Belajar pada Semut Hitam
Kualitas God Bless tidak kalah dengan grup band besar di Eropa dan Amerika yang memengaruhi warna band rock di Tanah Air.
Konser Emas 50 tahun God Bless pada 10 November 2023 di Istora Senayan sebuah konser yang istimewa. Mengingat para musisi God Bless yang saat ini sudah masuk usia senja. Dan mungkin hanya terjadi kali ini saja God Bless tampil penuh dengan Tohpati Orchestra, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dan sukses besar. Saya senang mendapat undangan langsung dari Ian Antono.
Apresiasi terhadap para seniman yang sudah berdedikasi menumbuhkan industri kesenian dalam rentan waktu yang panjang memang layak diberikan. Kennedy Center di AS senantiasa menyelenggarakan konser tribute untuk para legenda musik di sana. Sayang sekali apresiasi dari negara semacam itu di sini belum hadir.
Saya termasuk generasi yang lahir dan tumbuh bersamaan dengan hadirnya God Bless (1973) di Tanah Air, raksasa rock band Tanah Air yang terpaut tidak jauh dari kemunculan rock band di Barat, seperti Rolling Stone (1962), Deep Purple (1968), dan Queen (1970). Tidak berlebihan barangkali God Bless punya andil besar terhadap perkembangan rock mania di kalangan anak-anak muda pada tahun 1970-an dengan semangat global yang dibawanya: antikemapanan dan kebebasan. Saya sejak remaja sudah dikenalkan dengan majalah musik Aktuil oleh kakak saya yang sudah kuliah di Bandung. Bandung sendiri saat itu telah menjadi salah satu pusar perkembangan musik rock di Tanah Air.
Hingga hari ini saya masih sering terkagum-kagum terhadap musikalitas dan lagu yang mereka bawakan meski banyak grup rock band bagus yang bermunculan setelah era God Bless. Kualitasnya tidak kalah dengan grup-grup band besar yang lahir lebih dulu di Eropa dan Amerika yang sedikit banyak memengaruhi warna musik band rock di Tanah Air. Bahkan tidak kalah dengan band rock dunia yang muncul belakangan. Musiknya megah, kompleks dan menyentak jiwa. Memang karya murni seniman besar akan dikenang sepanjang masa, tidak akan lekang oleh waktu.
Saya ingin menulis beberapa lagu God Bless yang merekam dan memberikan perhatian cukup dalam terhadap peristiwa sosial dan politik yang terjadi di sekitar kita. Cuma visi atau nilai-nilai sosial di balik lagu-lagu yang dibawakan God Bless ini tidak serta-merta menjadikan mereka dikenal sebagai ikon rock band yang properubahan sosial, seperti itu disematkan kepada Iwan Fals atau Slank. Lirik-lirik nya memang tidak semuanya ditulis oleh personel God Bless sendiri, ada dari sastrawan, sesama musisi, dan wartawan.
Dalam menyuarakan masalah-masalah kemanusiaan yang berat itu cukup mendalam tapi tidak dengan lantang menyalahkan siapa-siapa. Seperti filsuf yang memahami makna cinta ingin mengajak kita semua merenungi semua yang terjadi di dunia ini sebagai sebuah realitas yang harus disikapi. Ada pandangan buruk muka pemerintahan mencerminkan realitas dan dinamika masyarakatnya itu sendiri. Kualitas demokratis dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) hadir dalam relasi yang seimbang antara pemerintah, masyarakat dan swasta.
Baca juga: Nobel Sastra Fosse: Kemenangan Bahasa Minoritas
Kita mulai dengan lagu ”Setan Tertawa” pada album pertama (1976) yang hit bersama lagu yang ”Huma di Atas Bukit”. Lagu ”Setan Tertawa” yang digarap Ahmad Albar dan Donny Fattah merekam kemerosotan moral di masyarakat. Saat itu masalah narkoba di kalangan anak muda dan perjudian merupakan fenomena sosial yang serius. ”Ibu tertawa bagaikan orang gila. Anak dijual sangat murahnya. Harga diri dibuang asalkan harta setan tertawa gembira”.
Nilai moral itu kembali diulang dalam lagu ”Srigala Jalanan” karya Eet Sjahranie, Teddy S, dan Donny Fattah pada album Apa Khabar (1997), juga mengekspresikan keprihatinan serupa terhadap tingkah premanisme anak-anak sekolah, hura-hura dan malas-malasan. Di Jakarta tawuran antarsekolah kerap terjadi oleh urusan sepele.
Pada lagu ”Balada Sejuta Wajah” yang digarap Ian Antono dan Theodore KS di album Cermin (1980) lirik dan musiknya sangat pas menyentuh empati kita terhadap perjuangan keras orang-orang kecil, orang-orang desa yang harus mengadu nasib ke Ibu Kota untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang lebih layak.
Lagu dengan latar belakang masalah urbanisasi itu menyiratkan akibat sentralisme pembangunan yang berpusat di Jakarta atau Jawa. Yang saat itu banyak mendapatkan perhatian dari para ilmuwan sosial karena kesenjangan pusat dan daerah sangat terasa. Urbanisasi dari desa ke kota tak terhindarkan, dan menimbulkan masalah sosial yang runyam. Ada masalah gegar budaya.
Kelayakan hidup di kota-kota besar yang tidak ramah, seperti Jakarta, itu disentuh oleh lagu “Rumah Kita” yang di satu sisi mengekspresikan romantisisme kaum urban yang merindukan kampung halamannya di desa, yang jauh lebih damai ketimbang kerasnya suasana kehidupan Ibu Kota, terutama masalah tempat tinggal dan transportasi. ”Lebih baik di sini rumah kita sendiri...”. Mungkin gitaris Ian Antono yang orang Malang, dan Theodore KS penulis lirik lagu ini merasakan suasana romantisisme itu juga saat masih tinggal di rumah kontrakan.
Lagu ”Bis Kota” (1990) menggambarkan keterbatasan dan kualitas transportasi publik di Ibu Kota bagi orang-orang kecil. Masih ingat bagaimana orang-orang harus berimpitan, bergantungan, berdesakan bercampur bau peluh dan asap rokok di dalam metromini yang panas tak berpendingin ruangan. Tapi dinyanyikan dengan riang, begitulah cara rakyat kecil bertahan hidup di tengah kesulitan mereka. ”Memang susah jadi orang yang tak punya... ke mana pun naik bis kota”.
Sementara di dalam lagu ”Kehidupan” yang ditulis maestro kibor Yockie Suryoprayogo di album Semut Hitam (1988), God Bless sepertinya ingin menggugah kesadaran kita mengenai rasa keadilan yang menjadi harapan orang-orang kecil tak berdaya. Kesulitan ekonomi rakyat bawah memang nyata: ”lapar ... dan sekadar untuk membeli susu anak” saja susah. Sementara para pemimpin atau para politisi sibuk memamerkan kekuasaan mereka dengan segala kemewahannya, lupa dengan nasib rakyat kecil: “bilakah mereka semua kau pikirkan”.
Kesewenang-wenangan kekuasaan menjadi pemandangan umum saat itu. Pertengahan tahun 1980-an Indonesia baru memulai melakukan industrialisasi orientasi ekspor. Pemerintah Orde Baru melakukan liberalisasi kebijakan untuk menarik investasi asing. Banyak kasus tanah rakyat digusur untuk keperluan pembangunan pabrik-pabrik, upah buruh rendah, dan pemogokan buruh direpresi tentara. Kesejahteraan rakyat menjadi isu utama dalam era industrialisasi saat itu.
Kerusakan alam, ketimpangan sosial, korupsi dan kesewenang-wenangan kekuasaan pada dasarnya bermula dari keserakahan manusia. Orang-orang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan ekonomi dan politik. Di sini diteriakkan oleh lagu ”Raksasa” (1989), ditulis oleh Teddy Sudjaya, Rudy Gagola, dan Yockie, menyindir perilaku pejabat yang tamak dan mementingkan kepentingan sendiri. “Seribu raut wajah. Sejuta kata dusta. Senyum manis di bibirnya. Janji dan janji bohong. Kepentingan pribadi kau pikirkan. Tipu sana dan sini engkau lakukan .... singkirkan semua orang yang menghalang”.
Sepertinya yang disindir adalah Presiden Soeharto yang sejak pertengahan tahun 1980-an kekuasaannya sudah meraksasa, menguasai birokrasi, parlemen, hukum, dan bisnis.
Sikap intoleransi antarmanusia disentuh lewat lagu “Semut Hitam” (1988). God Bless di sini ”merendahkan” martabat manusia yang katanya punya akal sehat dan nurani, lebih rendah dari peradaban semut. Semut saja bisa antre, bisa gotong royong, bisa tertib dalam keteraturan dan bisa saling toleran antarsesama. Kenapa manusia tidak bisa? Saat ini intoleransi tengah mengancam peradaban manusia modern dengan munculnya radikalisme kanan dalam. Lagu ini merupakan lagu wajib God Bless yang digarap oleh Yockie Suryoprayogo dan Donny Fattah.
Rupanya God Bless ingin mengajak kita untuk terus mencerna kehidupan tiada henti. Sebab pemuliaan kehidupan itu urusan kita bersama. Saat ini Indonesia sudah berada pada negara berpendapatan menengah atas dengan pendapatan per kapita 4.500 dollar AS. Namun, di persimpangan jalan perkotaan masih sering dijumpai anak-bocah mengais-ngais kehidupan pada saat hujan turun menawarkan jasa pembersih kaca mobil. Seperti yang direkam God Bless lewat lagu ”Misteri” yang ditulis Yockie Suryoprayogo.
Seraut wajah di jendela// Mengetuk daun pintu hatiku Menghiba kau menghiba//Dengan kain kau usap kaca// Anak kecil di malam buta//Sisihkan waktu tersisa// Mengharap dapat uang sekeping dua//
Lirik dan musik lagu ”Asasi” gawean Ian Antono dan Ali Akbar dalam album Apa Khabar (1997) tidak kalah menyentuh emosi. Liriknya merepresentasikan keadaan pelanggaran hak-hak sosial, politik, dan ekonomi yang masif pada tahun 1990-an. Pemerintahan otoriter Orde Baru akhirnya ditumbangkan oleh gerakan masyarakat yang sudah muak dengan kehancuran HAM dan demokrasi, menyusul krisis ekonomi yang parah pada saat itu.
Nilai-nilai kemanusiaan tanpa batas. God Bless juga gelisah dengan fenomena perang antarbangsa yang hingga hari ini gagal dihentikan. Lagu “Bla Bla Bla” (1988) karya Ian Antono dan Remy Sutanzah liriknya dan musiknya sangat mengena bagaimana kekuasaan dan senjata telah menghilangkan nilai-nilai perdamaian antarmanusia. ”Dendam mendendam antarmanusia... Saling tindas saling menggilas... lagu perdamaian hilang tak bergema... karena senjata karena kuasa ... karena bla bla bla”.
Pertikaian di Timur Tengah yang tidak pernah berakhir hingga saat ini dengan latar belakang geopolitik dan ekonomi juga disuarakan lewat lagu ”Prahara Timur Tengah”, dengan menggabungkan warna musik Barat dan padang pasir. Lagu ini ditulis Ian Antono dan Akbar dalam album Apa Khabar (1997).
Sementara di Gong 2000, yang sering disebut God Bless kecil karena personel pentolannya hampir sama, yaitu Ahmad Albar, Ian Antono, dan Donny Fattah, misalnya, ada lagu ”Bara Timur” dan ”Kepada Perang”. Dengan irama yang menyentak emosi lagu ”Kepada Perang” menyerukan hentikan peperangan, yang sudah berlarut-larut membuat kita semua jenuh, jemu dan hati kita beku karena hampir tidak ada tanda-tanda sengketa akan segera berakhir. Saat ini perang antara Israel dan Palestina berkecamuk lagi, entah kapan akan berakhir.
Baca juga: September
Peristiwa dunia The Satanic Verses atau Ayat Ayat Setan karya Salman Rusdhie, sastrawan Inggris kelahiran India yang meresahkan dunia Islam karena menghina Nabi Muhammad, menginspirasi lagu “Maret 1989” yang ditulis Yockie Suryoprayogo dan Dony Fattah dalam album Raksasa (1989).
Tentu God Bless tidak ingin ikut memanaskan suasana pada ”Maret 1989” itu, seperti Ayatollah Khomeini, pemimpin Iran berpengaruh global yang menyerukan pembunuhan Salman. Namun ingin mengajak semua orang untuk bijaksana menggunakan kebebasan bicara atau kebebasan menulis agar tidak melukai perasaan, menimbulkan sengketa yang mengancam perdamaian. Saat ini saling hujat di media sosial kita termasuk terburuk di dunia, sangat memalukan.
Bagaimana pengaruh nilai-nilai sosial dari karya seni terhadap perubahan? Dunia ini ”Panggung Sandiwara kata Taufik Ismail yang dinyanyikan Iyek. Rumit dan dinamis. Hari ini bisa berubah menjadi lebih buruk dari hari kemarin dan sebaliknya. Saya sebagai aktivis saat itu memiliki pengalaman pribadi yang membuat saya jatuh cinta dengan musik rock. Raungan petikan gitar, dentuman drum yang berat dan jeritan vokal tinggi sangat bertenaga memompa emosi untuk memuntahkan rasa kesal dan jenuh dengan praktik-praktik ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita untuk tidak berdiam diri.
Penikmat Musik Rock