Membaca Problem Kelembagaan PPLN dari Insiden Surat Suara di Taipei
Berpijak dari kasus pengiriman surat suara oleh PPLN Taipei, KPU harus ambil peran lebih besar dalam perekrutan PPLN.
Ilustrasi
Pengiriman surat suara Pemilu 2024 melalui pos ke pemilih yang dilakukan jauh lebih awal dari jadwal oleh Panitia Pemilihan Luar Negeri atau PPLN Taipei menimbulkan reaksi keras dari berbagai elemen bangsa. Kasus ini hanya puncak dari gunung es problem kelembagaan PPLN yang perlu diatasi dengan melakukan redesain rekrutmen hingga sifat kelembagaan untuk menjaga kualitas pemenuhan hak pilih para pemilih di luar negeri.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Berbeda dari pemilihan di dalam negeri, pemberian suara untuk pemilih di LN dilakukan dengan tiga model, yaitu mencoblos di tempat pemungutan suara (TPS), menggunakan metode pos, dan kotak suara keliling. Untuk pemilihan di Taiwan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengirimkan 230.307 surat suara ke PPLN Taipei. Sebanyak 175.145 lembar surat suara di antaranya diperuntukkan bagi pemilih yang menggunakan metode pos.
Dari jumlah itu, 31.276 di antaranya dikirim PPLN Taipei kepada pemilih lebih awal dari jadwal yang ditetapkan pada 2-11 Januari 2024. Alasannya, anggota PPLN Taipei memperkirakan tidak beroperasinya kantor pos (post office) pada tanggal yang direncanakan untuk pendistribusian surat suara karena tahun baru Imlek di negara itu. Kejadian itu lalu viral di ruang publik, kemudian muncul polemik. KPU akhirnya menetapkan surat suara itu berstatus tidak sah.
Baca juga: Kesalahan Distribusi Logistik Berpotensi Picu Kecurangan
Kejadian seperti di Taiwan sepatutnya menjadi pelajaran penting untuk memastikan agar kejadian serupa tidak terjadi pada negara lain dan pemilu berikutnya. Jika dilacak lebih jauh, kejadian di Taiwan ini tidak terlepas dari problem malaadministrasi dan ketidakcakapan sumber daya manusia (SDM) penyelenggara dalam mengelola teknis pemilu terutama pada tahapan distribusi logistik.
Model rekrutmen dan kualitas SDM
Rekrutmen PPLN yang dilakukan KPU sejatinya belum merefleksikan profesionalitas dan kemandirian penyelenggara pemilu yang menjadi amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam pelaksanaan rekrutmen PPLN, KPU bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) yang menjadi perwakilan diplomatik di berbagai negara. Argumentasi kerja sama ini disebabkan keterbatasan akses KPU kepada WNI di 128 negara yang memiliki perwakilan diplomatik.
Seleksi dilakukan dengan memberikan kewenangan kepada Kemenlu lewat perwakilan RI di luar negeri yang bertanggung jawab mengusulkan calon anggota PPLN dengan sebelumnya melakukan penelitian administrasi serta melakukan seleksi wawancara. Nama-nama yang terpilih kemudian disampaikan kepada KPU untuk ditetapkan sebagai PPLN. Proses ini menunjukkan kecilnya peran KPU yang berdampak kepada sulitnya KPU memastikan kapasitas anggota PPLN yang akan bertugas menjalankan tahapan pemilu.
Rekrutmen PPLN yang dilakukan KPU sejatinya belum merefleksikan profesionalitas dan kemandirian penyelenggara pemilu.
Setelah dilantik, anggota PPLN memang akan diberikan pelatihan dan bimbingan teknis yang berkaitan dengan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu. Namun, tidak ada yang bisa memastikan PPLN tersebut akan siap melaksanakan tugas sebagai penyelenggara pemilu. Di sisi lain, tahapan pemilu yang singkat dan kompleks membutuhkan kecakapan dan kapasitas SDM yang siap kerja.
Kapasitas teknis perwakilan LN yang melakukan seleksi tentu saja tidak sama dengan anggota KPU sehingga rekrutmen yang dilakukan sangat mungkin menghasilkan SDM anggota PPLN yang secara administrasi memenuhi syarat, tetapi belum tentu memiliki kemampuan teknis yang cakap.
Di sisi lain, seleksi PPLN hanya merupakan tugas tambahan bagi perwakilan diplomatik RI yang dalam kesehariaanya melaksanakan tugas dan fungsi diplomasi. Ini berbeda jauh dibandingkan dengan proses seleksi penyelenggara pemilu di dalam negeri yang lebih sistematis.
Di masa mendatang, tahapan seleksi anggota PPLN dan anggota KPU sudah selayaknya diperlakukan sama. KPU harus mengambil peran yang lebih besar dalam seleksi untuk memastikan penyelenggara terpilih adalah orang-orang yang memiliki kualifikasi dan kualitas yang layak.
Selain soal model rekrutmen, untuk memastikan tahapan pemilu terlaksana dengan baik, harus dipastikan bahwa PPLN memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakannya. Kelembagaan PPLN yang bersifat ad hoc selama ini memiliki masa kerja yang lebih singkat dibandingkan lembaga permanen penyelenggara pemilu di dalam negeri.
Walaupun bersifat ad hoc, PPLN memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dengan badan permanen yang menyelenggarakan pemilu di Indonesia. Beberapa negara di LN memiliki jumlah pemilih yang setara, bahkan lebih banyak dibandingkan jumlah pemilih pada level kabupaten/kota, antara lain, Kota Padang Panjang, Kabupaten Supiori, Tana Tidung, dan Mahakam Hulu yang penyelenggara pemilunya sudah permanen.
Artinya, apabila basis jumlah pemilih dijadikan salah satu indikator menentukan kelembagaan permanen dan ad hoc, sudah selayaknya pembentuk undang-undang memikirkan perubahan kelembagaan penyelenggara pemilu ad hoc menjadi permanen untuk negara-negara yang jumlah pemilihnya besar seperti Taiwan. Kelembagaan permanen akan berdampak kepada tugas dan fungsi yang sama seperti KPU kabupaten atau kota di Indonesia.
Baca juga: Jamin Hak Pilih WNI di Luar Negeri
Anggota PPLN akan memiliki waktu yang lebih panjang untuk merencanakan dan menyiapkan penyelenggaraan pemilu di luar negeri seperti berdialog atau sosialisasi dengan pemerintah di negara lain untuk menentukan tata cara pengiriman surat suara, penentuan kotak suara keliling, atau penetapan lokasi TPS di luar negeri. Dengan demikian, perlindungan bagi penggunaan hak konstitusional WNI di luar negeri lebih terjamin.
Akan tetapi, apabila kelembagaan permanen dianggap belum layak karena PPLN tidak menyelenggarakan pilkada sebagaimana lembaga KPU yang permanen, solusi lainnya adalah memperpanjang masa kerja PPLN. Masa kerja PPLN yang selama ini hanya 14 bulan, di masa depan minimal disesuaikan dengan lama tahapan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif yang ditetapkan. Dalam konteks rezim UU 7/2017 tentang Pemilu, diamanatkan tahapan pemilu berlangsung 20 bulan sebelum pemungutan suara.
Penentuan masa kerja PPLN ke depan harus memperhatikan problematika dan karakteristik di tiap negara yang mungkin saja berbeda sehingga hak konstitusional WNI di luar negeri sebagai pemilih dapat terlayani dengan baik.
Ferdinand Eskol Tiar Sirait, Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia