Pemilu 2024 dan Roh Demokrasi
Bangsa ini terlalu mahal untuk digadai hanya dalam satu pemilu hanya karena benturan persepsi dan kepentingan yang tak terkendali.
Kenapa tampaknya politik dan nurani makin berjarak? Masihkah roh demokrasi itu hidup? Mungkinkah lilin akan menyala di ujung terowongan?
Gugatan retorik macam ini biasa muncul bersamaan dengan kerinduan akan tatanan hidup sosial-politik tenteram, utuh, dan demokratis.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Turbulensi yang berulang-ulang di pengujung 2023 menjelang Pemilu 2024 menyebabkan benturan tak terhindarkan antara pikiran dan perasaan: benar-salah dan senang-sedih.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal usia calon presiden/wakil presiden adalah benturan keras pertama yang dilanjut guncangan susulan seperti pencalonan putra Presiden Joko Widodo sebagai wakil presiden dan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Semua itu terjadi dalam demokrasi yang secara prinsipal berlandaskan kedaulatan rakyat—yang artinya realisme politik harus paralel dengan kehendak dan batin sosial seluruh rakyat!
Praksis paradoksal
Konversi ”kedaulatan rakyat” menjadi ”kekuasaan di tangan wakil” dalam demokrasi tidak dengan sendirinya mereduksi bobot kedaulatan an sich. Ia bukan sebuah peralihan eksistensial seperti air tawar yang mengalir ke laut lalu menjadi air garam. Dalam praksis yang paradoksal—bertentangan antara kata dan laku—rakyat gandrung terjebak dalam skeptisisme, bahkan pesimisme ataupun nihilisme absolut sebagaimana digaungkan Ivan Turgenev (1818-1883), novelis Rusia pada abad ke-19.
Konversi ”kedaulatan rakyat” menjadi ”kekuasaan di tangan wakil” dalam demokrasi tidak dengan sendirinya mereduksi bobot kedaulatan an sich.
Ketika politik kekuasaan dengan tragis menampilkan wajah paradoksal, serentak batin sosial masyarakat tercabik dan tertutup kehampaan. Ada kebingungan disorientatif yang mengarah pada lenyapnya harapan publik tentang masa depan demokrasi dan kemaslahatan umum. Persis inilah basis diskursif kenapa (a) kritisisme dibutuhkan dalam pelaksanaan kekuasaan dan (b) obligasi moral pemimpin niscaya dibutuhkan.
Dalam hierarki tanggung jawab etis yang digambarkan Dwight Waldo (1996), di urutan paling atas, pejabat publik bertanggung jawab terhadap konstitusi, hukum, bangsa dan negara, dan demokrasi—keluarga dan diri sendiri ada di urutan bawah! Tentu saja orang boleh berargumen bahwa Waldo melihat realitas politik AS yang notabene berbeda dengan konteks Indonesia. Namun, postulat moral demokrasi memiliki bangunan dasar yang sama yang dalam budaya politik Indonesia dijabarkan dengan jelas dalam frase ”kepentingan umum di atas kepentingan pribadi”.
Laskar sukarelawan yang mendukung Jokowi di Pemilu 2014 dan 2019 merasa mengenal dan percaya pada Jokowi. Sebagian mulai kecewa, sedih, dan bahkan marah. Sebagian lagi ikut menumpang di perahu baru dan berlabuh terus dengan Jokowi sebagai nakhoda utama.
Hal yang tak pernah terjawab dengan pasti adalah apa dasar dari kejadian anomali politik ini. Penulis tidak menanyakan tujuan karena tentu semua gerakan politik mengakui adanya ”tujuan baik”. Ada kemungkinan dasarnya terkait gangguan dalam hubungan antarelite dan/atau benturan persepsi dalam melihat Indonesia masa depan.
Ilustrasi
Apa pun itu, demokrasi tentu memungkinkan orang mengambil pilihan apa saja. Namun, perbedaan terbesar demokrasi dengan sistem politik yang lain dalam sejarah dunia adalah demokrasi secara istimewa mengakui dan menghargai pikiran, suara, dan perasaan publik. Ketika rekognisi itu terasa melemah, guncangan lumrah terjadi. Ada ketidakseimbangan dalam relasi negara-masyarakat. Padahal, sistem politik hanya dapat bekerja efektif dalam kondisi ekuilibrium, keseimbangan.
Profesor terkenal dari luar negeri, kebetulan sahabat penulis, mengajukan pertanyaan kenapa ada capres di Indonesia melarang buruh meminta kenaikan upah dan mengkritisi pengamat, seperti penulis sendiri, yang doyan bicara dan jarang menciptakan lapangan kerja. Profesor itu lalu bercerita soal tradisi di AS, di mana para kandidat biasa berbalas kritik seperti berbalas pantun, bukan malah menyerang rakyat pemilihnya—kecuali dalam kasus Donald Trump!
Respons penulis adalah pernyataan capres itu justru menarik dan penting bagi masyarakat Indonesia sebagai informasi dalam membentuk preferensi dalam pemilu—minimal bagi kaum buruh dan pengamat!
Dalam tradisi filsafat modern, Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1832) jadi perbincangan serius, terutama setelah menerbitkan ”Fenomenologi Roh” atau ”Fenomenologi Pikiran” tahun 1807. Dalam bahasa Jerman, Geist biasa berarti roh dan bisa dipahami sebagai pikiran. Vernuft, kata lain spesifik, mengacu pada akal, tetapi kadang disamakan dengan roh yang dibahas Hegel di halaman 176-323, dalam terbitan ulang oleh Anakonda (2010), sebelum ia spesifik membahas roh/pikiran di bab setelahnya.
Diungkapkan: ”Die Vernuft jst Geist, indem die Gewissheit, alle Realitaet zu sein, zur Wahrheit erhoben, und sie sich ihrer selbst als ihrer Welt, und der Welt als ihrer selbst bewusst ist” (Akal adalah roh yang kepastian keberadaannya diangkat menjadi kebenaran dan kesadaran akan dirinya sebagai dunianya dan dunia sebagai dirinya sendiri) (Hegel, 2010:324).
Ada ketidakseimbangan dalam relasi negara-masyarakat. Padahal, sistem politik hanya dapat bekerja efektif dalam kondisi ekuilibrium, keseimbangan.
Dalam membahas dialektika yang berkelanjutan, Hegel memakai istilah ”Roh Absolut” sebagai puncak tertinggi dialektika tesis-antitesis-sintesis. Namun, ada hal yang penting dari Hegel untuk kita dalam konteks naskah ini. Ia menekankan pentingnya melihat sesuatu dengan jernih, murni (reines Zusehen) dalam rangka mencari keseimbangan antara kesadaran, pengetahuan, dan kebenaran obyek pada dirinya (das Ding an sich)—yang tentu tak mudah karena ada benturan antara pengetahuan tentang obyek dan realitas obyek itu sendiri.
Penulis secara intensional merujuk Hegel di sini untuk mengajak kita pergi kepada kesadaran murni, ernes Bewusstsein, tentang realitas politik hari ini yang kompleks dan cenderung antagonistik. Perubahan peta elektoral yang cepat dan di luar pakem lama membawa masyarakat ke ruang antagonisme, di mana perbedaan pilihan dan persepsi melahirkan pertentangan yang belum terselesaikan.
Situasi ini menuntut kita untuk berpikir jernih dan berpulang pada hati nurani. Politik yang sudah kehilangan makna ontologis karena dominasi materialisme yang notabene produksi terbaik dari ”kartelisasi oligarkis” (Hargens, 2021) mesti dikembalikan ke tujuan ontologis dan teleologis, yakni sebagai prinsip kebaikan (ontological sense) dan demi kemaslahatan umum (teleological sense).
Pemilu bukan semata prosedur menemukan presiden baru, melainkan proses konversif di mana rakyat menyerahkan seluruh keyakinan, harapan moral, dan masa depan dirinya ke mereka yang nantinya terpilih. Maka, pemilu adalah proses penjelmaan keluhuran dan kesucian suara rakyat ke dalam kekuasaan yang berada di tangan para wakil agar dijalankan dengan tanpa menghanguskan kedaulatan rakyat dan segala keluhuran serta kesucian eksistensialnya.
Sebagai atraksi operasional tertinggi dari kedaulatan rakyat, mutu suatu pemilu ditentukan kualitas dari siklus persiapan, pelaksanaan, dan penetapan hasil oleh pranata pemilu. Netralitas birokrasi dan institusi negara lain sebagaimana ditegaskan Presiden Jokowi merupakan conditio per quam bagi terwujudnya pemilu yang demokratis.
Mendengar suara rakyat
Aksi pencopotan spanduk Ganjar Pranowo di banyak tempat, termasuk oknum aparat yang diduga terlibat dalam aksi itu, adalah preseden buruk yang merusak seluruh prinsip kebaikan yang diusung para kandidat di pemilu. Tentu tak ada orang waras yang mengharapkan kehancuran integrasi sosial hanya karena perbedaan pilihan di pemilu. Roh demokrasi itu melekat inheren dengan masyarakat (Larry Diamond, 2008).
Maka, mengikuti denyut jantung dan gerak batin sosial masyarakat adalah keniscayaan bagi setiap politisi—termasuk mereka yang saat ini melihat proses pemilu ini sebagai atraksi kekuatan dan persaingan egosentristis.
Implikasinya, ketegangan antarpendukung yang cenderung konfliktual, diperkuat pelanggaran etik pimpinan MK, perlu dilihat sebagai masalah kritis. Semua elite politik harus berani berdiri di atas simbol dan ambisi kelompok untuk mencari model rekonsiliasi dan rekonsolidasi politik demi kepentingan bangsa dan negara. Bangsa ini terlalu mahal untuk digadai hanya dalam satu pemilu hanya karena benturan persepsi dan kepentingan yang tak terkendali.
Netralitas birokrasi dan institusi negara lain sebagaimana ditegaskan Presiden Jokowi merupakan conditio per quam bagi terwujudnya pemilu yang demokratis.
Rakyat menghargai apa yang telah dibangun Presiden Jokowi dalam dua periode ini (2014-2024) dan mengharapkan keberkelanjutan. Namun, peta koalisi yang terbangun dari gerakan politik yang menihilkan kesadaran dan deliberasi publik tentu memicu kontraproduksi. Meski demikian, kita hanya bisa berharap pada kejernihan pikir dan kebeningan hati rakyat dalam menentukan pemimpin ke depan.
Sejatinya, ”suara rakyat suara Tuhan” mengandaikan rakyat selalu murni dan bebas dari mobilisasi politik yang menodai kesucian eksistensinya. Akankah ada lilin menyala di ujung terowongan? Satu hal yang pasti bahwa kehendak murni rakyat dalam pemilu adalah prasyarat lilin itu menyala.
Boni HargensAkademisi dan Analis Politik Indonesia
Boni Hargens