Indonesia yang Antifasis
Kita harus mencapai suatu Republik Indonesia yang sungguh-sungguh merdeka dari segala bentuk fasisme.
Artikel yang ditulis YB Mangunwijaya (almarhum) dan diterbitkan Kompas pada edisi 16 Juli 1998 ini kami terbitkan kembali untuk mengenang YB Mangunwijaya yang meninggal 25 tahun lalu, pada 10 Februari 1999. (Redaksi)
Reformasi total yang dicanangkan selaku agenda pasca-Soeharto seperti lazimnya akan dan sudah ditafsir macam-macam. Praktis tergantung sekali pada pribadi atau kelompok yang berkepentingan. Dengan skala gradasi dari ekstrem yang sungguh ingin reformasi total yang total betul, dan ekstrem lain yang ”total”-tetapi-tetap-seperti-dulu. Maka bertanyalah esai ini: siapakah yang beruntung dan karenanya dari kodratnya suka pada Orde Baru? Dan tentu saja sebaliknya, siapa yang dirugikan dan dengan sendirinya ingin Orba diakhiri saja untuk membangun Indonesia Serba Baru? Jawabannya sangat mudah ditemukan, meski belum tuntas dan belum cukup untuk memberi jalan keluar ke Indonesia-Serba-Baru itu.
Oleh karena itu, ada baiknya kita merefleksi dulu sendi-sendi historis atau apa yang riil dan esensial terjadi di zaman Orde Baru sehingga kita tidak terjebak lagi di dalam suatu sistem bernama lain yang indah, tetapi sama hakikatnya. Namun, itu harus dikerjakan, seperti yang sudah sering penulis kemukakan, mirip yang dikerjakan seorang dokter yang mengobati penyakit dalam.
Dokter tidak menganalisis melalui foto berwarna biasa yang hanya menampakkan wajah kulit pasien, tetapi melalui rontgen-foto hitam-kelabu transparan itu yang, biarpun tidak cantik gambarnya, mampu mengungkapkan di mana letak akar-akar kanker si pasien.
Maka bertanyalah esai ini: siapakah yang beruntung dan karenanya dari kodratnya suka pada Orde Baru?
Orde Baru
Bermanfaat diketahui bahwa istilah Orde Baru aslinya dicipta oleh Hitler serta partai Nazi-nya demi yang Hitler sebut Orde Baru Eropa dan yang kemudian dioper oleh Jepang kaum jenderal fasis dalam ideologi Orde Baru Asia Timur Raya.
Pertanyaan menyusul, apakah Orde Baru Indonesia berwatak fasis juga alias ekstrem kanan? Jawabannya tidak enak, tetapi sudah 30 tahun lebih kita rasakan sendiri, sehingga sulit untuk mengingkarinya. Ya, fasis, ekstrem kanan.
Lahir dari kekerasan dan berakhir dalam kekerasan. Mental, sikap, perangai, sepak terjang, taktik, strategi, sarananya, metodenya, dan sebagainya dan seterusnya sungguh fasis. Dengan dan oleh ancaman, kekerasan, paksaan, penggusuran, teror, fitnah, vonis tanpa proses, pemenjaraan sesuka tafsir penguasa, siksaan pukul hantam setrum para terdakwa, penculikan, penghilangan, pembunuhan, keroyokan, korupsi, keras, kejam, okol, nakal, urik, tega, hukum rimba siapa-kuat-dialah-menang-dialah-benar-dialah-harus-ditaati-dialah-tuhan-hidupmu dan sebagainya dan seterusnya.
Dan yang khas fasis, itu semua atas nama negara, nasionalisme, pembangunan Negara Raya (Jerman Raya, Italia Raya, Jepang Raya, Asia Timur Raya, Indonesia Raya, dan seterusnya). Dengan pertolongan suatu birokrasi mahakuasa dan ancaman senjata atau siksaan tubuh yang sakit menakutkan, itulah pelukisan umum fasisme. Jika kita paham itu, tidak teramat sulitlah untuk menguraikan keruwetan segala macam tali dan kaum reformis bunglon dan togog yang bermunculan begitu banyak akhir-akhir ini.
Logika sehat memberi petunjuk mudah: mereka yang amat beruntung dari Ordo Soeharto secara alamiah otomatis pasti menggolongkan diri, dengan gradasi macam-macam, dalam posisi kaum konservatif (conservare = mempertahankan, mengawetkan, dan sebagainya) atau status quo (kedudukan mandek, statis, jangan bergerak). Sederhana saja, karena mereka memang beruntung dengan dan di dalam sistem dan iklim Ordo Baru.
Banyaklah macam orang, profesi, dan kedudukan yang beruntung seperti itu. Jelaslah bahwa tidak nalar apabila mereka menghendaki reformasi, apalagi total. Mosok meninggalkan ordo yang begitu amat menguntungkan demi suatu orde yang belum jelas, kendati mereka gagah mengangkat kepal dan berteriak: Hidup Reformasi! dan sebagainya dan seterusnya. Ada pepatah Belanda yang bijak: een vos verliest wel zijn haren, maar niet zijn streken (musang bisa saja kehilangan bulu-bulunya, tetapi perangainya tidak).
Namun, itu soal orang, pribadi. Penting kita perhatikan juga, tetapi lebih berguna dan menentukan nasion ialah pembicaraan tentang sistem, struktur, dan sebagainya. Oleh karena itu, seandainya pun di sini kita masih membicarakan orang atau memakai kata: siapa dan sebagainya, maka bukan orang-perseorangan yang dimaksud, tetapi sistem, struktur, aliran, mazhab, kaum, kecenderungan, perangai, watak dan tindakan, kebiasaan, perilaku, tren, ideologi, paradigma, dan sebagainya. Jadi yang amat berkait dengan konstruksi, mekanisme, hukum dasar, undang-undang dasar, dan sebagainya. Dalam bahasa Jawa barangkali thek-kliwer.
Jawab pertama, kita harus mencapai suatu Republik Indonesia yang sungguh-sungguh merdeka dari segala bentuk fasisme tadi. Fasisme ialah paham dan sistem negara/masyarakat yang didominasi paksaan oleh/dari yang berkuasa dan ketakutan dari yang dikuasai.
Fasisme dapat berbentuk macam-macam, bahkan dalam negara yang terkenal demokrasi pun dapat timbul suatu bentuk fasisme oleh/dari pihak yang satu paksaan, dan di pihak lain ketakutan. Paksaan dapat brutal, dapat juga halus. Ketakutan dapat juga tampak gamblang, terungkap, dapat juga hanya menggerogoti di dalam hati.
Fasisme ialah paham dan sistem negara/masyarakat yang didominasi paksaan oleh/dari yang berkuasa dan ketakutan dari yang dikuasai.
Siapa yang menderita ketakutan? Biasanya dan yang paling merasakan penderitaannya tentulah kaum dina lemah miskin. Namun, gubernur atau bupati ataupun profesor atau anggota MPR pun dapat dirundung ketakutan juga. Lain sifatnya dari yang dirasakan kaum kecil, tetapi hakikatnya sama. Itu di zaman Orba (sekarang berkurang sedikit) amat tampak mencolok sekali. Manusia atau masyarakat yang masih didominasi ketakutan belumlah merdeka, bahagia, damai.
Kita tentulah dapat menganalisis bentuk ketakutan kaum atas, cendekiawan, dan ulama. Akan tetapi, yang lebih minta perhatian dan paling urgen memerlukan pembebasan ialah ketakutan kaum dina lemah miskin di bawah, yakni kaum yang digusur diusir disingkir dikalahkan dicap didiskriminasi dilupakan dihilangkan dan sebagainya dan seterusnya, pendek kata dalam istilah Soetan Sjahrir dalam Renungan Indonesia-nya di Bandaneira: the underdogs atau yang dianjingkan.
Motivasi asli mengapa RI diproklamasikan
Republik Indonesia dulu dirintis diperjuangkan diproklamasikan justru untuk membela dan mengangkat the underdogs bangsa kita. Tidak untuk memberi nikmat lebih banyak kepada kaum pribumi, apalagi asing, yang sudah atau mudah kaya kuasa menang dan jagoan. Tetapi atas dasar solidaritas kepada yang paling menderita oleh kapitalisme kolonialisme imperialisme asing maupun (nah, ini biasanya dilupakan dalam P4) feodalisme keserakahan harta-kuasa pemuka-pemuka pribumi juga yang memeras dan menakut-nakuti kawula kecil sama-sama pribumi. Justru karena itulah yang dipilih ialah sistem republik, res publica, artinya segala yang mengangkat dan menyejahterakan publik banyak atau kebanyakan bahkan semua orang dalam suatu bangsa, bukan cuma segelintir atau selapis orang.
Maka amat logislah dan alamiah juga apabila para perintis dan pendobrak Res Publica Indonesia itu antipenjajahan, pengisapan, kapitalisme, imperialisme, fasisme, dan sebagainya, dan memihak kepada the underdogs. Melawan kaum elite di waktu itu (Belanda plus pribumi) yang jahat keras tega kejam fasis manipulator eksploator. Yang tentu saja alamiah konservatif, bersikukuh status quo, tidak suka reformasi-berpredikat-total; dan yang dalam kamus politik sehari-hari disebut kaum kanan. Maka logis lagi apabila para pendekar pemerdekaan dan pembela kaum dina lemah miskin itu lalu disebut kaum kiri.
Jika kita mendengar istilah kiri, sudilah berpikir terpelajar, jangan serta-merta diidentikkan dengan komunisme. Komunis itu amat kejam ketat represif sentralistis, maka (silakan melihat ciri-ciri kaum kanan di atas) adalah ekstrem kanan. Karena itu, mudah dimengerti mengapa di mana-mana, termasuk di Indonesia, selalu bentrok terus dengan kaum yang benar-benar kiri, sampai melawan tokoh-tokoh seperti Mohammad Hatta dan Soetan Sjahrir yang dari awal sampai akhir hayat pejuang kiri. Jangan terkejut, Hatta dan Soekarno-Muda dan hampir semua perintis kemerdekaan Indonesia dulu itu kiri, sekali lagi: kiri.
Kembali kiri antifasis
”Tetapi awas, komunis itu marxis, dan marxis itu komunis,” kata para penatar P4 dengan mata melotot jari telunjuk ke atas. Lagi sudilah terpelajar: komunisme leninis stalinis musois aiditis adalah murid-murid Karl Marx yang paling menyeleweng. Karl Marx bukan guru yang selalu benar, dan banyak tesisnya atau ramalannya keliru.
Namun, esensi dan jasa paling berharga dari Marx kepada para perintis kemerdekaan RI (dan kita juga) ialah bahwa ia membuka mata tentang seluk-beluk obyektif mengapa terjadi yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin. Untuk pertama kali dalam sejarah, Marx menerangkan gejala itu secara sistematis dan menelanjangi dewa kapitalisme yang menelurkan kolonialisme, imperialisme yang memperbudak dan mengisap rakyat negeri jajahan menjadi tumbal dan underdogs.
Tentu saja wajar dalam setiap wacana ilmiah, tidak semua tesis Karl Marx benar dan betul. Banyak yang salah dan perlu dikoreksi. Sama juga Adam Smith, Ricardo, Malthus, dan lain-lain. Namun, Indonesia sebagai nasion dan rakyat Indonesia sebagai pribadi-pribadi tidak pernah merdeka apabila para pemimpin mereka tidak pernah mempelajari Karl Marx dan menjadi kaum kiri. Termasuk yang beragama.
Sebab, jangan mengira yang antikapitalisme itu hanya Karl Marx. Gereja Katolik pun sudah dini pagi-pagi—Ajaran Rerum Novarum (1891), Quadragesimo Anno (1931), Populorum Progressio (1967)—resmi melawan sistem-sistem eksploitatif kapitalisme liberal kanan itu, sekaligus komunisme yang faktual kanan juga.
Pak Sjafruddin Prawiranegara almarhum ataupun Pak Baswedan almarhum yang muslim-muslim saleh itu pun terbuka berkata kepada saya, bahwa kaum beragama yang sungguh-sungguh beriman dan takwa tidak bisa lain kecuali berhaluan kiri. Kiri dalam arti di atas, bukan dalam tafsiran P4, seolah kiri itu kaum GPK buas, pembunuh, perampok tanah dan milik pribadi, dan sebagainya.
Haluan kiri sekali lagi tidak identik dengan komunisme, bahkan melawannya. Saya pun akan amat menderita batin apabila disebut rohaniwan kanan alias gadungan. Seluruh Mukadimah UUD 1945, termasuk Pancasila dan khususnya Pasal 27, 33, 34 batang-tubuhnya, sungguh-sungguh kiri tulen.
Demikianlah mudah dipahami mengapa yang membela keadilan dan kaum dina-lemah-miskin pasti dicap dan diuber-uber secara kasar ataupun halus sebagai kaum kiri bahkan dicap komunis. Oleh siapa? Logislah oleh kaum kanan tega-kejam, manipulator-eksploator rakyat dina/lemah/miskin. Atau oleh mereka yang mengklaim diri formal-antikomunis, tetapi riil dalam segala sikap serta sepak terjangnya bermetode dan bertindak persis komunis. Sebagai dalih dan ”legitimasi”.
Maka semakin teranglah sekarang, ke mana kira-kira arah kita bila kita ingin membarui Indonesia sehingga dapat bebas dari segala yang negatif dalam rezim Orde Baru yang (sadar tidak sadar) kodratnya memang ordo kaum kanan. Yang didominasi oleh kaum dan paham kapitalis-koncois/borjuis/feodalis/priayi-mapan/koruptor-uang-rakyat/pengisap-si-kecil, dan sebagainya dan seterusnya; biasanya kaya-kuasa-mentang-mentang-mental-ndoro-tuan-nyonya-besar-nepotis-egois-fasis-keji-tega-brutal-maupun-halus, dan sebagainya dan seterusnya dan sering... jangan lupa kemungkinan ini: formal antikomunis-tetapi-riil-cara-kerjanya-persis-komunis.
Maka semakin teranglah sekarang, ke mana kira-kira arah kita bila kita ingin membarui Indonesia sehingga dapat bebas dari segala yang negatif dalam rezim Orde Baru yang (sadar tidak sadar) kodratnya memang ordo kaum kanan.
Maka jelaslah pembaruan Indonesia adalah pembaruan berhaluan kiri dalam arti di atas tadi (bukan menurut P4), yakni manusiawi-solider-membela-kaum-dina-lemah-miskin-yang-digusur-diuber-dikalahkan-dianak-tiri-diakali-ditipu-dieksploitasi-diculik-dihilangkan dan sebagainya, antifasis-antiteror-antikekerasan/antieksploitasi, dan sebagainya dan seterusnya.
Itu prinsipnya. Lalu praktis bagaimana diterjemahkan dalam sistem tata negara?
Pertama: tinggalkan seluruh sistem Orde Baru. Seluruh. Apakah itu mungkin? Politik ialah seni meraih yang masih mungkin, sekaligus mempersiapkan yang sekarang belum mungkin menjadi mungkin dan akhirnya riil.
Baca juga : Petruk
YB Mangunwijaya, Budayawan