Ingatan manusia selalu merupakan ingatan kolektif. Konsep ini dapat diterapkan untuk melihat calon pemimpin bangsa.
Oleh
SITI DEVIYANTI
·3 menit baca
Konsep mengingat pada awalnya dirumuskan untuk menjelaskan seni mengingat (mnemotechnik) yang berkembang pada masa Yunani Kuno. Merujuk kepada Jan Assmann, seorang pemikir Jerman yang telah banyak mengembangkan teori ingatan kolektif dan kultur ingatan (erinnerungskultur), ingatan selalu memiliki aspek sosial.
Assmann mendapat pengaruh pemikirannya dari Maurice Halbwachs, seorang filsuf asal Perancis yang mengatakan bahwa ingatan selalu memiliki akar yang bersifat kolektif. Artinya, ingatan selalu merupakan produk sosial manusia. Ingatan berkembang dan dirawat melalui hubungan antarmanusia di masyarakat. Dalam konteks ini, ingatan manusia selalu merupakan ingatan kolektif.
Menurut Halbwachs, ingatan kolektif melihat masa lalu dari sudut pandang masa kini. Ingatan kolektif tertanam di ingatan warga masyarakat. Halbwachs menuliskan bahwa ingatan masyarakat ada sejauh ingatan dari kelompok yang menciptakannya. Ketidakpedulian tidak akan dapat melupakan semua peristiwa dan orang-orang yang ada. Walaupun demikian, kelompok yang menjaga ingatan ini akan pergi.
Untuk itu, agar tetap lestari, ingatan kolektif membutuhkan kehendak politik dari kelompok yang mengingatnya. Masyarakat adalah pelestari sekaligus bentukan dari ingatan kolektif yang mereka miliki. Keberadaan ingatan kolektif tergantung dari keberadaan kehendak politik masyarakat untuk melestarikan dan mengembangkannya. Apakah kita sebagai warga masyarakat mau melestarikan ingatan kolektif itu?
Ingatan Kolekif Nasional
Tahun 2023, Pemerintah Indonesia melalui Perpustakaan Nasional mengesahkan undang-undang yang mengatur program registrasi naskah kuno sebagai Ingatan Kolektif Nasional (Ikon). Naskah kuno sebagai karya intelektual masa lalu yang isinya mempunyai nilai penting bagi kebudayaan nasional, sejarah, serta ilmu pengetahuan dan peradaban bangsa Indonesia perlu dilestarikan.
Melalui pengusulan naskah kuno sebagai Ikon, masyarakat telah berperan melestarikan ingatan kolektif itu sendiri untuk dapat dimanfaatkan dalam kehidupan masa kini dan masa depan. Tiga naskah ditetapkan sebagai Ikon pada 2022, yaitu naskah Sang Hyang Siksa Kandang Karesian, Tambo Tuanku Imam Bonjol, dan Syair-syair Hamzah Fansuri.
Ada enam aspek ingatan kolektif menurut Assmann, yakni rekonstruktivitas, pengukuhan identitas, pembentukan, pengaturan, pengikatan, dan reflektivitas. Naskah kuno sebagai ingatan kolektif tidak luput dari keenam aspek tersebut.
Melalui pengusulan naskah kuno sebagai Ikon, masyarakat telah berperan melestarikan ingatan kolektif itu sendiri untuk dapat dimanfaatkan dalam kehidupan masa kini dan masa depan.
Dalam aspek rekonstruktivitas, naskah kuno berfungsi sebagai alat untuk mencapai pemahaman tentang masa lalu dari sudut pandang masa kini. Naskah kuno juga mengukuhkan kesatuan sebuah komunitas dalam kaitannya dengan pengukuhan identitas. Dalam konteks nasional, naskah kuno mengikat beragam orang dengan beragam latar belakang ke dalam satu bangsa, yaitu Indonesia.
Masyarakat selalu merupakan perwujudan konkret dari ingatan kolektif. Dalam aspek pembentukan, naskah kuno berfungsi sebagai konteks sosial, sejarah, sekaligus kultural dari hidup bersama di masyarakat. Fungsi ini merupakan pembentuk identitas.
Naskah kuno juga memiliki aspek pengaturan yang dapat menata kehidupan orang-orang yang ada di masyarakat. Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah merupakan salah satu contoh naskah kuno yang secara spesifik membahas peraturan.
Aspek lainnya dalam ingatan kolektif adalah pengikatan. Assmann menyebut juga aspek ini dengan perspektif nilai (wertperspektive). Nilai-nilai dan pengetahuan yang terkandung dalam naskah kuno adalah citra diri kolektif, struktur dari sebuah masyarakat. Setiap kelompok masyarakat pasti memiliki citra diri kolektif, yaitu pandangan mereka tentang diri sendiri yang bersifat kolektif. Semua ini dapat dijadikan orientasi dan arah hidup.
Adapun terkait aspek reflektivitas, naskah kuno sebagai ingatan kolektif berfungsi untuk memungkinkan terjadinya perubahan di masyarakat. Kita dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis pada beragam hal yang telah ada dan berkembang, seperti aturan hidup sehari-hari, gaya berbicara, ritual, dan berbagai kebiasaan lainnya.
Selain sebagai ingatan kolektif, naskah kuno juga sekaligus menjadi simbol (teks, gambar)—dengan mencakupi keenam aspek yang disebutkan Assmann—yang memberikan pengaruh pada keadaan masyarakat di masa sekarang. Simbol menyatakan suatu hal atau maksud tertentu.
Pemahaman terhadap simbol sangat bergantung pada penafsiran sehingga ingatan kolektif sesungguhnya memiliki fungsi utama sebagai proses belajar. Artinya, masyarakat belajar dari ingatan masa lalu mereka supaya mereka tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa kini dan masa depan.
Konsep ingatan kolektif ini dapat juga diterapkan untuk melihat calon pemimpin bangsa. Para capres dan cawapres adalah ingatan kolektif sekaligus simbol dari ingatan itu sendiri. Dengan memosisikan demikian, diharapkan kita tidak salah dalam memilih. Pertanyaannya, apakah kita sebagai warga masyarakat mau melestarikan ingatan kolektif itu?
Siti Deviyanti, Pustakawan Ahli Muda Perpustakaan Nasional Republik Indonesia