Tangan-tangan Semesta yang Bertumbuh
Karya I Made Djirna berangkat pada kekuatan Semesta sebagai ”aktor” utama dalam berkesenian.
Tiba-tiba perupa I Made Djirna (66) ”kesurupan”. Setelah menuangkan cat, sambil menari-nari ia garu-garu kanvas (kain di atas tanah) dengan sapu lidi. Bahkan, sekali waktu ia ingin meniru adegan nenek sihir yang terbang ”mengendarai sapu”. Sayang tangkai sapunya patah.
Ketika suara tabuh bleganjur semakin meninggi, ia terbaring dan berguling-guling. Seluruh tubuh ringkihnya berlepotan cat. Tetapi, gamelan terus bertalu-talu, darah seniman kelahiran Bali itu terus berdegup….
Pemilik Arma Museum Anak Agung Gde Rai, para seniman, serta pencinta seni yang hadir, Jumat (5/1/2024), di panggung terbuka Arma Museum Ubud, seperti terenyak. Mereka tak percaya, Djirna yang pendiam dan santun tiba-tiba berubah menjadi ”garang”.
Perfomance art yang digelar tepat di depan karya instalasi berjudul ”Numpang Lewat Tumbuh dan Berkembang Bersama” itu mengejutkan banyak pihak. Tidak semata karena aksi Djirna yang di luar kebiasaannya, tetapi karya instalasi yang dimulai Djirna sejak 2021 mengundang banyak tafsir.
”Numpang Lewat Tumbuh dan Berkembang Bersama” mengingatkanku pada situs Bunut Bolong di Desa Manggissari, Pekutatan, Jembrana, dan situs percandian Angkor Wat di Kamboja. Bisa jadi kedua situs ini menjadi inspirasi bagi Djirna untuk merumuskan apa yang aku sebut sebagai seni semesta. Banyak yang menyebut seni semesta sama dengan istilah seni alam. Secara prinsipiil mungkin memiliki kesamaan, tetapi pada praktik kerja keseniannya terdapat perbedaan-perbedaan yang mendasar.
Seni alam bisa bersisian maknanya dengan art and nature, seni yang kembali menggunakan unsur-unsur alam sebagai bahasa estetik dalam mempresentasikan keindahan. Dalam dunia seni, tenun misalnya, belakangan para kreatornya menggunakan pewarna dan serat alami tidak lain sebagai upaya untuk menjinakkan isu tentang pencemaran lingkungan oleh zat pewarna benang yang tak mudah diurai alam.
Pada bidang lainnya, art and nature juga terkadang ”dilakonkan” sebagai peredam isu perusakan lingkungan. Banyak seniman kemudian bergelut dengan seni lanskap atau land art. Seniman Nyoman Nuarta ketika membangun kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bukit Balangan, Jimbaran, Bali, secara sengaja menjadikan bukit kapur sebagai bagian dari seni. Ia hanya memotong-motong bukit menjadi tebing-tebing dan dinding di kawasan itu.
Nuarta melakukan itu atas dasar kesadarannya tentang art and nature, bahwa alam bisa dijadikan bagian yang terintegrasi dalam konsep keindahan.
Sedikit berbeda dengan I Nyoman Tjokot yang lahir di Desa Sebatu, Tegallalang, Gianyar, tahun 1886. Tjokot artinya ambil, mungkin karena itulah ia berburu bongkahan kayu bekas di tengah hutan dan sungai tempat kelahirannya. Patung-patung karyanya kemudian berangkat dari kesadarannya tentang ”kehendak” alam.
Baca juga: Sihir Kekuasaan
Kayu-kayu yang terkikis dan membusuk akibat proses alami ia ikuti sesuai konturnya untuk kemudian digubahnya menjadi sebuah patung. Metode kerja semacam ini ia lakukan atas dasar kesadaran tidak melakukan eksploitasi terhadap alam, terutama pepohonan.
Pada dasarnya, jika ingin membuat patung, baik itu dari batu maupun kayu, sebagian besar seniman mengambilnya dari alam. Pengambilan material patung dari alam itulah yang sering kali justru mengeksploitasi alam. Ada unsur ”pemaksaan” seperti harus menebang pohon atau membelah bukit untuk membuat sebuah patung.
Tjokot berbeda. Ia hanya memungut kayu-kayu lapuk di tengah hutan yang tumbang karena proses alami. Tak jarang kayu-kayu itu sudah benar-benar busuk dengan lubang-lubang dimakan ngengat di seluruh sisinya. Dalam pandangan Tjokot, seni justru harus mampu menggubah apa yang disediakan oleh alam.
Dalam kacamata pandang dramawan Putu Wijaya filosofi ini disebut ”bertolak dari apa yang ada”. Seni tak perlu ”direkayasa” oleh terlalu banyak campur tangan manusia. Sebab, pada dasarnya, seni telah tersubstitusi secara dalam pada seluruh elemen alam.
Lahirlah kemudian apa yang sekarang kita kenal dengan Tjokotisme. Sebuah gaya patung yang memanjang sampai hari ini di sekitar daerah Ubud dan Tegallalang. Meski terdapat berbagai modifikasi, terutama terhadap penggunaan kayu-kayu yang sengaja ditebang, Tjokotisme tetap berpatokan pada acuan aliran surealisme di Barat. Dalam sebatang kayu bisa terdapat berbagai adegan yang saling tumpang tindih satu sama lainnya. Tak harus berisi narasi, tetapi umumnya mengikuti kontur dan serat dari sebatang kayu.
Seni semesta yang dikembangkan Made Djirna berbeda lagi. Ia kembali kepada kekuatan Semesta sebagai ”aktor” utama dalam berkesenian. Bahkan, Semesta memiliki energi bertumbuh dan berkembang, yang pada akhirnya melahirkan ”karya seni” kehidupan.
Djirna berangkat dari batu-batu apung yang ia pungut saban pergi ke pantai. Pada batu-batu itu, katanya, terdapat goresan-goresan Semesta melalui air dan matahari. Itulah yang menyebabkan setiap batu memiliki karakter yang berbeda.
”Setiap ke pantai saya punguti setiap batu. Untuk apa? Itu saya belum tahu, tetapi percaya saja bahwa karakter pada batu akan menemukan takdirnya di kemudian hari,” kata Djirna.
Tahun 2021 di tengah kecamuk pandemi Covid-19, ia mendapatkan tawaran dari Agung Rai untuk membuat karya instalasi di halaman Museum Arma Ubud. Keduanya kemudian bersepakat untuk memulai berkarya di bawah pohon banyan.
Keduanya juga saling memahami karakter pohon banyan atau di Bali dikenal dengan nama punyan bingin (beringin). Pohon ini memiliki sifat ekspansif dengan akar gantung atau bangsing yang indah. Jika saatnya tiba, bangsing-bangsing itu akan menjadi akar tunggang dan batang, yang membelit apa pun yang ada di sekitarnya.
”Punyan bingin bisa jauh lebih besar dari bangunan yang ada di sekitarnya,” kata Agung Rai, sembari mencontohkan kompleks candi Angkor Wat di Kamboja. Katanya, banyak bangunan candi dalam beberapa tahun sudah ”ditelan” oleh sifat ekspansif akar beringin. Dan itulah keindahan yang diciptakan oleh tangan Semesta. ”Ya itu tangan Semesta. Seni bertumbuh dan berkembang oleh tangan-tangan ajaib,” ujar Agung Rai.
Pada mulanya, Agung Rai menaruh beberapa patung di bawah pohon banyan di halaman museum. Kini patung-patung itu telah menjadi bagian integral dari beringin. Karya Djirna berupa konstruksi patung-patung ”primitif”, batu-batu yang dijalin dengan tali, serta beberapa material dari ijuk, diciptakan secara bertahap. Kini sebagian dari material itu telah menjadi bagian dari punyan bingin.
Pada Jumat, 5 Januari 2024 lalu, sebagai penanda keberadaan karyanya, Djirna melakukan happening art. Selain melukis dengan sapu lidi, para penari juga perlahan-lahan membuka selubung kain putih yang menutup karya-karya tiga dimensi Djirna.
”Saya yakin 25 tahun nanti, karya ini akan tumbuh menjadi karya yang berbeda,” kata penulis seni Warih Wisatsana. Warih menambahkan, Djirna mengembalikan seni pada ”asal mula”, yakni kekuatan daya cipta yang berasal dari sumber agung, Semesta.
Selain karakter ekspansif akar pohon beringin serta tinggi pohon yang bisa mencapai 40-50 meter dengan diameter batang 100-190 cm, di Bali pohon ini termasuk jenis pohon yang disucikan. Pada saat acara mamukur, rangkaian dari ngaben, terdapat satu ritual yang disebut ngangget don bingin (memetik daun beringin). Para anggota keluarga roh yang akan disucikan bersama-sama ngangget don bingin. Secara simbolik daun beringin yang telah dipetik akan disatukan dengan puspa lingga (perwujudan dari roh suci yang dibentuk dengan bunga).
Daun beringin ibarat perwujudan kesadaran roh suci yang dengan rangkaian upacara berikutnya siap bersatu dengan Sang Maha Pencipta. Ia adalah simbol perlindungan dan kebermanfaatan bagi kehidupan manusia. Sebagaimana sifat pohon beringin yang menjadi pelindung bagi burung-burung serta hewan lainnya. Selain menjadi tempat berteduh, pohon beringin juga memberi buahnya kepada burung-burung. Selanjutnya burung-burung menerbangkannnya ke segala penjuru mata angin.
Biji pohon beringin bisa bertumbuh di tanah yang tidak subur sekalipun. Bahkan, setelah tumbuh ia akan menjadi pelopor bagi kesuburan tanah di sekitarnya. Lalu perlahan-lahan tumbuhlah pohon-pohon lainnya. Watak seperti inilah yang diharapkan tumbuh pada roh yang telah disucikan, jika nanti menjalani samsara (reinkarnasi). Ia akan terlahir kembali menjadi manusia utama yang memiliki sifat-sifat mulia.
Sebagai orang Bali yang tumbuh di Ubud, walau menempuh pendidikan di Yogyakarta, Djirna paham benar watak cinta kasih dari pohon beringin. Oleh sebab itu, ia ”menanam investasi” karya di bawahnya. Dengan cara itu, ia akan berjalan ”bersisian” dengan Semesta di dalam membentuk sebuah karya seni.
Seni instalasi yang dibagun Djirna di bawah akar-akar beringin, perlahan-lahan akan ”tertelan” sosok pohon yang terus meninggi. Tak ada satu pun orang yang dapat memprediksi kemana menjalarkan akar beringin. Kekuatan seperti itulah yang terjadi di Angkor Wat dan Bunut Bolong. Bahkan pada situs yang terakhir, akar-akar pohon beringin ”mengangkangi” jalan raya sehingga kendaraan yang lewat harus melewati sebuah lubang di tengahnya.
Abad kegelapan sebelum Galungan
Karya ”Numpang Lewat Tumbuh dan Berkembang Bersama” ibarat mengembalikan seni kepada pemiliknya yang sah: Semesta. Ini khas cara kerja seni ketimuran yang percaya kepada kekuatan spirit pada saat seni diciptakan. Spirit seni yang ”meciptakan” itu disebut dengan taksu. Dalam dunia tari, taksu menjadi keharusan bagi seorang penari. Oleh sebab itulah mereka tak segan menjalani laku seperti ngayah di berbagai pura pada saat ada upacara.
Ngayah tak lain sebuah laku persembahan di hadapan dewata yang didasari oleh keikhlasan dan berserah secara total. Taksu tak bisa diminta, ia hanya akan melekat pada seorang penari atau seniman, dengan totalitas laku, bahwa menjalani laku berkesenian adalah mempersembahkan seluruh inti dari kemanusiaan kepada Semesta, sebagai Pencipta Yang Mahaagung. Semua dilakukan demi memperoleh kemuliaan dan kebahagiaan seluruh umat.
Spirit yang disebut taksu inilah pokok soal yang coba dipresentasikan secara visual oleh Djirna lewat ”Numpang Lewat Tumbuh dan Berkembang Bersama”. Jika dalam tari taksu bisa muncul sebagai wibawa, pada karya instalasi Djirna, taksu adalah tangan-tangan Semesta yang bekerja secara gaib. Pantas kita nanti 25 tahun lagi. Semoga kita semua diberi kesempatan menjadi saksi untuk melihat pohon banyan tumbuh dan berkembang bersama karya I Made Djirna.