Perubahan iklim semakin jelas dampaknya. Terusan Panama memberi sinyal perlunya dunia bergegas menerapkan pembangunan rendah emisi.
Oleh
Redaksi Kompas
·2 menit baca
Jelang tahun berganti, dunia pelayaran global terguncang. Level air Terusan Panama menyusut, yang berdampak pada jumlah kapal melintas yang dibatasi.
Periode 1-31 Desember 2023, Otoritas Terusan Panama (PAC) membatasi jumlah kapal yang melintasi terusan 82 kilometer itu jadi 22 kapal per hari dari normalnya 36 kapal. Jumlahnya terus dikurangi jadi 20 kapal di Januari 2024 dan 18 kapal di Februari 2024. (Kompas.id, 16 Desember 2023)
Pekan pertama Desember ini, 167 kapal melintasi terusan itu, turun dibandingkan periode sama tahun lalu 238 kapal. Kapal-kapal yang tak memesan slot melewati Terusan Panama jauh hari sebelumnya, harus mengantre 12-14 hari. Rugi waktu dan biaya.
Media-media besar di Amerika Serikat, Eropa, Asia, dan Afrika pun menyoroti ”pengeringan” Terusan Panama, sejak medio tahun 2023. Selama ini, pembahasan jalur strategis untuk memperpendek jalur pelayaran global itu seputar sejarah, politik, ekonomi, hingga kesehatan. Kali ini berbeda.
Pembatasan pelayaran bukan karena pembajakan seperti di Teluk Aden atau serangan rudal Houthi di Laut Merah. Penyusutan level air dikaitkan dengan isu ekologi: perubahan iklim dan fenomena El Nino. Sebab, operasional Terusan Panama bergantung pada volume bendungan air tawar di sana.
Dampak iklim sangat nyata jika melihat Terusan yang dibangun 1904 itu. Bukan hanya komoditas terkait pangan, industri, hasil tambang, atau komoditas besar lain yang terimbas. Persiapan perayaan Natal pun terganggu karena kiriman hiasan atau kado Natal tak sampai tepat waktu.
Terusan Panama mempertegas lagi, dampak pemanasan global pemicu perubahan iklim sejatinya menyentuh soal keseharian. Bukan isu mengawang-awang. Dampak iklim terkait apa yang kita konsumsi dan nikmati sehari-hari, dari petani produsen pangan yang kekurangan air di perdesaan hingga polusi udara di kota besar dunia. Semua terdampak!
Liputan khusus jurnalisme data harian Kompas (Kompas.id) pun menulis, dampak El Nino (kekeringan ekstrem) dan La Nina (hujan berlebih) membuat pengeluaran warga miskin desa atau kota rata-rata naik 82 persen pada 2030 hingga 578 persen pada 2045. Tanpa solusi, kondisi itu akan menyedot dana negara hingga ratusan triliun rupiah untuk subsidi perlindungan sosial (Kompas.id, 30 November 2023).
Jika melihat tren dunia saat ini, sebagaimana laporan Panel Ahli Antarnegara terkait Perubahan Iklim (IPCC), suhu Bumi terus naik seiring lambatnya menekan laju emisi karbon penyebab pemanasan global. Tanda-tanda itu kian jelas, ketika September lalu Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengumumkan rata-rata suhu permukaan Bumi mencapai 16,38 derajat celsius, lebih tinggi 1,75 derajat celsius dibandingkan rata-rata September periode 1850-1900.
Oktober lalu pun menjadi bulan Oktober terpanas dalam pencatatan iklim global 174 tahun terakhir. Kini, kabar dari Terusan Panama mengonfirmasi dunia bahwa kita sedang tidak baik-baik saja. Riset berlimpah dan diskusi global digelar mengenai cara-cara menekan laju emisi dan pendidihan Bumi. Hanya saja, dunia belum sungguh-sungguh melakukannya.