Demokrasi Presidensial
Tolok ukur demokrasi bukan kehendak penguasa, betapa pun baiknya, melainkan pembatasan kekuasaan oleh konstitusi.
Bermula dari sebuah brosur politik di Inggris bertajuk ”Vox populi, vox Dei” (1709), ungkapan Latin itu kemudian menjadi slogan perjuangan politik menentang kedigdayaan Louis XIV (1643-1715). Raja Perancis itu dengan jemawa berkata di hadapan parlemen, ”l’État, c’est moi.” Akulah (yang berkuasa di) negara. Kekuasaan negara terpusat pada diriku.
Montesquieu (1689-1755) menggambarkan raja yang paling berkuasa di Eropa masa itu sebagai pesulap hebat, ”memerintah negaranya dengan menguasai cara berpikir rakyatnya: rakyat diharuskan berpikir seperti yang dikehendakinya” (Les Lettres persanes, Surat 24).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Kehendak rakyat mengikuti kehendak raja. Dengan restu agama, kehendak itu bahkan representasi kehendak Tuhan yang tak boleh digugat.
Tolok ukur demokrasi bukan kehendak penguasa, betapa pun baiknya, melainkan pembatasan kekuasaan oleh konstitusi.
Dalam monarki tradisional, takhta bukan dari rakyat, melainkan hak putra mahkota. Demikian berlaku sistem dinasti (keturunan raja-raja yang memerintah yang berasal dari satu keluarga).
Akhirnya, Revolusi Perancis (1789) mengakhiri absolutisme raja dan sistem pemerintahan dinasti. Sejak itu, dunia Barat identik dengan demokrasi yang bertumpu pada kehendak rakyat.
Sistem dinasti diakhiri bukan karena tidak pernah ada penguasa baik yang berasal dari dinasti. Sistem demokrasi diterima bukan karena dijamin produknya selalu penguasa yang baik.
Isunya adalah kehendak untuk terus berkuasa harus dibatasi. Tolok ukur demokrasi bukan kehendak penguasa, betapa pun baiknya, melainkan pembatasan kekuasaan oleh konstitusi (representasi kehendak rakyat).
Kebebasan politik
Agar suara rakyat tidak direkayasa atau diarahkan penguasa, Montesquieu menggarisbawahi kebebasan politik yang harus terjamin penuh, idealnya dalam pemerintahan demokratis.
Demokrasi pun didefinisikan sebagai ”pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”, meminjam ungkapan terkenal dari Abraham Lincoln dalam pidato singkatnya—tidak lebih dari 275 kata—pada 19 November 1863 di Gettysburg, Pennsylvania.
Rakyat sepenuhnya bebas menentukan masa depannya sendiri dengan memilih pemimpin dan wakil mereka di parlemen. Namun, kebebasan politik tidak selalu ada dan hanya ada jika tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Menurut Montesquieu, sejarah pemerintahan memperlihatkan bahwa penguasa yang baik pun memiliki kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan dan membawa kekuasaan itu sejauh mungkin sehingga kebaikan itu sendiri perlu batas.
Pemisahan ketat di antara tiga pilar demokrasi (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) menjadi prasyarat kebebasan politik. Terkait politik elektoral, konstitusi biasanya membatasi jabatan penguasa eksekutif hanya dua periode berturut-turut, tanpa bisa terpilih kembali.
Pada akhir setiap periode, penguasa mengembalikan takhta kepada rakyat yang menilai kinerjanya dan yang akan memilih pemimpin untuk periode selanjutnya. Di sisa masa jabatannya, ia terlibat menangani proses pemilu, tetapi hanya sebatas pesta rakyat itu berjalan sesuai prinsip luber jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil).
Lebih dari sebagai event organizer, keterlibatan penguasa justru akan merusak demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
-
Preferensi pilihan penguasa tak boleh terbaca publik dan penampilan publiknya harus menjaga jarak sama dari para kontestan. Sekali preferensi penguasa terbaca publik, bukan hanya rakyat pendukungnya terpengaruh dengan pilihan itu; bawahannya (termasuk polisi dan tentara) juga akan terpengaruh. Ketidaknetralan itu menodai kebebasan politik dalam demokrasi.
Itulah yang terjadi di Filipina pada 2022 ketika Sara Duterte, Wali Kota Davao, mencalonkan diri sebagai wakil presiden untuk mendampingi calon presiden Bongbong Marcos Jr, putra mantan presiden otoriter Ferdinand Marcos yang pernah berkuasa selama 21 tahun.
Pemilu Filipina itu digelar menjelang berakhirnya periode kedua kepemimpinan Presiden Rodrigo Duterte, ayah Sara. Suatu fenomena politik elektoral yang asing di negara demokrasi maju.
Batu uji demokrasi
Ada dua makna batu uji. Pertama, batu gosok (touchstone), keras dan berwarna hitam, untuk menguji kadar emas. Kedua, percobaan (makna kias).
Kedua makna itu bisa untuk menggambarkan demokrasi Indonesia yang masih terlalu muda dan kini mengalami ujian. Demokrasi Indonesia masih terlalu muda dibandingkan dengan tradisi demokrasi di Barat, apalagi jika era kepemimpinan dua presiden pertama tak dihitung (Orde Lama 1945-1965, Orde Baru 1965-1998).
Trias politika sudah terlembaga, tetapi belum bebas dari intervensi eksekutif. Demokrasi Terpimpin (Soekarno) ataupun Demokrasi Pancasila (Soeharto) adalah praktik berdemokrasi dalam kendali eksekutif. Era Reformasi (1998-sekarang) mengembalikan demokrasi dari kendali eksekutif ke rakyat, sekaligus mengamanatkan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Rakyat memilih presiden baru bukan menurut skenario presiden lama.
Demokrasi rakyat (perwakilan) di Indonesia pun semakin maju dengan proses pemilu luber jurdil. Rakyat memilih langsung pemimpin eksekutif (mulai dari kepala daerah sampai presiden) dan wakil rakyat di parlemen untuk menjalankan fungsi kontrol. Rakyat memilih presiden baru bukan menurut skenario presiden lama.
Meski intervensi antarlembaga kekuasaan negara tidak kasatmata, tak bisa ditampik bahwa kelembagaan trias politika belum bebas dari pengaruh konflik kepentingan, yang pada akhirnya melanggengkan politik dinasti.
Netralitas penguasa
Keberpihakan Presiden Joko Widodo dalam perhelatan akbar demokrasi kali ini tampak dari dukungan terbukanya dalam iklan politik partai yang mengusung putranya sebagai kontestan pemilu. Ironisnya, secara formal ia masih menjadi bagian dari partai lain yang berseberangan dalam politik elektoral. Drama politikkah? Ataukah sebuah pragmatisme politik?
Yang jelas, kerja-kerja untuk rakyat dari seorang presiden kini juga menjadi bagian dari investasi elektoral bagi calon preferensinya. Netralitas bukan lagi harga mati dalam politik elektoral kali ini.
Kehendak penguasa terbukti sudah berhasil memengaruhi kekuasaan yudikatif. Sudah bisa dibayangkan pengaruh preferensi presiden juga akan berdaya pancar ke segala arah, bahkan turun ke tataran desa.
Sementara itu, ada keberlanjutan yang harus dikoreksi. Kekuasaan eksekutif sudah menjinakkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lagi independen dan kini mencapai titik terendah dengan status tersangka ketua komisi antirasuah. Skor Indeks Persepsi Korupsi kini 34, sama dengan skor 2014. Pemberantasan korupsi kita sedang mundur sembilan tahun.
Ilustrasi
Skor Indeks Demokrasi (versi EIU) 6,71 (peringkat ke-54), sama dengan tahun lalu, tetapi turun dari peringkat ke-52. Indonesia sudah beralih dari rezim otoritarian, tetapi belum demokrasi penuh, masih demokrasi tidak sempurna (flawed democracy).
Pemilu berlangsung bebas, tetapi ada masalah dengan kebebasan pers, pembatasan gerak oposisi dan suara kritis, masih kuat keterbelahan masyarakat antara bangga dan tidak suka (budaya politik kawula), dan ketidaknetralan aparat pemerintah.
Penurunan indeks demokrasi ada hubungannya dengan penurunan skor Indeks Kemerdekaan Pers 71,57 (skor tahun sebelumnya 77,88).
Penurunan 6,31 poin (hampir 10 persen) berarti pers masih cukup bebas, tetapi semakin besar intervensi penguasa dan kriminalisasi yang dialami wartawan yang hendak menyuarakan kepentingan publik. Padahal, di era demokrasi masa kini, pers adalah pilar keempat demokrasi.
Kontestasi elektoral sudah dimulai. Semua memang tergantung pilihan rakyat. Selamat datang demokrasi presidensial!
Baca juga : Puisi Zaman Keraguan
Yonky KarmanPengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta
Yonky Karman