Transisi Energi dan Peningkatan Kapasitas Energi Terbarukan
Program transisi energi secara masif harus dimanfaatkan untuk membangun industri manufaktur peralatan energi terbarukan.
Oleh
HANAN NUGROHO
·4 menit baca
Pemerintah mencanangkan mencapai target emisi nol bersih (NZE) pada 2060, bahkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2025-2045 berusaha mencapai sasaran itu lebih dini. Pembangunan energi terbarukan akan berperan sebagai penyumbang utama pencapaian target NZE. Terkait hal itu, program transisi energi Indonesia bertujuan mengubah bauran energi di Tanah Air ke depan agar energi terbarukan mendominasi, atau berubah total dari yang sekarang dikuasai bahan bakar fosil (minyak bumi, gas bumi, batubara).
Indonesia mesti memanfaatkan momentum mengubah bauran energi secara besar-besaran itu untuk meningkatkan kapasitas nasional dalam pembangunan energi terbarukan. Hal ini termasuk di dalam manufaktur peralatan energi terbarukan serta kapasitas institusi di bidang pengelolaan energi terbarukan.
Pada 2060, diproyeksikan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang digunakan di Tanah Air akan lebih besar dari 1.500 kali dibandingkan yang beroperasi saat ini. Tentu kita tidak ingin wilayah-wilayah Nusantara itu nanti dibanjiri peralatan PLTS impor walaupun kapasitas manufaktur peralatan PLTS di dalam negeri saat ini masih sangat lemah.
Rencana pemasangan PLTS secara masif tersebut harus dijadikan peluang untuk membangun industri manufaktur peralatan PLTS sendiri. Seberapa besar kapasitas industri yang harus dibangun, di mana akan ditempatkan pabriknya, berapa banyak tenaga kerja yang akan dibutuhkan, bagaimana spesifikasi keahlian yang dibutuhkan, dan bagaimana menyiapkannya?
Selain peralatan langsung PLTS, industri baterai juga perlu dibangun untuk melengkapi sifat ”berjeda, terputus-putus” dari listrik yang dihasilkan PLTS. Baterai akan dibutuhkan untuk menyimpan listrik yang dihasilkan PLTS ketika matahari terik untuk digunakan pada malam hari, di antaranya. Kapasitas pabrik baterai yang perlu dibangun sebanding dengan kapasitas PLTS yang akan dipasang.
Tidak terbatas pada PLTS, hal serupa juga berlaku untuk pembangkit listrik tenaga angin, dan dalam skala lebih kecil untuk fasilitas energi terbarukan lainnya, seperti biomassa, tenaga air, dan panas bumi skala kecil. Indonesia jangan hanya menjadi konsumen dari teknologi energi bersih yang akan dibutuhkan, tetapi harus pula menguasai teknologi dan memproduksi peralatan-peralatan tersebut, paling tidak untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau tidak terus-menerus bergantung kepada impor.
Juga tidak terbatas kepada energi terbarukan untuk listrik, tetapi juga sumber-sumber energi terbarukan untuk nonlistrik, misalnya untuk bahan bakar cair yang lebih bersih ataupun gas yang berasal dari sumber-sumber nabati serta non-nabati, seperti untuk biodiesel ataupun biogas.
Pemakaian energi terbarukan nonlitrik ini masih akan besar ke depan, sementara kebutuhan penguasaan teknologi ataupun tuntutan pemakaian sumber daya dalam negeri untuk sumber-sumber energi tebarukan di sini tidak kalah besarnya dibandingkan untuk listrik.
Indonesia jangan hanya menjadi konsumen dari teknologi energi bersih yang akan dibutuhkan, tetapi harus pula menguasai teknologi dan memproduksi peralatan-peralatan tersebut.
Tingkat kandungan dalam negeri, baik material maupun sumber daya manusia, mesti dilipatgandakan dalam pengembangan industri-industri energi terbarukan itu nanti. Tak hanya bahwa pembangunan industri itu akan mengarah ke hilir, tetapi juga perlu diarahkan ke hulu untuk memanfaatkan potensi sumber daya pertambangan ataupun bahan bakar nabati Tanah Air yang besar. Rantai pasok industri energi terbarukan harus diperlengkap dan diperkokoh di dalam negeri.
Penyiapan sumber daya manusia (SDM) di bidang energi terbarukan sangat penting. Penyebaran PLTS serta fasilitas energi terbarukan di wilayah-wilayah Indonesia akan membutuhkan tambahan jutaan tenaga kerja. Mereka tidak hanya untuk memasang peralatan-peralatan tersebut, tetapi juga untuk mengoperasikan dan memelihara, ataupun sebagai karyawan pada industri-industri peralatan energi terbarukan yang terus dibangun.
”Tenaga kerja hijau” (green workers) tersebut perlu disiapkan dan dilatih, baik melalui sekolah vokasi, balai latihan kerja, pelatihan sambil bekerja (on the job training), pendidikan tinggi, maupun mereka yang disiapkan untuk riset-riset pembangunan energi terbarukan. Kerja sama antarinstansi pemerintah dan dengan pihak swasta harus diperkuat untuk menyukseskan pekerjaan-pekerjaan ini. Tenaga kerja di bidang energi fosil, khususnya batubara, dilatih untuk memperoleh keahlian baru dalam bidang energi terbarukan.
Institusi dan kepemimpinan
Perubahan bauran energi menjadi energi terbarukan dominan tak mungkin dilakukan mengandalkan pada struktur organisasi energi yang masih didominasi oleh bahan bakar fosil seperti sekarang. Peningkatan kapasitas institusi pengelolaan energi terbarukan perlu terus dilakukan hingga menjadi yang terbesar dan terkuat dibandingkan dengan institusi pengelolaan di bidang minyak bumi, gas bumi, dan batubara. Ini berlaku untuk sektor pemerintahan ataupun badan usaha, khususnya BUMN.
Karena sebagian besar penempatan fasilitas energi terbarukan akan berada di daerah-daerah yang makin sulit terjangkau oleh pemerintah pusat, kerja sama pemerintah pusat dengan pemerintah daerah hingga ke medan-medan terpencil perlu diperkuat. Kapasitas pemerintahan daerah diperbesar untuk memikul tanggung jawab lebih banyak dalam pengelolaan energi terbarukan.
Bidang usaha energi terbarukan harus dilipatgandakan dibandingkan dengan usaha-usaha di bidang minyak bumi, gas bumi, dan batubara. Pekerjaan di bidang energi terbarukan, selain menghasilkan emisi rendah, menjanjikan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan di energi fosil yang kotor dan padat modal.
Hanya komitmen pemimpin nasional yang tegas dan koordinasi yang kuat yang dapat mengantarkan pada keberhasilan program transisi energi, yang sasarannya adalah ”sangat ambisius” dibandingkan dengan program-program pembangunan energi yang pernah dilakukan dalam skala global ataupun nasional selama ini. Tantangan agar sistem penyediaan energi dapat terus menyediakan energi dalam jumlah memadai untuk membantu pertumbuhan ekonomi, tetapi tetap menjaga mutu lingkungan itu ke depan masih sangat besar.
Kepemimpinan yang kuat dari presiden baru Indonesia terpilih nanti perlu mengeksplorasi program transisi energi serta peluang-peluang meningkatkan kapasitas nasional di bidang energi terbarukan secara lebih terperinci dan segera menerapkannya.
Hanan Nugroho, Perencana Ahli Utama di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)