Suara-suara Jernih yang Kian Sepi
Sejarah menunjukkan keambrukan Orde Baru disebabkan hilangnya etika dan ditinggalkannya moralitas.
”Tahun pemilu jaga sikap kita. Netralitas itu adalah sesuatu yang sudah menjadi keharusan. Anda bisa punya preferensi apa saja, lakukan pada saat Anda di kotak suara. Itu adalah value yang menunjukkan bahwa kita sebagai manusia diatur oleh undang-undang dan diatur oleh tata krama….” (Sri Mulyani Indrawati)
Portal berita yang mengutip pernyataan Menteri Keuangan itu viral dan beredar di grup-grup Whatsapp. ”Selayaknya, pernyataan itu datang dari para menteri bidang politik,” komentar seseorang. ”Tapi, sudahlah,” kata saya dalam diskusi di grup. ”Suara Menteri Keuangan mewakili kegelisahan publik.”
Publik khawatir masa depan demokrasi Indonesia. Refleksi sejumlah ahli di Kompas mulai dari Yudi Latif (”Memperjuangkan Pemilu Berkualitas”, 22/1), Sulistyowati Irianto (”Pemilu Jalan Kebudayaan Indonesia”, 23/1), Haryatmoko (”Warga Negara Kompeten versus Oligarki”, 24/1), Vedi Hadiz (”Demokrasi Bisa Bunuh Diri”, 25/1) dan William Liddle (”Jangan Merusak Demokrasi”, 26/1), mengungkapkan kegelisahan.
Suara Sri Mulyani di depan pimpinan Direktur Jenderal Bea Cukai, Kamis, 25 Januari 2024, menjadi oase di tengah saling buka borok antarelite. Tontonan itu membuat publik mengelus dada. Publik kini lebih memikirkan kelakuan elite negeri. Kok iso? Zaman berubah.
Direktur Pelaksana Bank Dunia sejak 1 Juni 2010 itu dipanggil pulang Presiden Joko Widodo untuk menjabat menteri keuangan. Di tengah situasi politik menjelang Pemilu 2024, Sri Mulyani—dalam bacaan publik—”dipersalahkan” calon presiden.
Ekonom Faisal Basri sempat mengabarkan Sri Mulyani bakal mundur dari kabinet. Namun, dalam satu kesempatan, Sri mengatakan, ”Saya tetap bekerja.”
Politik dalam negeri bukan domain Sri Mulyani. Namun, pernyataan Sri Mulyani sepantasnya disampaikan menteri bidang politik. Sayangnya, suara jernih itu jarang terdengar. Mungkin sejumlah menteri sibuk menjadi tim sukses calon presiden atau semuanya menjadi politisi.
Baca juga: Mencari Etik dalam Dokumen Kenegaraan
Netralitas, value, ketaatan pada undang-undang, tata krama yang digaungkan Sri Mulyani menjadi suara pinggiran atau hanya didiskusikan di kelas filsafat. Etika, tata krama, budi pekerti, fatsun, sopan santun, seperti menjadi aneh di tengah nafsu memperebutkan atau mempertahankan kekuasaan. Publik melihat segala cara dipakai untuk merebut kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, atau mewariskan kekuasaan. Itulah seperti yang Machiavellisme.
Sejarah menunjukkan keambrukan Orde Baru disebabkan hilangnya etika danditinggalkannya moralitas. Presiden Soeharto didorong orang dekatnya untuk terus memperpanjang kekuasaan sampai 32 tahun. Pada tahap akhir, Soeharto mengangkat Mbak Tutut atau Siti Hardijanti Rukmana, putri sulungnya, sebagai Menteri Sosial. Badai reformasi menerpa. Ambruklah Orde Baru dan lahirlah era demokrasi. Demokrasi dibangun di atas puing kehancuran Jakarta. Demokrasi dibangun di atas korban mahasiswa, aktivis yang kini masih hilang. Kerakusan akan kekuasaan membuat pemimpin lupa diri.
MPR sebagai perwujudan rakyat pada 2001 mengidentifikasi ambruknya tatanan sosial. MPR membuat ”Kontrak Sosial Bangsa” berupa Ketetapan MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. MPR melahirkan etika sosial budaya, etika politik dan pemerintahan, etika ekonomi bisnis, etika penegakan hukum dan keadilan, etika keilmuan, dan etika lingkungan. Deretan etika yang dirumuskan MPR 2001 seperti dilupakan elite negeri ini. Hukum bukan lagi menjadi sarana menciptakan keadilan, tetapi hukum menjadi alat sandera dan politik menjadi tempat pencari suaka.
Baca juga: Pilpres, Pileg, dan Bisnis Kekuasaan
Dari sisi etika dan bisnis, MPR memberikan panduan. Etika ini mencegah terjadinya praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang mengarah pada korupsi, kolusi, dan nepotisme, diskriminasi, serta menghindarkan perilaku menghalalkan segala cara dalam memperoleh keuntungan. Kini, pernyataan penguasaan ekonomi oleh sekelompok pengusaha justru diumumkan secara terbuka untuk mendukung salah satu pasangan calon. Nepotisme dipraktikkan.
Pemilu 2024 seharusnya dijadikan momentum menghidupkan kembali etika kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemilu harus dipastikan bermartabat agar siapa pun yang terpilih punya legitimasi kuat. Netralitas aparatur sipil negara adalah keniscayaan dalam pemilu. Netralitas bukan berarti menghilangkan hak politik warga negara. Hak politik individu dihormati dan disalurkan lewat bilik suara. Mengapa netralitas atau ketidakberpihakan penyelenggara negara penting karena sejalan dengan konstitusi bahwa pemilu dilaksanakan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Keberpihakan penyelenggara negara pada satu pasangan calon bisa mengganggu asas jujur dan adil.
Hukum tidak melarang presiden berkampanye. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu secara tegas memperbolehkan seorang presiden berkampanye. Pada 2019, sebagai petahana, Presiden Jokowi berkampanye berhadapan dengan Prabowo Subianto. Pada 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai petahana berkampanye bersama Hasyim Muzadi. Presiden berkampanye bukan hal baru. Mereka berkampanye sebagai petahana untuk dirinya.
Dimajukannya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wapres pertama kalinya dalam sejarah. Apakah aturan dalam UU No 7/2007 yang membolehkan presiden berkampanye masih sesuai dengan kondisi politik kontemporer, saat Presiden Jokowi diindikasikan akan mengampanyekan dan berpihak kepada putranya. Itu butuh perdebatan ahli hukum atau tafsir dari Mahkamah Konstitusi. Pasal itu sedang diuji di Mahkamah Konstitusi. Semoga MK bisa memberikan kepastian.
Presiden boleh berkampanye dengan syarat tidak menggunakan fasilitas negara dan menjalani cuti di luar tanggungan negara. Namun, soal keberpihakan ada Pasal 282 UU No 7/2017 ditulis, ”Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye”. Apakah menteri boleh berkampanye? Ada aturannya di Pasal 299 UU No 7/2017. Menteri sebagai anggota parpol bisa berkampanye. Menteri nonparpol sebagai tim kampanye harus terdaftar di KPU.
Baca juga: Ratu Adil dan Pilpres 2024
Di tengah karut-marut politik, langkah Mahfud MD mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Menko Polhukam ditunggu. Meski sedikit terlambat, sikap itu punya nilai moral daripada sikap mendua. Sosok berintegritas dari latar belakang akademisi, Mahfud pernah menjadi anggota DPR, pernah menjabat Menteri Pertahanan, Ketua Mahkamah Konstitusi, hampir menjadi cawapres Joko Widodo, adalah sosok berintegritas. Pertarungan Pemilu 2024 lebih menjadi pertarungan aliansi kepentingan yang berdasarkan etika dan moralitas melawan pertarungan kekuatan politik oligarki telanjang.