Bukan Tiongkok alias China jika cuma jalan di tempat dalam kubangan memori lama.
Oleh
BRE REDANA
·3 menit baca
Teras-teras sawah di punggung Gunung Longji sangat indah. Seperti subak di Bali, sawah di Desa Ping’an, Tiongkok, ini, berada di ketinggian lereng gunung antara 600-800 meter di atas permukaan laut. Dilihat dari atas, sawah dan pematangnya yang melingkar-lingkar tampak seperti punggung naga dengan bukit-bukit mendongak ke langit sebagai kepalanya. Pada bukit tertinggi terdapat pagoda bernama Tujuh Bintang dan Bulan.
Kata pemandu: ”Lihat, danau di sana seperti bulan, dan sawah-sawah yang mengelilinginya seperti tujuh bintang.”
Tiongkok adalah negeri yang terbentuk dari legenda, inskripsi, teks, serta temuan-temuan arkeologis yang dijaga dengan khidmat. Para penyair di negeri tersebut pada zaman dulu selalu merangkap sebagai sejarawan meninggalkan puisi, prosa, menghuni benak rakyatnya turun-temurun sampai sekarang.
Dengan kemajuan yang mereka capai kini sebagai negeri paling terkemuka di dunia, gedung-gedung modern, infrastruktur mutakhir, tidak lepas dari sense of space masa lalu. Istana kuno, kuil, tembok kota, jalanan berusia berabad-abad, terus hidup sebagai istana ingatan—the kingdom of memories.
Nilai-nilai dan moralitas masa lalu menjadi landasan bersama, semacam common denominator sebagai bangsa. Penguasa adalah pengemban mandat langit, Tianming, dengan istilah yang sangat umum dikenal oleh siapa saja yang mempelajari sejarah Tiongkok: Tianxia alias All Under Heaven.
Idealisasi pandangan dunia tersebut terwujud dalam praksis jalan Tao sebagai panduan spiritual dan Konfusianisme sebagai prinsip intelektualitas dan moralitas. Dua hal itulah, Taoisme dan Konfusianisme yang oleh beberapa peneliti dianggap sebagai dua tiang penyangga Tiongkok untuk menciptakan keseimbangan langit-bumi.
Alam akan memberikan tanda-tanda, termasuk bakal runtuhnya kekuasaan, manakala penguasa tak lagi mampu menjaga moralitas dan hukum yang merupakan mandat langit. Apalagi mengobrak-abrik seenak udel.
Kepekaan dan relasi manusia dengan alam itulah yang terutama sangat saya nikmati ketika berada di Tiongkok.
Di desa yang saya sebut di atas, termasuk dalam wilayah kota kecil Guilin—suatu kota yang menyenangkan—berdiam suku yang punya tradisi memanjangkan rambut. Selama ratusan tahun mereka memegang kebajikan ujaran berpengaruh Konfusius, bahwa badan, rambut, dan kulit adalah pemberian orangtua yang tak boleh dirusak. Memotong rambut berarti memotong kepala, dan sebaliknya memelihara rambut adalah memelihara kepala.
Relasi manusia dengan alam sebenderang matahari: mereka menjaga gunung, karena gunung yang baik akan memberikan air yang baik. Sungai dan parit mengalirkan air jernih berkilau di desa-desa.
Selanjutnya air yang baik menghasilkan sawah, sebutannya macam-macam sesuai bentuk dan asosiasinya (saya paling terkesan dengan teras sawah bernama Sembilan Naga dan Lima Harimau), dan beras yang baik. Beras yang baik menyehatkan microbiota, kulit kepala jadi baik. Dengan fermentasi air beras yang bagus itulah mereka memelihara rambut.
Tidak beda dengan pandangan kejawen bahwa tubuh merupakan jagat alit, wujud mikro jagat besar, kesanggupan memelihara tubuh (dan kesanggupan memelihara kepribadian) berarti juga menjaga harmoni dan keselarasan dunia.
Krida tubuh adalah bagian integral dari krida diri secara utuh termasuk krida pikiran dan spirit. Badan yang terpelihara membuat pikiran terpelihara, begitu pun sebaliknya, pikiran yang terpelihara membuat badan terpelihara.
Ketidakseimbangan kosmis dalam diri manusia, apalagi kalau terjadi pada diri penguasa, akan menyebabkan ketidakseimbangan negeri. Oleh karena itu, orang yang mengalami gangguan atau ketidakseimbangan mental tidak boleh berkuasa. Kalau dibiarkan, bencana akan terjadi.
Langit tidak memihaknya. Apalagi kalau gemblungnya kelewatan.
Musim dingin mencekam ketika saya menikmati teras-teras sawah di Gunung Longji.
Bukan Tiongkok alias China jika cuma jalan di tempat dalam kubangan memori lama. Spirit kuno mereka transformasikan pada gaya hidup masa kini.
Di desa tersebut mereka membangun laboratorium untuk mengembangkan teknik lawas perawatan rambut menjadi produk modern, bersaing dengan merek-merek ternama, seperti Estee Lauder, Lancome, SK-II, dan lain-lain.
Cewek yang di mata saya mirip bintang film Zhang Ziyi menawari saya sampo.
Apa boleh buat, sebagai konsumen saya mati kutu. Selain jadi kian percaya pada tanda-tanda langit—bukan hasil survei duniawi—saya meninggalkan desa itu dengan menenteng tas belanja isinya sampo.