Turki memang aneh. Meskipun banyak orang Indonesia merujuk ke budaya Turki, sikap orang Turki terhadap pengaruh asing amat bertolak belakang dengan Indonesia.
Oleh
JEAN COUNTEAU
·3 menit baca
Saya tidak tahu apakah hal ini pernah/sering terjadi pada Anda: merasa diri sangat pintar, ujung-ujungnya mendadak menyadari diri sendiri bodoh. Hal ini benar-benar terjadi pada saya yang sejatinya merasa cukup kosmopolit, bisa berbahasa macam-macam, menyadari masalah kemiskinan penduduk Niger seperti masalah kekayaan penduduk Menteng di Jakarta.
Namun, kemarin pagi, yaitu tanggal satu Januari, saya betul-betul kelabakan, dan merasa bodoh. Pikirkanlah! Tanggal satu, ”kita” ”biasanya” mengucapkan ”selamat Tahun Baru” dan dibalas dengan kalimat serupa. Maka, ketika cucu saya Nur, yang saya sedang kunjungi di Ankara, Turki, keluar dari kamarnya, saya langsung menyapa: ”Happy New Year, Nur!”.
Tahukah Anda apa yang dia jawab: ”Good Morning, Granddad.” Ya, dia tidak membalas dengan ”Happy New Year, Grandpa”. Astaga! Tidak pernah terpikir oleh saya bahwa yang berlaku ”di sebelah sungai ini” tidak berlaku ”di sebelah sungai sana”. Yang halal di sini pantang di situ.
Goblok saya memang! Mau berlagak universalis, ternyata kampungan. Di Ankara, Turki, Tahun Baru tidak dirayakan ramai-ramai. Apakah karena pantangan ini mengacu pada peradaban yang mereka tinggalkan 500 tahun lebih yang lalu ketika Rum dijadikan Istanbul. Yang jelas, di Ankara, kantor-kantor semua terbuka pas 1 Januari, termasuk universitas cucu saya. Turki memang aneh. Meskipun banyak orang Indonesia merujuk ke budaya Turki, sikap orang Turki terhadap pengaruh asing amat bertolak belakang dengan Indonesia.
Kalau di jalan-jalan kota, jangan berharap bertemu dengan logo-logo merek asing, semua bahasa Turki melulu, dan orang-orang tak mencoba memperlihatkan kemahiran bahasa Inggris, semua harus dalam bahasa setempat. Bisa jadi merupakan pertanda kebanggaan historis: tidak pernah dijajah, malah sebaliknya menjajah bangsa lain selama ratusan tahun.
Kembali ke perayaan Tahun Baru, kenapa kita ”berpikir” tanggal satu Januari adalah tahun baru ”internasional”, dari Kiribati di Timur sampai Vancouver di Barat? Dan, memang dirayakan di hampir seluruh dunia sehingga di banyak tempat, orang menanti tengah malam jam dua belas tanggal 31 Desember untuk berhore-hore dan meluncurkan suar, seolah-olah betul-betul ”internasional”.
Tetapi, ini keliru, kalender Gregorian yang dianggap internasional ini sebenarnya tidaklah internasional. Ia cuma menjadi pertanda bahwa sang kapital, yang mau tidak mau berwajah Barat, atau campuran Barat, telah atau sedang melabrak daerah-daerah kultural-budaya yang belum berada di bawah kuasanya.
Kini kita memang sedang menyaksikan internasionalisasi waktu. Dari Beijing sampai Mumbai, Dakar dan Valparaiso, ada saja ribuan atau ratusan ribu orang berjejalan di jalan merayakan sang Kapital di dalam wujud perpindahan tahun dan waktu.
Apakah ada resistensi? Kita akan tahu di dalam beberapa waktu apakah perayaan Imlek lebih ramai di Beijing dan perayaan Diwali lebih ramai di Mumbai daripada tanggal satu Januari di kota-kota yang sama. Kuasa internasionalisasi kapital akan terlihat waktu itu. Karena politik juga bermain.
Bisa jadi tanggal satu Januari lebih ramai daripada Idul Fitri di Dubai, tetapi jangan berharap hal ini terjadi di Jeddah. Adapun di Afghanistan mereka kini sudah ”lupa” adanya sistem tahun bernama Gregorian, ciptaan tahun 1582, karena mereka sudah kembali ke abad ketujuh Hijriah (di-Masehi-kan).
Ya, politik bermain. Coba bayangkan situasi kedua saudara-musuh Slavik Rus, Rusia dan Ukraina. Rusia tidak mau takluk pada perhitungan tahun ala Barat, maka yang kini makin dirayakan di Rusia adalah tahun baru kalendar Julian, yang jatuh hari ini, tanggal 7 Januari. Sebaliknya, orang Ukraina ramai-ramai meninggalkan kalendar Julian Rusia untuk merujuk ke Gregorian.
Lalu, bagaimana di Indonesia, negeri segala perpaduan: semua tahun baru bermacam kalender dirayakan. Kalau ada yang baru muncul, pasti diterima.
Bahkan, kalau di Bali, tanggal satu Januari sedemikian penting sehingga kerap dibuatkan sesaji banten. Bangsa Indonesia memang mengutamakan persamaan.
Namun, yang paling merisaukan adalah cara orang Israel dan orang Palestina kini bagaimana merayakan perayaan tahun ”kurban” Ibrahim yang sama di tempat yang sama? Bertumbangan korban kekejian tanah leluhur sehingga sang Kronos sendiri, penguasa waktu itu, bisa saja hancur lebur di perang kaliyuga yang tanpa taranya.