oleh penguasa siapa pun yang pasti menemui saat kematian mereka masing-masing, kata nalar sehat.
Juga dari pertimbangan iman kita yang meyakini perkembangan itu, dan yang dibenarkan oleh fakta-fakta historis empiris. Kecuali bila suatu nasion sudah begitu dibius dan diracuni sehingga telanjur steril sudah tidak dapat melahirkan generasi baru lagi. Atau ada yang disebut generasi baru, tetapi faktual sudah berjiwa kakek-nenek yang menunggu saat kematian. Saya kira Indonesia belum sampai begitu.
Baca juga : Indonesia yang Antifasis
YB Mangunwijaya, Budayawan