Dengan adanya kesadaran pada diri masing-masing rakyat ciptaannya, mereka pun berkembang dengan kemungkinan masing-masing. Termasuk menjadi curiga satu sama lain, ingin saling menguasai.
Oleh
BRE REDANA
·2 menit baca
Saya punya kebiasaan membaca buku—terutama novel—yang bagus berulang-ulang. Peradaban dibentuk oleh dongeng. Dongeng yang baik seperti lakon wayang yang sebagian kita telah hafal kita tonton lagi dan lagi karena setiap kali menonton kita mengalami pengalaman berbeda, kadang menemukan pesan kebajikan hidup berbeda.
Begitu pun saat ini, di meja kerja saya selalu parkir novel Salman Rushdie berjudul Victory City. Terbit tahun 2023 novel ini ia selesaikan beberapa bulan sebelum si penulis mendapat serangan brutal di New York bulan Agustus tahun lalu yang membuatnya kehilangan mata kanan.
Di antara novel-novel Rushdie sejak karya-karya awal seperti Midnight’s Children, menurut saya Victory City merupakan salah satu karya terbaiknya, sebuah glorifikasi terhadap keagungan dongeng. Membaca novel setebal 342 halaman itu serasa mendengar dongeng semacam Ramayana, Mahabharata, dan epos-epos besar lain.
Salah satu bagian yang menarik perhatian saya pada pembacaan ulang kali ini adalah bagaimana sebuah kota tercipta dari biji tumbuh-tumbuhan yang ditebarkan oleh kakak-beradik penggembala, Hukka dan Bukka dari wangsa atau dinasti Sangama berkembang. Biji tumbuh-tumbuhan tersebut mereka peroleh dari seorang wanita, tokoh utama novel ini, Pampa Kampana. Hukka menjadi raja pertama dan Pampa Kampana menjadi ibu dari kerajaan yang lalu diberi nama Bisnaga.
Semua telah siap: kota laksana metropolitan, penduduk tua-muda kanak-kanak dari yang sudah menikah sampai yang masih jomblo, perangkat kerajaan dari pegawai pemerintahan sampai tentara, para pedagang, yang belum ada cuma satu, yaitu memori. Atau kalau hendak dirumuskan secara khusus, kesadaran, baik kesadaran akan diri sendiri maupun kesadaran hidup bernegara.
Dalam hal ini, sang ibu negeri, Pampa Kampana, menunjukkan keajaiban yang hanya dimungkinkan oleh dunia dongeng: dia membisikkan kesadaran tersebut di telinga rakyat. Setiap pagi, seluruh rakyat, termasuk para tentara, mendengar bisikan di telinga masing-masing mengenai sejarah negeri mereka, kebesaran masa lalu, narasi mengenai keluarga mereka dari generasi ke generasi, sungai-sungai apa yang menjadi batas negeri, dan lain-lain. Dengan kesadaran termasuk kesadaran sejarah—yang sejatinya cuma fiksi—utuhlah penduduk negeri yang lahir dari proses simsalabim ini sebagai manusia.
Problemnya, disadari oleh Pampa Kampana kemudian hari, bisikan-bisikannya bukanlah alat yang sempurna untuk menjaga keutuhan negeri. Dengan adanya kesadaran pada diri masing-masing rakyat ciptaannya, mereka pun berkembang dengan kemungkinan masing-masing. Termasuk menjadi curiga satu sama lain, ingin saling menguasai, sebagian bahkan mulai tidak menyukai ibu negeri. Dinasti Sangama pun ambruk.
Melalui alur cerita yang ke sana kemari seperti pada umumnya dongeng, tapi di sini jelas sekali Rushdie hendak menggambarkan suatu negeri yang gagal mencapai apa yang diidealkannya. Sebuah kerajaan yang dibangun dengan gagasan pluralisme, tapi terus-menerus dirongrong oleh kalangan fundamentalis yang ingin memborong kebenaran.
Gugatan terhadap isu fundamentalisme merupakan sesuatu yang khas dalam tulisan-tulisan Rushdie. Penulis yang baik bukanlah sekadar story teller, tapi juga truth teller. Sebagai Master dalam penulisan novel—ini sangat mudah dipahami oleh orang-orang yang juga menulis novel—bahwa sekali tokoh diciptakan, si tokoh berkemungkinan mencari kehidupannya sendiri di luar kemauan penulis.
Begitulah hubungan antara si pencipta dan yang diciptakan. Dalam kitab suci pun diceritakan Adam dan Hawa kemudian mengikuti kemauan mereka sendiri di luar yang ditetapkan Sang Pencipta.
Dengan sendirinya novel tersebut bisalah memunculkan suatu hipotesis: 1. Kesadaran bisa dibisikkan, tapi pada kesudahannya manusia menentukan kesadarannya sendiri; 2. Bisikan ibu negeri untuk menjaga dinasti sia-sia; 3. Pencipta tidak selalu mampu menguasai ciptaannya.
Bisnaga sebagai alegori kesejatian negara, bagi seorang truth teller atau pencari kasunyatan, bisa diartikan: rakyat menentukan dirinya sendiri. ***