Rabu (22/11/2023), saya berobat ke poliklinik gigi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Saya tiba di RSCM pukul 07.45. Ternyata butuh waktu empat jam bagi saya untuk menunggu proses pendaftaran saja sebelum akhirnya menuju poli gigi.
Setibanya di RSCM, karena belum mendaftar secara daring, saya diarahkan oleh petugas satpam di pintu masuk ke petugas satpam di ujung luar, area beratap kaca di dekat instalasi gawat darurat. Menurut petugas satpam, area itu khusus untuk mendaftar secara manual.
Di situ, saya diminta mengambil nomor antrean dan menunggu untuk proses rekam sidik jari lebih dulu. Sambil menunggu dipanggil, saya berbincang dengan pasien lain di dekat saya tentang cara mendapatkan lembar Surat Elegibilitas Peserta (SEP) yang dibutuhkan agar pasien dapat dirawat atas biaya BPJS Kesehatan.
Rupanya, ada seorang bapak beserta istrinya menunggu antrean sejak pukul 05.00 dan pukul 06.00. Jika dibandingkan dengan di rumah sakit lain, termasuk di rumah sakit pemerintah lainnya, pasien tidak harus menunggu lama untuk melakukan rekam sidik jari.
Berikutnya, lembar SEP bisa langsung dicetak dan pasien bisa segera menuju poliklinik yang dituju. Pasien-pasien yang duduk di sekitar saya pun menceritakan pengalaman serupa.
Saya berharap manajemen RSCM dapat membenahi tata cara pasien mendapatkan lembar SEP jika mendaftar secara manual.
Pagi itu, ruangan tempat saya menunggu segera terasa panas karena atapnya kaca dan tidak disediakan kipas angin. Sekitar pukul 09.00, petugas satpam mulai memanggil nomor antrean untuk rekam sidik jari. Setelah itu, pasien disuruh menunggu lagi untuk mendapatkan lembar SEP. Ada pasien lain yang sambil menunggu menyantap bekal makanan di wadah yang sepertinya dibawa dari rumah.
Pasien di dekat saya yang menunggu antrean sejak pukul 05.00 baru mendapat lembar SEP sekitar pukul 10.30 dan pukul 11.00 WIB. Saya sendiri mendapat lembar SEP dari petugas satpam pukul 11.41 WIB setelah sekitar empat jam menunggu. Barulah kemudian saya bisa menuju ke poli gigi.
Saya berharap manajemen RSCM dapat membenahi tata cara pasien mendapatkan lembar SEP jika mendaftar secara manual. Tidak dapat dibayangkan betapa rumit dan sukarnya masyarakat mendapat hak untuk berobat walaupun gratis karena ditanggung BPJS.
Boyke Nainggolan, Perumnas Klender, Jakarta Timur
Merespons ”Bulaksumur School”
Kolom Catatan Politik & Hukum yang ditulis Budiman Tanuredjo di harian Kompas, Sabtu (25/11/2023), berjudul ”Bulaksumur School” menggambarkan keprihatinan tentang situasi negara saat ini.
Situasi kebangsaan memang tidak sedang baik-baik saja. Kejadian demi kejadian menggoyang ranah hukum, termasuk pencopotan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman.
Budiman mengharapkan dunia kampus bangun. Muncul mazhab sejenis Frankfurt School yang dapat menawarkan teori-teori kritis. Harapannya, terlahir mazhab ”Bulaksumur School” atau ”Airlangga School” yang setidaknya bisa mencarikan jalan, dari mana kerusakan institusi hukum harus dibenahi.
Situasi kebangsaan memang tidak sedang baik-baik saja. Kejadian demi kejadian menggoyang ranah hukum.
Menurut saya, keprihatinan itu harus menjadi keprihatinan kita semua. Memang para cendekiawan kampus, karena bidang dan pekerjaannya, lebih diharapkan, tetapi kampus tampaknya juga sedang tidak baik-baik.
Contohnya, kasus korupsi Rektor Universitas Lampung (Unila). Teranyar, Eddy Hiariej yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain berkedudukan sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM, Eddy adalah profesor hukum pidana di Universitas Gadjah Mada. Kiprahnya sebagai akademisi moncer.
Suatu kali di UIN Syarif Hidayatullah, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyebutkan, 86 persen koruptor adalah lulusan perguruan tinggi (KPK.go.id, 24/8/2022). Padahal, perguruan tinggi seharusnya menelurkan pejabat berintegritas.
Atas masalah hukum, para capres-cawapres 2024 tentu sudah memiliki agenda. Namun, menciptakan manusia berintegritas tinggi tidak bisa instan. Mungkin harus dimulai dari pendidikan anak usia dini hingga sekolah menengah (SLTA/aliyah).
Saat memperingati 17 Agustus 1956, Bung Karno menyatakan, ”Lebih baik kita membuka hutan kita dan menggaruk tanah kita dengan jari sepuluh dan kuku kita ini daripada menjual serambut pun daripada kemerdekaan kita ini untuk dollar, untuk rubel.”
Ini menunjukkan betapa pentingnya faktor karakter.
Suharno, Warungboto, Yogyakarta