Undang-Undang ASN mengamanatkan penataan pegawai non-ASN diselesaikan paling lambat Desember 2024.
Oleh
M NOOR AZASI AHSAN
·4 menit baca
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara mengamanatkan dalam Pasal 66 agar penataan pegawai non-ASN diselesaikan paling lambat Desember 2024. UU ASN ini juga mengatur manajemen ASN, meliputi manajemen pegawai negeri sipil atau PNS dan manajemen pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK berdasarkan sistem merit. Di bagian penjelasan disebutkan, yang dimaksud ”dengan penataan” adalah termasuk verifikasi, validasi, dan pengangkatan oleh lembaga yang berwenang.
Meskipun database Badan Kepegawaian Nasional (BKN) menjadi acuan pengangkatan pegawai, tidak berarti seluruh honorer bakal menjadi PPPK. Salah satu persoalan yang dihadapi, banyak honorer lama yang dianggap tidak memenuhi syarat (TMS).
Ketika mengunjungi sebuah kabupaten di Sulawesi, lebih dari 200 tenaga honorer kategori 2 (K2) dan tenaga non-ASN menggugat Badan Kepegawaian Daerah (BKD) karena merasa dirugikan atas ketidakjelasan informasi jalur umum dan jalur khusus ataupun ukuran memenuhi syarat (MS) dan TMS.
Melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) Nomor 11 Tahun 2024, pemerintah membuka kesempatan tenaga honorer berijazah minimal SD diusulkan untuk formasi jabatan pelaksana ASN sebagai klerek dalam mendukung pekerjaan administratif atau kantor maupun sebagai operator dan teknisi.
Kebijakan ini menjawab sebagian persoalan TMS yang dihadapi banyak honorer lama. Dalam pidatonya beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo juga mengumumkan tersedia 1.605.694 formasi untuk program pengangkatan massal honorer menjadi PPPK pada 2024 ini.
Penataan pegawai non-ASN
Berdasarkan buku Pendataan Non-ASN, prosedur pendataan dimulai dengan permintaan kepada tenaga non-ASN agar melaporkan data diri atau mendaftar pada aplikasi yang sudah disediakan. Jumlah pegawai non-ASN mencapai 2,3 juta berdasarkan hasil pendataan tahun 2022-2023. Dari jumlah itu, sebanyak 570.504 orang telah lulus dan diangkat menjadi ASN. Pengumuman dari Presiden Joko Widodo merupakan angin segar bagi mereka yang belum diangkat.
Sebagai kilas balik, naskah akademik RUU ASN dasar pembahasan dan diundangkannya UU Nomor 5 Tahun 2014 yang berlaku sebelumnya menyebutkan aparatur negara terdiri atas 4,7 juta PNS dan lebih kurang 1 juta pegawai honorer pada 2009.
Disebutkan pula, hasil penelitian peneliti Universitas Internasional Adgers, Norwegia (Kristiansen, 2009) dan Bank Dunia melalui proyek Decentralization Support Fund (2011) menunjukkan adanya praktik jual beli formasi pegawai antara oknum-oknum otoritas kepegawaian di pusat dengan para pimpinan daerah. Formasi yang diperoleh dengan modal Rp 5 juta-Rp 10 juta per pegawai dijual pejabat berwenang di daerah dengan kisaran Rp 75 juta hingga Rp 150 juta.
Meskipun database Badan Kepegawaian Nasional menjadi acuan pengangkatan pegawai, tidak berarti seluruh honorer bakal menjadi PPPK.
Kebijakan memberikan kesempatan pegawai non-ASN yang eksisting sebagai ASN dengan status PPPK untuk semua latar belakang pendidikan ataupun keahlian bernilai strategis setidaknya dalam dua hal. Pertama, mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang berpotensi meningkatkan jumlah pengangguran, menurunkan daya beli, dan mengganggu stabilitas perekonomian pada spektrum yang lebih luas. Kedua, mencegah stagnansi pelayanan kesehatan, pendidikan dan bidang teknis lainnya, serta pengadministrasiannya.
Selama masih banyak lokasi blank spot dan digitalisasi yang belum berjalan efektif, pelayanan langsung secara manual masih sangat diandalkan. Ada inovasi menarik yang pernah ditampilkan pada Bursa Inovasi Desa, yakni petugas kebersihan sebuah desa sekaligus berperan dalam menyerap aspirasi dan masukan warga yang akan dijadikan pertimbangan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan kepala desa merumuskan program kerja dan kegiatan.
Tugas itu tentu juga bisa dijalankan para honorer apabila kelak diangkat sebagai ASN dengan status PPPK ataupun PPPK paruh waktu. Melalui penerapan manajemen berbasis kinerja yang utuh, kebijakan ini tetap kompatibel sekalipun reformasi birokrasi diikuti dengan digitalisasi serta rasionalisasi kementerian dan lembaga. Menjadi homo faber atau manusia pekarya dalam fungsi-fungsi baru yang relevan sebagai wujud kehadiran negara.
Integrasi dengan manajemen ASN
Merujuk UU ASN, manajemen ASN adalah serangkaian proses pengelolaan ASN untuk mewujudkan ASN yang profesional dengan hasil kerja tinggi dan perilaku sesuai nilai dasar ASN, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Apabila sebelumnya ASN dikelompokkan menjadi jabatan administrasi, jabatan fungsional, dan jabatan pimpinan tinggi, UU ASN menyederhanakan jabatan ASN ke dalam dua kelompok besar, yaitu jabatan manajerial dan jabatan nonmanajerial. Dalam Pasal 34 Ayat (2) disebutkan, jabatan manajerial dan jabatan nonmanajerial tertentu dapat diisi dari PPPK.
Berdasarkan hasil kajian yang kami lakukan, jumlah regulasi yang sangat banyak dan tumpang tindih selama ini berkelindan dengan struktur birokrasi yang sangat gemuk. Tidak berkaitan langsung dengan jumlah ASN ataupun terjadinya lonjakan non-ASN. Potensi sumber daya manusia yang sudah berpengalaman ini justru bisa diberdayakan.
Penerapan sistem merit yang jelas akan memacu mereka bekerja dan memberikan pelayanan optimal. Pendekatan sistem ini harus didukung pengembangan fungsi yang langsung menyasar kepada upaya mengatasi masalah di lapangan.
Pengangguran dan anak-anak putus sekolah, tanah dan bangunan telantar, sampah dan proses daur ulangnya, pencemaran tanah dan air, konversi energi, hingga rehabilitasi lahan dan hutan merupakan sebagian masalah yang harus diatasi tenaga teknis dan operator kompeten, bukan sekadar tenaga administratif.
Meski demikian, pendidikan dan pelatihan ulang tetap diperlukan agar tenaga honorer atau pegawai non-ASN yang diangkat sebagai PPPK pada jabatan fungsional atau jabatan pelaksana tertentu yang ditetapkan selanjutnya. Misalnya, pegawai lulusan SMK pertanian yang selama ini hanya mengantar surat dan mengurus invoice tentu butuh penyesuaian kembali ketika memegang jabatan sebagai ”pemulung” dan pendaur ulang profesional dalam penanganan sampah organik perkotaan.
Begitu pula lulusan SMK keteknikan yang diminta merenovasi dan memanfaatkan tanah dan bangunan telantar harus didahului pemetaan serta kajian dan penetapan status hukum yang jelas melalui kerja sama dengan PPPK yang berlatar belakang ilmu hukum. Data presisi yang valid dan akurat terkait kompetensi sangat diperlukan dalam perencanaan manajemen ASN dan penataan tenaga non-ASN.
Selain penguatan kembali kompetensi teknis, kesediaan untuk mengerjakan hal itu merupakan aspek mental yang juga perlu ditanamkan melalui pelatihan dan pendidikan tersebut. Kalau tidak ada kesediaan untuk melakukannya, jangan salah apabila akhirnya anggota TNI dan Polri yang melakukannya sebagaimana ruang yang dibuka untuk itu pada Pasal 19 Ayat (2) UU 20/2023.
M Noor Azasi Ahsan, Direktur Institute for Empowerment and Development Studies (InfEDS)