Menyelamatkan Pertanian
Adalah sebuah keniscayaan bahwa calon orang nomor satu Indonesia harus punya pemahaman dan empati mendalam soal pertanian.
Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden kini mulai menawarkan program kerja mereka jika kelak terpilih. Namun, masalah aktual bidang pertanian dan pangan belum menjadi pokok perbincangan utama.
Tantangan krisis pangan akibat perang dan kebijakan beberapa negara untuk tidak mengekspor cadangan pangan berulang kali mencuat ke permukaan meski masih sebatas retorika politik. Akan tetapi, perbincangan itu masih kurang menyentuh petani—sebagai pelaku budidaya pertanian.
Perhatian difokuskan pada produksi pertanian dan kecukupan pangan, secara politis sering diperdebatkan sebagai ketahanan pangan versus kedaulatan pangan. Kesejahteraan pelakunya nyaris selalu terabaikan.
Hal ini mungkin terjadi karena kurangnya pemahaman tentang pertanian dan terutama petani. Problem utamanya terletak pada kegagalan, atau lebih tepatnya keengganan, para politisi untuk melongok isu pertanian secara menyeluruh dan mendalam.
Ketika fokusnya ”hanya” pada kecukupan pangan, selalu ada ”senjata” jalan pintas berupa impor pangan. Ketika pangan impor sudah memenuhi gudang-gudang cadangan pangan, seolah-olah semua persoalan sudah terselesaikan.
Adalah sebuah keniscayaan bahwa calon orang nomor satu Indonesia harus punya pemahaman dan empati mendalam soal pertanian. Pertanian bukanlah sekadar salah satu sektor dalam pembangunan.
Adalah sebuah keniscayaan bahwa calon orang nomor satu Indonesia harus punya pemahaman dan empati mendalam soal pertanian.
Pertanian adalah bagian dari budaya, buah perkembangan peradaban manusia. Itu sebabnya kata pertanian sering dipadu dengan budidaya menjadi budidaya pertanian, yang jauh lebih kaya makna dari sekadar bertani atau bercocok tanam. Orang Inggris juga menyebut pertanian sebagai agriculture, bukan sekadar farming atau planting.
Pemimpin perlu menyelami dunia pertanian, bukan dengan sekadar mereduksinya menjadi angka-angka. Ketika pertanian disederhanakan menjadi angka, maka akan ada sosok yang dinafikan, yaitu petani.
Perbincangan tentang pertanian, terutama petani, sangat kurang dalam ruang publik. Sebagai contoh, perbincangan soal pemindahan ibu kota negara ke Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur, idealnya tidak terbatas pada nilai penting kenegaraan dan warisan keluhuran (legacy) pemimpin saja.
Berpindahnya pusat pemerintahan ke IKN tentu akan menciptakan episentrum pertumbuhan baru negeri ini. Apa implikasi dari lahirnya episentrum baru ini bagi Pulau Jawa? Apakah Jawa setelah ”kehilangan” ibu kota negara akan dipulihkan sebagai lumbung pangan terbesar Indonesia?
Perbincangan tentang hal ini sama sekali tidak pernah muncul. Padahal, data Badan Pusat Statistik menunjukkan, hingga 2022, Jawa secara keseluruhan masih menyumbang lebih dari separuh (sekitar 56 persen) produksi padi Indonesia.
Memahami pertanian
Lebih dari dua abad lalu (1817), dalam karya besarnya, The History of Java, Sir Thomas Stamford Raffles FRS menuliskan, ”Pulau Jawa adalah tanah pertanian yang hebat, tanah adalah sumber utama kekayaannya. Penduduknya hidup dengan bercocok tanam, mereka bergantung pada hasil pertanian, bukan hanya untuk bertahan hidup, bahkan mampu membeli barang mewah asal luar negeri dengan hasil panen. Penduduk Jawa adalah bangsa petani....”.
Kedigdayaan budidaya padi Jawa bukan kisah baru. Dalam catatan Raffles, saat itu Sumatera, Malaka, Kalimantan, dan Maluku bergantung pada pasokan beras dari Jawa. Bahkan, Raffles mencatat beras Jawa diekspor oleh penguasa Hindia Belanda ke Sri Lanka, Coromandel (India), dan Tanjung Harapan (Afrika Selatan).
Pertanian direduksi menjadi angka-angka, seperti luas panen, produksi, produktivitas, laju pertumbuhan, dan nilai tukar petani (NTP) yang selalu kita jumpai dalam laporan statistik resmi. Kita sering lupa bahwa budidaya pertanian adalah salah satu profesi manusia yang tersulit.
Meminjam ungkapan Tansey & Worsley (Food System, 1996), farmers are at the riskiest end of the food system. Tantangan yang harus dihadapi petani tidak tanggung-tanggung, yaitu kekuasaan alam (terutama perubahan iklim), korporasi agro-kimia, tengkulak, pedagang, dan bahkan pemerintah juga.
Dari waktu ke waktu mereka bergulat dengan cuaca dan harga yang bisa disebut di luar kendali mereka. Sudah sejak lama pula kebijakan budidaya pertanian mengidap apa yang dikenal sebagai bias perkotaan. Kebijakan budidaya pertanian lebih banyak ditentukan oleh mereka yang sama sekali bukan petani dan tidak hidup di desa.
Kebijakan budidaya pertanian lebih banyak ditentukan oleh mereka yang sama sekali bukan petani dan tidak hidup di desa.
Sejak Revolusi Hijau, laju komodifikasi pertanian memang tidak dapat ditahan. Dalam gelombang globalisasi, pertanian makin tersandera oleh kekuatan ekonomi dan politik global.
Atas nama modernisasi dan pembangunan ekonomi, pertanian dikemas dalam konsep-konsep seperti agribisnis dan agroindustri, yang sejatinya mereduksi makna pertanian itu sendiri.
Hegemoni atas pertanian sudah lama lepas dari genggaman petani. Fenomena ini tidak hanya berlangsung di Indonesia, tetapi berlangsung menyeluruh, sejagat. Sudah sejak lama sarana dan cara budidaya, harga, produktivitas, serta keuntungan budidaya pertanian sedikit banyak didikte oleh segelintir korporasi pertanian multinasional.
Untuk mengangkat petani dari cengkeraman sistem pertanian yang makin rumit dan hegemonik itu, yang diperlukan bukan saja pemerintah yang berani melawan komodifikasi pertanian. Melawan komodifikasi pertanian sama halnya dengan melawan hegemoni para raksasa bisnis dan industri pertanian yang beroperasi sebagai mesin global.
Diperlukan sosok pemimpin yang berani melepaskan diri dari pola pikir dan cara kerja biasa-biasa saja (business as usual). Pemimpin diharapkan mampu ”membaca” pertanian lebih dari angka-angka dan rela menukik lebih dalam ketika memaknai angka-angka itu.
Pemimpin seyogianya melepaskan diri dari belenggu kebiasaan cepat puas dengan pencapaian angka-angka yang sering kali tidak mencerminkan kondisi nyata petani.
Singkatnya, dia harus mau dan mampu menyelami makna di balik angka-angka semu itu, kemudian berani melahirkan kebijakan dan tindakan kreatif. Pemimpin mendatang harus berani punya pikiran alternatif, dengan menafsirkan angka-angka statistik secara lebih mendalam, menyibakkan yang semu, menguak yang hakiki.
Kesejahteraan petani
Salah satu tantangan yang patut diajukan kepada pemimpin tertinggi negara ini adalah untuk mengubah secara radikal penghargaan terhadap profesi petani. Untuk menggambarkan kesejahteraan petani selama ini, pemerintah terkesan cukup puas pada tolok ukur NTP. Sangat lazim kita mendengar bagaimana pejabat menyatakan berhasil mengangkat kesejahteraan petani ketika wilayah yang diampunya mampu mencatatkan nilai NTP lebih dari 100.
Sejatinya NTP bukanlah tolok ukur kesejahteraan petani, melainkan sekadar indikator survival petani. Nilai itu membandingkan antara indeks harga yang diterima petani (IT) dan indeks harga yang dibayar petani (IB), dinyatakan dalam persentase (Kementan, 2012).
Dalam IT termuat biaya usaha tani, sedangkan IB memuat biaya usaha tani plus biaya konsumsi rumah tangga. Dengan demikian, ketika NTP lebih besar dari 100 tidak otomatis berarti petani sejahtera, tetapi bergantung pada sehebat atau sesederhana apa konsumsi rumah tangga petani kita.
Dengan kata lain, jika petani masih bertahan dalam standar hidup yang sederhana, NTP melempem. Dalam hal ini rumus penetapan upah minimal untuk pekerja (UMP dan UMK) jauh lebih canggih karena melibatkan konsumsi rata-rata per kapita, rata-rata jumlah anggota rumah tangga, rata-rata jumlah anggota rumah tangga yang bekerja, serta pertumbuhan ekonomi dan inflasi suatu wilayah. Sudah saatnya NTP disempurnakan dengan rumus perhitungan pendapatan yang lebih atraktif.
Salah satu tantangan yang patut diajukan kepada pemimpin tertinggi negara ini adalah untuk mengubah secara radikal penghargaan terhadap profesi petani.
Dalam menetapkan rumus NTP, hendaknya kita mulai berpola pikir sebagai orang berkecukupan yang berniat mengangkat saudara-saudara kita, para petani, untuk hidup berkecukupan.
Komponen konsumsi rumah tangga dalam IB, penyebut dalam rumus NTP, harus diubah. Nilai konsumsi petani semestinya didasarkan pada standar hidup orang berkecukupan. Hanya dengan begitu, NTP bisa ”berbunyi”. Angka-angka statistik dan tolok ukur pembangunan pertanian harus diselami sepenuh hati. Jika tidak, sengaja atau tidak, disadari atau tidak, klaim angka NTP hanya ”gelembung” kosong belaka.
Baca juga : Menjaga Kesejahteraan Petani
Budi Widianarko,Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Soegijapranata Catholic University (SCU); Board Yayasan Gita Pertiwi, Solo