Selain membatasi emisi gas rumah kaca, sama pentingnya juga memulihkan hutan, lahan gambut, dan penyerap karbon lainnya.
Oleh
INA LEPEL
·4 menit baca
Reaksi negara-negara pulau kecil terhadap hasil konferensi iklim internasional COP28 menunjukkan perbedaan kentara dengan kelegaan yang diungkapkan delegasi negara lain. Ini sebuah pengingat keras bahwa meski kemajuan telah dicapai untuk menahan kerusakan akibat perubahan iklim, hal itu masih belum cukup.
Saat Sultan Ahmed Al Jaber dari Uni Emirat Arab (UEA) menutup COP28 di Dubai tahun lalu, para delegasi berdiri dan bersorak. Mereka merasa lelah, tetapi juga lega. Kemajuan yang penting telah dicapai. Komunitas global telah menegaskan kembali komitmennya terhadap target menekan perubahan iklim di bawah ambang batas 1,5 derajat celsius.
Namun, saat perwakilan negara-negara pulau kecil memasuki panggung beberapa menit kemudian, mereka mengungkapkan kekecewaan mendalam. Dikatakan, hal yang telah dicapai boleh jadi signifikan, tetapi tidak cukup untuk menyelamatkan negara mereka.
Nestapa yang mereka rasakan adalah pengingat jelas bagi kita semua bahwa masih banyak yang perlu dilakukan untuk menghentikan pemanasan global.
Meski kemajuan telah dicapai untuk menahan kerusakan akibat perubahan iklim, hal itu masih belum cukup.
Untuk pertama kalinya di COP28, peta jalan untuk menghambat perubahan iklim dijabarkan dengan jauh lebih terperinci dibandingkan dengan pendahulu-pendahulunya. Salah satu kunci pencapaiannya adalah ekspansi besar-besaran energi terbarukan.
Dalam dokumen final, energi terbarukan disebutkan sebagai sumber energi utama masa depan. Komitmen global telah dibuat untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan sebanyak tiga kali lipat pada 2030.
Ini merupakan sinyal penting bagi negara-negara seperti Indonesia atau Jerman yang telah memulai transisi besar sistem energinya untuk bergeser ke arah energi terbarukan.
Secara bersamaan, COP28 menjadi pertemuan puncak iklim pertama yang menyepakati transisi menjauhi bahan bakar fosil dalam sistem energi. Tahun 2050 menandai akhir dari zaman bahan bakar fosil. Hal ini akan mengubah paras masyarakat dan perekonomian kita secara mendasar.
Hal itu juga merupakan sinyal yang jelas bagi penanam modal bahwa dalam jangka panjang bahan bakar fosil bukan lagi investasi yang menjamin. Jerman bangga telah mendukung konsensus ini dalam tahap persiapan melalui Petersberg Climate Dialogue.
Dengan bergabungnya Amerika Serikat, Kolombia, dan UEA, jumlah negara yang berikrar meninggalkan penggunaan batubara (coal exit) dalam 10 sampai 15 tahun ke depan bertambah menjadi 167.
Jerman ingin meninggalkan batubara pada 2030. Tentu, kami sadar bahwa proses ini harus berjalan secara perlahan dan bertahap. Tidak mungkin mematikan pembangkit listrik tenaga batubara dalam semalam, dan juga tidak perlu.
Proses ini harus berjalan secara perlahan dan bertahap. Tidak mungkin mematikan pembangkit listrik tenaga batubara dalam semalam, dan juga tidak perlu.
Proses ini perlu ditangani dengan penuh kehati-hatian, dengan menimbang keamanan dan kestabilan persediaan energi serta menyadari konsekuensi sosial yang timbul. Sumber penghasilan alternatif bagi seluruh pekerja yang terdampak oleh coal exit dan keluarganya diperlukan untuk memastikan tidak ada satu pun yang tertinggal.
Hal ini merupakan proses transformasi mendasar yang sudah semestinya dan memang menjadi bidang kerja sama intensif antarnegara kita.
Selama COP28, timbul juga pertanyaan penting mengenai cara terbaik untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim yang telah ada, seperti bencana banjir, kekeringan, badai, ataupun gelombang panas, yang berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat, pertanian, dan persediaan air.
Diharapkan, semua negara memiliki akses terhadap sistem peringatan dini pada 2027.
Pendanaan iklim
Terdapat juga pertanyaan sangat penting tentang pendanaan iklim, keadilan iklim, dan solidaritas. Jelas, negara-negara industri harus memikul tanggung jawab khusus dalam melawan perubahan iklim. Mereka juga perlu menyokong negara-negara berkembang dalam perjuangan ini.
Oleh karena itu, bahkan dari hari pertama konferensi, Jerman, bersama UEA, menjanjikan 100 juta dollar AS untuk mendanai loss and damage fund sebagai bentuk dukungan solidaritas bagi negara-negara yang paling rentan.
COP selanjutnya di Baku, Azerbaijan, hendaknya menyoroti apa saja instrumen pendanaan baru yang diperlukan untuk memastikan pendanaan iklim yang memadai dan adil.
Sebagai bagian dari perjuangan iklim global, Indonesia sudah memulai perjalanan penuh keberanian dan visi menuju transisi energi berkeadilan.
Sebagai bagian dari perjuangan iklim global, Indonesia sudah memulai perjalanan penuh keberanian dan visi menuju transisi energi berkeadilan. Secara bertahap, Indonesia meningkatkan bauran energi terbarukan dan secara bersamaan menangani aspek sosial dari transformasi ini.
Di bawah kepemimpinan G20 Indonesia pada 2022, Indonesia menjalin kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) bersama beberapa negara, termasuk Jerman.
Sesaat sebelum COP28, sebagai salah satu JETP, kami menyepakati cara untuk merealisasikan komitmen pendanaan dan dukungan bagi Indonesia. Jerman antusias untuk bekerja sama dengan Indonesia dalam upaya vital ini dengan kontribusi 1,6 miliar dollar AS. Proyek-proyek awalnya akan segera mulai berbentuk.
Lebih dari penanggulangan perubahan iklim, transisi dari batubara juga menjanjikan udara yang lebih bersih. Selain membatasi emisi gas rumah kaca, sama pentingnya untuk melestarikan dan memulihkan hutan, lahan gambut, dan penyerap karbon lainnya dari alam.
Indonesia telah mengemban tanggung jawabnya sebagai salah satu dari tiga negara dengan hutan hujan terbesar di dunia (selain Brasil dan Republik Demokratik Kongo).
Indonesia menyasar transformasi sektor kehutanan dan penggunaan lahan menjadi suatu net sink pada 2030. Target ini didukung dengan jelas oleh COP28, yang dokumen hasilnya meminta peningkatan dukungan keuangan, teknologi, dan peningkatan kapasitas, khususnya di negara-negara berkembang.
COP28 bukan hanya langkah maju bagi perlindungan iklim, melainkan juga bukti bahwa multilateralisme tetap bekerja.
Dalam masa krisis geopolitik saat ini, COP28 bukan hanya langkah maju bagi perlindungan iklim, melainkan juga bukti bahwa multilateralisme tetap bekerja, bahkan dalam situasi yang sulit. Sekarang, implementasinya yang menjadi penentu.
Pada 2025, semua negara harus mengirimkan rencana iklim lintas sektor barunya. Indonesia bahkan bertekad untuk mengirimkan nationally determined contribution (NDC)-nya pada 2024.
Jerman telah memutuskan untuk mengurangi emisi 65 persen pada 2030 dibandingkan dengan kondisi 1990 dan akan memperhitungkan ambisi ini dalam perancangan NDC Uni Eropa yang baru.
Benar bahwa telah banyak yang dicapai. Akan tetapi, jauh lebih banyak yang masih perlu dikerjakan jika kita ingin menjamin masa depan bumi yang dapat dihuni oleh kita, umat manusia.
Ina Lepel, Duta Besar Republik Federal Jerman untuk Indonesia