Penjulukan tempat merupakan wujud penjenamaan untuk meningkatkan ketertarikan publik. Apa jadinya jika terjadi galat?
Oleh
AHMAD HAMIDI
·2 menit baca
Menjuluki adalah watak manusia, termasuk menjuluki suatu tempat. Kota Bukittinggi, umpamanya, dijuluki ”London van Andalas”. Julukan tersebut melekat lantaran di tengah kota itu ada Jam Gadang, sebagaimana Big Ben yang berdiri gagah di tepi Sungai Thames.
Di timur Pulau Jawa, contoh lain, hamparan padang sabana dengan beragam satwa liar yang berada dalam kawasan Taman Nasional Baluran dijuluki ”Afrika van Java”.
Hal ini merupakan fenomena yang unik. Sebagian tempat di Indonesia lazim dijuluki menggunakan konstruksi berbahasa Belanda. Padahal, bahasa Belanda telah lama meninggalkan pengaruhnya pada bangsa kita. Belakangan, masyarakat Indonesia lebih banyak terpengaruh oleh bahasa Inggris.
Tampaknya, penjulukan dengan rumus demikian bermula dari penjulukan ”Paris van Java” bagi Kota Bandung oleh orang-orang Belanda awal yang bermukim di kota itu. Dalam perkembangannya, masyarakat lokal turut menyebarluaskannya, lantas menggunakannya untuk menjuluki tempat masing-masing.
Namun, dalam praktiknya, terdapat kekeliruan atau ketidakkonsistenan dalam pengejaan nama-nama tempat tersebut. Masyarakat Indonesia kini menuliskannya ”Paris van Java”, ”Swiss van Java” (Kabupaten Garut), dan ”London van Andalas”.
Padahal, apabila bermaksud konsisten dengan konstruksi bahasanya, seharusnya kita mengejanya Parijs, Zwitsers, dan Londen. Terasa aneh ketika konstruksi bahasa Belanda diisi oleh unsur berbahasa Inggris (Paris, Swiss, dan London).
Sebagian tempat di Indonesia lazim dijuluki menggunakan konstruksi berbahasa Belanda. Padahal, bahasa Belanda telah lama meninggalkan pengaruhnya pada bangsa kita.
Pada bidang pemasaran, julukan merupakan wujud penjenamaan tempat. Suatu tempat dicitrakan berdasarkan kondisi tertentu yang membedakannya dari tempat lain.
Meningkatkan daya tarik
Penjenamaan tempat diyakini mampu meningkatkan ketertarikan publik agar datang bermukim, berwisata, atau berinvestasi, sehingga berdampak pada perkembangan ekonomi, sosial, politik, dan budaya setempat.
Begitulah pesan yang hendak disampaikan Maria C Paganoni melalui bukunya, City Branding and New Media: Linguistic Perspectives, Discursive Strategies and Multimodality (2015).
Referen dalam penjulukan tersebut beragam, sekalipun titik tolaknya sama, yakni kemiripan. ”Hongkong van Borneo”, misalnya, merupakan julukan bagi Singkawang karena kemiripan identitas kultural masyarakat di antara kedua tempat.
Lain lagi dengan ”Australië van Papua” sebagai julukan bagi Merauke. Julukan itu berangkat dari kemiripan keanekaragaman hayati yang terdapat di sebagian Australia dan Merauke.
Adapun Tana Toraja disebut ”Rio de Janeiro van Celebes” karena di ibu kota administratif kabupaten itu terdapat Patung Yesus Memberkati yang menyerupai Christ The Redeemer yang berada di Rio de Janeiro.
Referen penjulukan ini menunjukkan bahwa dalam upaya ”meniru”, masyarakat Indonesia tetap tampak kreatif mencari kesesuaian dalam membentuk identitas kolektifnya.
Hal yang agak mengganggu yakni terdapat sejumlah julukan yang mengalami kegalatan logika. Hal itu dapat kita lihat antara lain pada ”Malediven van Borneo” (biasa dieja Maldives van Borneo), julukan bagi Kepulauan Derawan, dan ”Caraïben van Celebes” (biasa dieja Caribbean van Celebes), julukan bagi Kabupaten Wakatobi.
Bagaimana mungkin disebut demikian, padahal keduanya sama-sama berada di luar daratan Borneo dan Celebes? Agar tidak dianggap buta geografi, kita mesti menggeneralisasikannya menjadi ”Malediven van Indonesië” dan ”Caraïben van Indonesië”. Ya, Indonesia dalam ejaan Belanda ditulis Indonesië.
Indonesia sesungguhnya mempunyai jati diri berlimpah sebagai basis penjenamaan tempat.
Namun, apabila warga lebih senang menjual obyek pariwisata yang mereka kelola menggunakan bahasa asing dan rujukan tempat-tempat lain di belahan dunia, kita tidak perlu menilai masyarakat Indonesia kehilangan jati diri. Kalau dengan begitu roda ekonomi masyarakat kecil jadi berputar cepat, apa soalnya?