EUDR dalam Lensa Bisnis dan HAM
Menolak EUDR memperlihatkan inkonsistensi Indonesia pada komitmen menjaga hak asasi manusia di setiap lini bisnis.
Memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional pada 10 Desember 2023, Pemerintah Indonesia masih terkesan belum tulus mendukung upaya-upaya perlindungan hak asasi manusia dan lingkungan dalam rantai pasok bisnis ekstraktif di Indonesia.
Hingga November 2023, diplomasi Pemerintah Indonesia masih bersikukuh menolak Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa, yang dikenal dengan The European Union Deforestation-Free Regulation (EUDR), bersama 16 negara lain yang tergabung dalam Like Minded Countries (LMCs). Setidaknya EUDR berpengaruh pada lima komoditas produksi di Indonesia, yakni karet, kayu, kakao, kopi, dan minyak sawit.
Kendati demikian, Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Lebih dari 50 persen sawit yang dikonsumsi dunia berasal dari Indonesia. Tidak mengherankan jika industri kelapa sawit banyak mengambil perhatian berbagai pihak.
Baca juga: Imperialisme Regulasi Eropa
Minimal, Pemerintah Indonesia memiliki empat poin penolakan yang terus-menerus diulang. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, EUDR menghambat akses pasar bagi komoditas kopi, kakao, karet, dan kelapa sawit Indonesia dan mendiskriminasi produk Indonesia. Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa kebijakan EUDR mendiskriminasi petani swadaya kelapa sawit (palm oil smallholders).
Kemudian, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menolak EUDR karena perlu ada perbaikan tata kelola industri perkebunan di Indonesia; jika tidak, akan ada denda yang harus dibayar Indonesia sebagai negara produsen.
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga bahkan secara terbuka menyatakan Uni Eropa melakukan kampanye hitam terhadap produk sawit Indonesia dengan mengatakan bahwa kebun sawit Indonesia mengancam biodiversitas.
Benarkah demikian? EUDR memang mengharuskan siapa saja yang terlibat di dalamnya untuk memastikan aksesibilitas informasi barang yang diperjualbelikan. Namun, kondisi ini sebenarnya sudah menjadi hal lumrah dalam perdagangan global. Di sektor kayu, misalnya, Indonesia tergabung dalam FLEGT-VPA, sebuah kerja sama dengan negara Uni Eropa untuk memastikan ketelusuran kayu.
Di industri kelapa sawit, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RPSO) juga mengharuskan check point untuk memastikan minyak sawit mentah dan produk turunannya legal dan berkelanjutan. Ketakutan terhambatnya akses pasar justru sepatutnya muncul jika Indonesia menolak EUDR karena, dengan demikian, Uni Eropa sebagai pasar Indonesia akan menolak masuk empat dari tujuh komoditas unggulan Indonesia. Kemudian, riset Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) justru menunjukkan bahwa petani swadaya telah siap menerapkan EUDR.
Jika ditelusuri lebih lanjut, The Tree Map dan Greenpeace Indonesia pada 2021 merekam terdapat 600 perusahan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan, dan sekitar 90.200 hektar (ha) di kawasan hutan konservasi. Lebih jauh, sekitar 186.687 ha kebun sawit dalam kawasan hutan teridentifikasi sebagai habitat orangutan, dan 148.839 ha sebagai habitat harimau sumatera. Hal ini jelas mendorong kepunahan jenis satwa endemik milik Indonesia.
Ancaman biodiversitas karena perkebunan sawit nyata adanya, gajah sumatera dan harimau sumatera terancam di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) karena hutan alam seluas 40.000 ha ditanami sawit. Akibatnya, konflik satwa dilindungi dengan manusia tidak terbendung. Pada Juli 2023 seekor gajah sumatera jantan ditemukan mati dengan dugaan diracun oleh warga. Tahun 2021, seekor gajah sumatera betina ditemukan mati kelaparan di TNTN.
Ketakutan terhambatnya akses pasar justru sepatutnya muncul jika Indonesia menolak EUDR.
Penolakan keras Indonesia terhadap EUDR bisa dimaknai sebagai upaya untuk menyelimuti kecompang-campingan tata kelola industri kelapa sawit. Ketentuan benchmarking yang merupakan proses pemeringkatan risiko deforestasi (Pasal 29 EUDR) akan memperlihatkan bahwa deforestasi yang legal masih berpotensi besar terjadi karena ketiadaan kerangka hukum yang melarang deforestasi.
Di lain sisi, hingga kini 3,6 juta ha kebun sawit di kawasan hutan belum mendapatkan legalitas. Ditambah, ketentuan ketelusuran di Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Perpres No 44/2020) tidak mengatur ketentuan ketelusuran sampai sektor hulu.
Temuan-temuan ini tidak bisa dituding sebagai kampanye gelap Uni Eropa atas keterancaman biodiversitas Indonesia dalam rantai pasok industri sawit. Sebab, dengan kerangka hukum dan kondisi faktual, benar bahwa industri sawit di Indonesia mengancam keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup. Menolak EUDR justru akan memperberat posisi tawar Indonesia di pasar internasional. Selain itu, hal ini memperlihatkan inkonsistensi Indonesia pada komitmen menjaga hak asasi manusia di Indonesia dalam setiap lini bisnis.
Bisnis dan HAM di industri sawit
Bisnis dan hak asasi manusia (HAM) memang bukan kerangka kerja yang secara langsung dibangun untuk membicarakan krisis iklim dan perlindungan lingkungan hidup. Namun, dalam Kertas Fakta Nomor 38 Perserikatan Bangsa-Bangsa disajikan analisis bahwa pembiaran oleh negara atas perusakan lingkungan hidup dapat berdampak pada HAM. Setidaknya hak manusia untuk mendapatkan akses terhadap air, makanan, dan udara akan rusak akibat krisis iklim. Manusia akan mengalami kekeringan yang parah akibat aktivitas bisnis yang gagal mengukur dampak iklim karena pembukaan hutan dan pelepasan emisi.
Salah satu kegiatan bisnis yang berkontribusi tinggi terhadap krisis iklim adalah sektor perkebunan. Perkebunan, termasuk sawit, adalah industri nomor dua paling banyak melakukan pencemaran dan pelepasan gas rumah kaca.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengeluarkan data bahwa emisi global yang berasal dari perkebunan menyumbang 16 miliar ton karbondioksida pada 2020. Pelepasan emisi ini memperparah suhu bumi dan berdampak pada eksistensi manusia.
Lebih lanjut, Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia (Perpres Stranas Bisnis dan HAM) dengan jelas mewajibkan negara untuk melindungi pelanggaran HAM dari pihak ketiga, termasuk pelaku usaha. Negara berdasarkan ketentuan ini memiliki kewajiban mencegah terjadinya kondisi yang menyebabkan pelanggaran HAM.
Baca juga: Implikasi Perpres Stranas Bisnis dan HAM pada Pengelolaan Korporasi
Bisnis dan HAM justru mendorong negara mengambil langkah yang tegas untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM. Penolakan yang dilakukan Pemerintah Indonesia bertentangan dengan Perpres No 60/2023 dan lebih luas menjegal upaya implementasi kerangka kerja bisnis dan HAM.
Selain masalah penjagaan lingkungan hidup, EUDR juga sejalan dengan Prinsip-prinsip Panduan PBB (UNGPs) dalam aspek penguatan hak ekonomi petani sawit. EUDR menentukan adanya kerja sama khusus yang dibangun untuk memperhatikan kesejahteraan petani swadaya. Ketentuan ini dapat dilakukan melalui pemberian insentif dan mendorong harga jual yang adil antara perusahaan dan petani swadaya (Konsideran 50 EUDR).
Di Indonesia, Badan Pengelolaan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebenarnya memiliki mandat untuk memberikan dukungan, baik berupa program peremajaan sawit rakyat maupun dana bagi hasil untuk petani swadaya, sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018.
Namun, dana BPDPKS justru banyak mengucur ke perusahaan gigantik industri kelapa sawit. Misalnya, pada kasus korupsi dana biodiesel yang melibatkan grup perusahaan besar. Regulasi dalam negeri ini mungkin membutuhkan dukungan konsumen global agar dapat dibenahi baik dari segi materiil maupun penegakan hukum.
Pendekatan ”farm to fork”
Perkembangan tren konsumsi dunia saat ini telah bergerak dari paradigma ”konsumerisme” menjadi ”konsumsi hijau (green consumption)”. Mendorong apa yang dihidangkan di meja makan berasal dari produk yang ramah lingkungan adalah gaya hidup di banyak negara dunia.
Riset pasar yang dilakukan NielsenIQ pada 2023 memperlihatkan bahwa tiga dari empat konsumen menginginkan industri untuk mengurangi jejak karbon. Tren konsumsi hijau memperlihatkan kenaikan dari tahun ke tahun, membuat Indonesia yang sedang berjuang menjadi negara industri berada di persimpangan jalan untuk menentukan ke mana arah produksi Indonesia di mata dunia.
Ide farm to fork atau ”dari kebun ke meja makan” dalam EUDR adalah strategi Uni Eropa untuk mengarahkan praktik industri makanan agar berjalan berdasarkan pada koridor keberlanjutan. Pendekatan farm to fork mengharuskan semua importir di Uni Eropa untuk melaksanakan uji tuntas produk yang masuk, apakah telah bebas dari deforestasi dan dihasilkan dari proses yang legal.
Industri makanan dan produk di Indonesia masih berorientasi pada eksploitasi penggunaan lahan. Corak ekstraktivisme kental di Indonesia.
Cara pikir ”dari kebun ke meja makan” membuat konsumen memberikan perhatian yang mendalam pada apa yang dibeli dan dimakan. Gerakan free animal cruelty (produk bebas kekerasan terhadap hewan) atau eco-friendly product (produk ramah lingkungan) pada produk makanan dan kosmetik merupakan gerakan paling merepresentasikan bagaimana saat ini konsumen menuntut industri barang dan jasa untuk menekan emisi produk dan menjaga keberlanjutan. Tujuannya tentu untuk menekan dampak lingkungan sekecil-kecilnya dari produk yang dikonsumsi manusia. Sesuatu yang jika dilihat dari kacamata industri masih sangat awam di Indonesia.
Industri makanan dan produk di Indonesia masih berorientasi pada eksploitasi penggunaan lahan. Corak ekstraktivisme kental di Indonesia, keinginan untuk mengeksploitasi alam dan menelurkan proyek berdasarkan penggunaan lahan masih besar. Misalnya industri kelapa sawit yang menurut data masih bergerak mengalami perluasan lahan.
Mengalahnya keberlanjutan pada ekstraktivisme dapat dilihat pada praktik pengampunan kepada 3,6 juta hektar perusahaan sawit yang menggunakan hutan untuk menanam. Praktik ini tertuang di dalam hukum Indonesia, menjadikan hukum sebagai alat untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan mengesampingkan hak konsumen untuk mendapatkan barang yang ramah lingkungan. Jauh dari etika keberlanjutan dalam industri pangan. Sesuatu yang oleh masyarakat dunia saat ini perlahan ditinggalkan.
Baca juga: Hadapi EUDR, RI Siapkan Jalur Litigasi dan Alih Pasar
Hal yang kontras terjadi di Malaysia, kompetitor penghasil sawit dunia. Malaysia memberikan respons yang cepat terhadap EUDR. Malaysia memiliki kebijakan batas maksimum lahan (capped) perkebunan sawit, memperbaiki Malaysia Sustainable Palm Oil (MSPO) untuk mempermudah ketelusuran sawit dan memastikan sawit tidak berasal dari kawasan hutan, dan berkomitmen untuk memastikan industri sawit yang berkelanjutan. Upaya perbaikan yang memberikan rasa aman bagi konsumen.
Di tengah pergeseran paradigma konsumen yang telah memahami bahwa apa yang dibeli dan dimakan di atas meja memberikan pengaruh kepada krisis iklim dan perlindungan hak asasi manusia. Berkelitnya Indonesia dari pergeseran tersebut justru merugikan Indonesia dalam pergaulan dunia. Indonesia harus segera memperbaiki tata kelola industri perkebunan, sesuatu yang selama ini telah lama diminta para petani sawit di Indonesia. Sebab, untuk mengejar pasar dunia, perbaikan tata kelola adalah niscaya.
Sayyidatiihayaa Raseukiy, Peneliti Kebijakan di Satya Bumi