Natal merupakan perayaan Allah yang mendamaikan dan memoderasi. Karena itu, Natal hendaknya menjadi inspirasi bagi pembangunan jembatan damai dan moderasi.
Oleh
BENNY DENAR
·3 menit baca
Perayaan damai
Penjelmaan Allah menjadi manusia yang dirayakan dalam Natal sesungguhnya menyatakan Allah memilih jalan damai terhadap kedosaan dan keterlukaan manusia. Tuhan Yesus yang lahir dan dirayakan dalam Natal adalah Pangeran Damai. Sebab, Dialah yang mendamaikan langit dengan bumi, mendamaikan Yang Ilahi dengan yang insani.
Kelahiran-Nya menyatakan bahwa kedamaian hakiki tak dapat diterima manusia dari dunia, tetapi mesti dihadiahkan oleh Allah. Hadiah terbesar Allah untuk perdamaian yang hakiki itu menyata dalam kelahiran Yesus Kristus. Dialah kedamaian yang sejati. Maka, amat tepat Santo Leo Agung menyatakan; Natalis Domini, natalis est pacis (Kelahiran Tuhan adalah kelahiran kedamaian).
”Salam Damai Natal” yang sering diucapkan dalam peristiwa Natal berakar kepada pendasaran teologis bahwa Yesus Kristus adalah jalan dan jembatan perdamaian. Terhadap manusia dan dunia yang berdosa dan terluka, Allah membangun dialog relasionalitas, bukan monolog.
Melalui Natal, Tuhan memperlihatkan secara jelas jalan perdamaian melalui perjumpaan dan dialog, bukan melalui pertentangan, apalagi peperangan. Dalam Natal jelas tidak berlaku prinsip; “barangsiapa ingin damai, maka bersiaplah untuk perang”. Dalam Natal diperlihatkan bahwa Tuhan telah melakukan segalanya, bahkan melakukan kemustahilan, yakni dengan menjadi manusia untuk kedamaian dunia dan manusia.
Natal membahasakan bahwa jika ada jurang yang tidak dapat dijembatani antara Tuhan dan manusia berdasarkan kebajikan penciptaan, jika manusia terjebak dalam keputusasaan karena dosa yang tiada habisnya, maka kekuasaan Yang Maha Tinggi harus bekerja untuk mendamaikan, bahkan menebusnya. Natal memperlihatkan Allah tidak risih dengan kedosaan dan kehinaan manusia, tetapi justru mengangkatnya melalui inkarnasi.
Natal mengungkapkan secara gamblang bahwa kekudusan Allah dan Kerajaan-Nya tidak menyebabkan diri-Nya terisolasi, tetapi senantiasa terbuka untuk luka dan dosa manusia. Tuhan yang dirayakan dalam peristiwa Natal adalah Tuhan “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Filipi 2:6-7).
Jembatan moderasi
Jika demikian, apa yang terjadi dalam peristiwa Natal sebenarnya adalah pembangunan jembatan moderasi yang menghubungkan kekudusan dan kemahakuasaan Allah di satu sisi, dengan kedosaan dan kekecilan manusia di sisi lain. Natal merupakan perayaan moderasi antara surga dengan bumi, antara Yang Ilahi dan yang duniawi, antara yang kudus dan yang berdosa. Dalam Natal tampak jelas bahwa Allah senantiasa membangun jembatan perdamaian dan moderasi, bukannya mendirikan tembok pembatas dan permusuhan.
Jembatan moderasi dalam Natal tersusun karena adanya pertukaran niat baik antara Yang Ilahi dan yang duniawi. Hal ini, misalnya, terbaca dalam kata-kata Mazmur: ”Kasih dan kesetiaan akan bertemu, keadilan dan damai sejahtera akan bercium-ciuman. Kesetiaan akan tumbuh dari tumbuh dari bumi, dan keadilan akan merunduk dari langit. Bahkan, Tuhan akan memberikan kebaikan, dan negeri kita akan memberi hasilnya” (Mazmur 85:11-13). Menurut Paus Bendiktus XVI, dalam Natal pertukaran niat baik itu menjadi nyata (Benedict XVI, 2012).
Paus Benediktus XVI menjelaskan bahwa manusia dan alam semesta menjadi baru manakala ia kembali terarah kepada Allah, manakala ia menerima kembali fitrahnya yang sejati dalam harmoni kehendak insani dan kehendak Ilahi, dalam kesatuan dari atas dan dari bawah. Di sini konsep keselamatan hanya akan terjadi dengan adanya jembatan moderasi antara kasih dan keadilan dari Yang Ilahi dengan kesetiaan dan kebenaran yang tumbuh dari bumi.
Dengan uraian di atas terlihat jalas bahwa ber-Tuhan atau beragama dalam semangat Natal sifatnya mendamaikan dan moderatif. Sebab, Allah yang tampil dalam Natal sungguh mendamaikan dan moderatif. Itu adalah sifat khas-Nya. Dalam Dia hanya ada kasih dan damai, tidak ada kebencian apalagi balas dendam.
Dengan demikian, seharusnya orang yang mengaku beragama, apalagi ber-Tuhan, mesti bersaksi atau mempromosikan spiritualitas Allah yang penuh kasih, damai, dan moderatif tersebut. Jika semangat itu yang dikedepankan, seharusnya tidak boleh ada orang yang merasa begitu beragama dan ber-Tuhan sampai-sampai menganggap sesamanya sebagai yang najis dan pantas dijauhi.
Tidak boleh ada orang beragama yang merasa dirinya demikian suci, sampai-sampai mengisolasi diri dari saudaranya sendiri. Tidak boleh ada orang yang dengan kebanggaaan akan agamanya merasa saudara sebangsanya sendiri yang beragama lain sebagai orang yang pantas dikucilkan atau bahkan dipersekusi.
Beragama seharusnya tidak membuat kita menspiritualisasi kebencian, seolah-olah tangan kita dipakai Tuhan untuk memukul orang-orang berdosa. Sebab, Allah adalah kasih dan damai. Dia membangun kembali jembatan persaudaraan dan perdamaian yang retak. Dia merangkul, bukannya memukul. Selamat Natal.