Menguji Mimpi Transisi Energi dan Ekonomi Tinggi
Indonesia memerlukan peta jalan penggunaan energi yang lebih rinci dan terintegrasi. RPJMN dan KEN hanya menetapkan arah yang bersifat umum.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan tercepat, bermimpi menjadi negara maju dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat. Impian tersebut diharapkan dapat tercapai pada 2045, sebagai bagian dari “Visi Indonesia 2045”, dalam rangka peringatan 100 tahun kemerdekaan RI.
Indonesia juga berkomitmen mencapai Perjanjian Paris tentang pencapaian Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission/NZE) pada 2060 atau lebih awal. Artinya, kedua impian yang ambisius tersebut harus diwujudkan secara bersamaan. Secara teoritis, berdasarkan hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC), kombinasi kedua target tersebut akan menjadi tantangan.
Secara historis, pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang akan membebani lingkungan hingga melampaui tahap industrialisasi. Baru setelah itu kerusakan lingkungan kemudian akan menurun seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, untuk mencapai cita-cita sebagai negara maju pada 2045 dan NZE pada 2060 atau lebih awal, Indonesia memerlukan arah yang berbeda dengan hipotesis EKC.
Pemerintah Indonesia telah mengembangkan arah untuk mencapai “Visi Indonesia 2045” dan NZE. Arah tersebut tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Kebijakan Energi Nasional (KEN). Kedua dokumen yang masih dalam tahap draft ini akan mengatur arah pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk mencapai negara berpendapatan tinggi, bauran energi yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, dan penurunan emisi untuk mencapai target NZE.
Baca juga: Ketahanan Energi Fondasi Indonesia Maju
Berdasarkan draft yang tersedia, kedua dokumen tersebut memiliki keterkaitan dalam hal pertumbuhan PDB. Untuk mencapai “Visi Indonesia 2045”, Indonesia harus mencapai pertumbuhan PDB sekitar 6 persen hingga 7 persen pada 2022-2045. Pertumbuhan ini tergolong tinggi dibandingkan rata-rata historis yang berkisar 4,4 persen pada 2012 hingga 2022.
Kemudian, untuk mencapai NZE pada 2060 atau lebih awal, Indonesia harus mengurangi intensitas energinya (konsumsi energi per unit PDB) minimal sebesar 1,2 persen per tahun dari tahun 2030 hingga 2060. Secara historis, Indonesia telah mencapai tingkat intensitas energi di atas 1 persen per tahun. Namun karena ke depan target pertumbuhan PDB memerlukan permintaan energi yang tinggi, arah pengurangan intensitas energi akan menjadi tantangan.
Menguji ketahanan energi dan ekonomi
Suatu pandangan atau arah masa depan yang didasarkan kepada sasaran disebut skenario normatif. Arah seperti ini dianggap ideal atau “jalur impian” karena diarahkan untuk mencapai visi atau target ideal. Sebagian besar, peta jalan terkait pencapaian NZE atau skenario transisi energi yang selaras dengan Perjanjian Paris merupakan skenario normatif, termasuk juga arah pemerintah yang telah dijelaskan sebelumnya.
Namun, energi dan ekonomi merupakan sistem yang kompleks dan dinamis. Sistem ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak dapat dikendalikan di luar kebijakan pemerintah dan komitmen politik, mulai dari masalah geopolitik dan ekonomi global, perkembangan teknologi, hingga perubahan iklim dan komitmen pembiayaan. Oleh karena itu, terdapat banyak kemungkinan dinamika dari faktor-faktor ini yang dapat menciptakan arah masa depan yang berbeda dari arah yang diharapkan.
Situasi ini akan menjadi tantangan pemerintah dan entitas terkait seperti BUMN. Di satu sisi, pemerintah dan lembaga terkait harus mendukung visi ideal tersebut. Di sisi lain, mengikuti skenario normatif akan meningkatkan risiko investasi dan keuangan karena target yang tinggi dapat menghadapi masa depan yang berbeda, apalagi ketika masa lalu menunjukkan tren yang lebih rendah.
Energi dan ekonomi merupakan sistem yang kompleks dan dinamis. Sistem ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak dapat dikendalikan di luar kebijakan pemerintah dan komitmen politik.
Di masa lalu, pemerintah pernah menghadapi permasalahan tersebut terutama di sektor kelistrikan. Ke depan, untuk memastikan ketahanan investasi dan keuangan dari arah masa depan yang ideal, diusulkan beberapa langkah sebagai berikut.
Pertama, mengembangkan beberapa skenario eksploratif untuk melengkapi skenario normatif. Berbeda dengan skenario normatif, yang bermanfaat untuk pengembangan regulasi dan mendukung kebijakan untuk “mendorong atau menarik” entitas menuju masa depan yang diharapkan, skenario eksploratif bermanfaat untuk mengeksplorasi kemungkinan masa depan yang berbeda dari jalur ideal. Skenario eksploratif juga berguna untuk mematahkan “mental model” atau keyakinan seseorang tentang masa depan, mengurangi bias kognitif dalam perencanaan, dan mengungkap kemungkinan masa depan yang tidak diketahui.
Kedua, memberikan mandat kepada lembaga-lembaga terkait pemerintah untuk melakukan “stress test” atau uji ketahanan terhadap perencanaan jangka panjang dengan menggunakan skenario eksploratif. Skenario eksploratif lazim digunakan untuk menguji strategi, investasi, dan rencana pembiayaan suatu entitas, dengan mengeksplorasi berbagai risiko dan peluang masa depan.
Selain itu, peran skenario eksploratif menjadi semakin penting karena direkomendasikan dalam kerangka penilaian risiko strategis seperti Gugus Tugas Pengungkapan Keuangan Terkait Perubahan Iklim (Task Force on Climaterelated Financial Disclosures/TCFD) atau standar pelaporan seperti International Financial Reporting Standards Sustainability (IFRS S) yang baru disahkan secara internasional. Network for Greening the Financial System (NGFS), jaringan 66 bank sentral, mengembangkan skenario normatif dan eksploratif untuk menguji ketahanan sektor keuangan dari risiko terkait perubahan iklim dan pengembangan kebijakan mikroprudensial.
Terakhir, mengembangkan peta jalan yang terintegrasi. RPJPN dan KEN hanya menetapkan arah yang bersifat umum. Setelah kedua dokumen tersebut disahkan, pemerintah akan menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dan Rencana Umum Energi Daerah (RUED).
Meskipun demikian, Indonesia masih memerlukan peta jalan yang lebih rinci dan terintegrasi. Misalnya, saat ini pengembangan petrokimia berada di bawah Kementerian Perindustrian, sementara bahan baku petrokimia terkait dengan penggunaan energi primer terpisah di bawah Kementerian ESDM, dan pengembangan kilang terkait petrokimia berada di bawah BUMN. Peta jalan penggunaan energi di sektor transportasi jalan raya juga memerlukan kejelasan, kapan dan jenis energi apa yang harus digunakan, seberapa banyak, didukung oleh kebijakan apa dari kementerian mana, dan apa saja insentif maupun disinsentif untuk memastikan implementasinya.
Baca juga: Peta Jalan Belum Jelas, Indonesia Masih ”Mendadak Hijau”
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat banyak pilihan untuk menggunakan sumber energi yang berbeda di masa depan. Jika tidak ada peta jalan dan regulasi yang terintegrasi, situasi ini akan meningkatkan ketidakpastian perencanaan, sehingga meningkatkan risiko investasi dan keuangan di masa depan.
Pada akhirnya, perencanaan dan pengembangan strategi jangka panjang selalu sulit, terutama dalam sistem yang dinamis dan kompleks. Tidak ada rencana yang dapat bertahan dari kontak dengan kenyataan. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia dan entitas terkait harus benar-benar mempertimbangkan sifat dari kompleksitas dan sistem yang dinamis, kemudian menggunakan metode yang digunakan secara global untuk memastikan ketahanan rencana tersebut terhadap berbagai kemungkinan masa depan.
Selain itu, cara-cara yang ada juga harus digunakan dengan tepat. Skenario normatif digunakan untuk mengembangkan kebijakan dan regulasi, sedangkan skenario eksploratif harus dikembangkan untuk menguji ketahanan rencana jangka panjang bisnis, investasi, dan pembiayaan.
Yohanes Handoko Aryanto, Senior Expert Business Trend PT Pertamina (Persero)