Karaeng Bainea memiliki gelang sakral yang hanya boleh dikenakan raja Goa berdarah murni saat pelantikan.
Oleh
LINDA CHRISTANTY
·3 menit baca
Seorang perempuan langit memulai imperium maritim Goa di Sulawesi Selatan. Karaeng Bainea, perempuan penguasa, sebutannya. Terkutuk menyebut nama aslinya. Istananya di Bukit Tamalate dinamai Takabassia, terbuat dari kayu yang tak pernah mengering sejak ditebang. Kepalanya berhiaskan Salokoa, mahkota emas berbentuk bunga teratai bertabur batu mulia. Gelang naga bergigi runcing, bersisik, dan bermahkota melingkar di kedua pergelangan tangannya, dinamai Ponto Janga-jangayya.
Goa lain berada di India, tempat perempuan diagungkan melalui sistem matrilineal. Kedua Goa terhubung sejak lama. Flora identitas Provinsi Sulawesi Selatan adalah pohon lontar India, Borassus flabellifer, bukan pohon lontar asli Indonesia, Borassus sundaicus. Denys Lombard, sejarawan Perancis, mengungkap pertukaran kebudayaan antara India dan Indonesia berlangsung dari masa Hindu sampai masa Islam dalam magnum opus-nya, Nusa Jawa: Silang Budaya.
La’lang Sipuwe’, payung sakral untuk pelantikan para raja Goa (Sombayya ri Goa), dibuat dari anyaman daun pohon lontar India, yang tumbuh di Sanrobone (kini Kabupaten Takalar), Sulawesi Selatan. Andi Makmun Bau Tayang Karaeng Bontolangkasa, pemangku adat Kerajaan Goa, semasa hidupnya mengungkap sejarah payung tersebut.
Sultan Hasanuddin, Raja Goa ke-16, dijuluki Ayam Jantan dari Timur oleh musuh besarnya, kolonial Belanda. Sebagian orang mengira julukan itu terkait dengan masa lalu Goa yang sakral dan ayam jantan dipercaya sebagai simbol semangat perlawanan Goa terhadap penjajahan Belanda. Faktanya, hewan sakral di Kerajaan Goa adalah naga, yang menurut Lontara’ Goa dibawa turun ke bumi oleh Karaeng Bainea. Naga kembar siam itu terbuat dari emas.
Karaeng Bainea memiliki sepasang gelang lebih sakral selain gelang naga, yaitu gelang yang hanya boleh dikenakan raja Goa berdarah murni saat pelantikan, bernama Ponto Manurung. Gelang tersebut akan langsung melingkar di tangan raja yang memiliki hubungan darah dengan dirinya. Menurut Datu Bau, putri Raja Bone terakhir Andi Mappanyukki Sultan Ibrahim, Ponto Manurung mengeluarkan suara kicau burung pada malam tertentu, percis yang diceritakan ayahnya.
Dalam Perang Makassar (1666-1669), Sultan Hasanuddin memimpin negara Goa melawan VOC, yang memiliki hak octrooi, yaitu bertindak secara hukum, politik, dan militer sebagai negara Belanda. Hak octrooi diberikan parlemen Belanda kepada VOC pada 20 Maret 1602.
Kekalahan Goa dalam Perang Makassar membuat Sultan Hasanuddin memerintahkan semua anak cucu dan keturunannya untuk terus mengobarkan dan melanjutkan peperangan melawan Belanda di mana pun. Sesuai wasiatnya, peperangan Goa melawan Belanda masih berlanjut setelah pemerintah Belanda mengakui kedaulatan negara Republik Indonesia pada 27 Desember 1949 dan diikuti dengan pembubaran Republik Indonesia Serikat, negara federasi buatan NICA (Belanda). Perang antara Goa dan Belanda benar-benar berakhir saat Belanda terusir dari Papua dengan keberhasilan konfrontasi Trikora yang dikomandoi Presiden Soekarno.
Suatu hari di masa lalu, Datu Suppa Bau Kuneng Bau Massepe menjemput adik saya, Tubagus Budhi Firbany, dan mengajaknya ke Makassar untuk berziarah ke makam Sultan Hasanuddin di Bontobiraeng, di Bukit Tamalate. Dalam perjalanan ziarah itu, Datu Suppa mengisahkan bahwa kakek buyutnya adalah raja Goa, tetapi merupakan pelanjut nasab raja-raja Tallo.
Sejarah mencatat hampir semua raja Tallo menjadi mangkubumi atau perdana menteri Kerajaan Goa. Ia menyampaikan bahwa setelah kehancuran Goa dan semua anak-cucu pelanjut nasab Sultan Hasanuddin meninggalkan Goa karena tidak sudi tunduk kepada Belanda, perjuangan mereka di Goa dilanjutkan raja-raja Tallo, yang kemudian menjadi raja di Goa, Bone, dan Kedatuan Suppa.
Bau Kuneng juga bercerita tentang sebuah upacara tua sakral yang terkait derajat darah dan dipraktikkan secara tertutup di Goa. Ia meminta adik saya mengikuti upacara itu, yang hanya boleh diperintahkan penyelenggaraannya oleh bangsawan tertinggi dan tertua di Goa, yaitu Datu Bau, putri Raja Bone terakhir dari pemaisurinya Karaengta Ballasari. Datu Bau menyimpan Ponto Manurung, yang hanya digunakan laki-laki berdarah murni saat dilantik (Nilanti) sebagai raja Goa di Bukit Tamalate. Bagi raja yang tidak berdarah murni, pelantikannya (Nitogasa) di istana Kerajaan Goa.
Menurut peraturan negara Goa yang ditetapkan pada masa pemerintahan Raja Goa ke-19, I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil, semua pelanjut nasab Syekh Yusuf Al Makassari berderajat Karaeng dan Sayyid, dan tidak pernah bisa turun derajat darahnya. Sultan Abdul Jalil ingin Syekh Yusuf pulang dan memimpin Goa agar kembali menjadi imperium besar sehingga ia menuntut Belanda memulangkan Syekh Yusuf dari pembuangan di Sri Lanka.
Belanda sangat marah lalu membuang Syekh Yusuf lebih jauh lagi, ke Afrika Selatan. Berdasarkan peraturan di masa Sultan Abdul Jalil, setiap pelanjut nasab Syekh Yusuf sederajat Ana’ Karaeng Tikno atau derajat darah bangsawan tertinggi. Peraturan ini tidak pernah dibatalkan hingga Kerajaan Goa berakhir pada 4 Juli pada 1959, berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959. Di negara Goa masa lalu, bangsawan berderajat darah tertinggi yang paling berhak memerintah Goa.
Sesuai perintah Datu Bau, Andi Jufri Tenri Bali Daeng Pile memimpin upacara sakral menguji derajat darah, yang diakhiri penyerahan Ponto Manurung kepada adik saya untuk dikenakan. Melihat diameter gelang yang terlalu kecil, mustahil dapat melingkar di pergelangan lelaki dewasa. Secara ajaib, sepasang gelang itu melingkar di kedua pergelangan tangan adik saya. Datu Bau membisikkan pantangan rahasia kepadanya, yang menyebabkan kematian jika dilanggar.