Merebut Kuasa Nepotisme
Rakyat memiliki kuasa, termasuk menentukan diskursus nepotisme. Mereka tak sekadar obyek perebutan kuasa nepotisme.
Nepotisme merupakan penyimpangan. Semua menyepakatinya. Namun, tidak semua satu suara memaknai nepotisme, khususnya dalam ruang demokrasi saat ini.
Diskursus nepotisme menyeruak ke bilik-bilik ruang publik. Semua memperdebatkan soal nepotisme. Demokrasi sebagai sistem politik konon mengeliminasi praktik nepotisme dengan sendirinya. Sebab, rakyat yang memiliki kuasa memberikan mandat politik kepada penguasa.
Sebaliknya, sebagian kalangan terdidik, praktisi, dan akademisi melihat demokrasi tidak secara otomatis menihilkan nepotisme. Meski prosedur demokrasi terpenuhi, tetapi saat kepentingan penguasa dan kroni mendapatkan prioritas, maka nepotisme tercipta. Prosedur sekadar jalan. Masalahnya, siapa yang memiliki akses melewati jalan dimaksud selalu berkaitan dengan pemilik kuasa.
Pemaknaan nepotisme dalam ruang demokrasi telah menjadi obyek perebutan kuasa. Siapa yang memiliki kuasa kuat, dia berhak memroduksi makna nepotisme dengan segenap citra yang terasosiasi terhadapnya.
Baca juga: Demokrasi dan Teater Nepotisme
Sebagian orang yang melihat nepotisme tidak memiliki ruang dalam demokrasi, cenderung memaknai distribusi kekuasaan yang diterima oleh sebagian keluarga penguasa dan pejabat negara, tidak serta-merta dianggap nepotisme. Kalaupun nepotisme dipahami dalam kacamata keuntungan politik yang jatuh ke dalam keluarga penguasa tertentu, maka demikian harus dilihat sebagai konsekuensi dari demokrasi.
Toh, rakyat memberikan kepercayaan kepada siapa pun yang dianggap berjasa bagi perbaikan kualitas hidup mereka. Siapa pun mereka, terlepas dari atribut kedekatan yang dimiliki dengan pemilik kuasa tertentu. Pemahaman semacam ini cenderung kuat dalam konstelasi perebutan makna nepotisme saat ini.
Kalangan penguasa dengan aliansi yang terhubung dengannya berada dalam model pemaknaan ini. Beberapa narasi seperti ”dalam demokrasi, rakyat yang menentukan” ataupun justifikasi politik kekerabatan John F Kennedy, adalah senjata yang khas muncul dari pemegang kuasa nepotisme sebagai sebuah kewajaran. Apalagi ketika dibumbui oleh narasi ”untuk kepentingan negara”, maka semakin terbukalah bagaimana makna nepotisme diproduksi oleh pemegang kuasa ini.
Nepotisme sebagai sebuah deviasi dalam ruang demokrasi menyediakan diskursus yang berbeda dengan kuasa elite pemerintah. Bagi kelompok ini, demokrasi tidak sepenuhnya menutup celah nepotisme. Toh, demokrasi tidak bisa direduksi kepada sebatas fasilitasi pemenuhan hak elektoral pemilih pada saat pencoblosan. Demokrasi adalah rangkaian proses yang berkelanjutan (continuum process).
Setiap tahap dalam demokrasi harus mencerminkan makna demokratisasi. Salah satunya berkaitan dengan keadilan dan kesempatan untuk berpartisipasi berdasarkan pertimbangan meritokratis. Saat demokrasi direduksi ke dalam satu prosedur semata, sementara dalam prosesnya demokrasi tidak menjadi roh yang memberi warna, maka demokrasi telah disalahartikan.
Kontestasi kuasa nepotisme masih terus berlangsung. Melampaui batas-batas ruang punitif mahkamah. Tinggi rendahnya penerimaan publik terhadap figur-figur yang dianggap mendapatkan keuntungan dari tindakan yang dianggap nepotis, menandai diskursus mana yang dominan di antara dua makna nepotisme.
Saat demokrasi direduksi ke dalam satu prosedur semata, sementara dalam prosesnya demokrasi tidak menjadi roh yang memberikan warna, maka demokrasi telah disalahartikan.
Kuasa nepotisme pada akhirnya harus berada di bawah kendali rakyat. Diskursus mana yang memenangi kontestasi pemaknaan nepotisme akan bergantung pada tingkat pemahaman rakyat terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Saat ini, rakyat menjadi arena perebutan kuasa dua oposisi biner dalam melihat nepotisme di era demokrasi.
Dan, perebutan kuasa ini akan menjadi ruang negosiasi yang terus berlangsung (ongoing negotiation). Oleh karena itulah, proses mencerdaskan masyarakat tidak boleh berhenti hanya pada satu momentum semata. Mempertahankan kuasa atau merebutnya dari segmen tertentu yang menjadi antitesa kepentingan masyarakat adalah dua kontingensi pilihan.
Rakyat sebagai subyek
Plato menentang paham demokrasi secara vulgar. Dia mengasumsikan bahwa negara ideal adalah yang dipimpin oleh sekelompok orang pintar yang disebut aristokrat. Tidak penting seberapa besar orang yang terlibat di dalam pengambilan keputusan karena yang terpenting adalah seberapa jauh keputusan tersebut didasarkan atas pengetahuan.
Letakkanlah kita bersepakat dengan gagasan Plato, bahwa orang berpengetahuan harus menjadi motor pengambilan keputusan. Dan, pengetahuan ini sebaiknya kita ekstensi, bukan sebatas atribut yang hanya dimiliki segelintir aristokrat, tetapi semua rakyat.
Dengan demikian, tantangan demokrasi ke depan adalah memastikan bahwa rakyat memiliki kecukupan pengetahuan. Kapasitas untuk memahami nilai-nilai demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan hak asasi manusia adalah modal utama agar rakyat menjadi subyek dalam menentukan kuasa demokrasi.
Baca juga: Dinasti Politik dan Ancaman Demokrasi
Dengan demikian, demokrasi tidak perlu ditolak mengikuti pandangan Plato. Sebab, rakyat sudah memiliki pengetahuan yang memadai untuk menentukan arah perjalanan negara. Ketakutan bahwa demokrasi memberi ruang negara dipimpin oleh mayoritas rakyat yang tidak memiliki pengetahuan dapat teratasi.
Pada akhirnya, rakyat memiliki kuasa, termasuk dalam menentukan diskursus nepotisme. Mereka tidak sekadar menjadi obyek dari perebutan kuasa nepotisme. Justru mereka yang mengendalikan kuasa untuk memaknai nepotisme tanpa terkooptasi oleh selera segmen elite tertentu.
Dodik Harnadi, Dosen Sosiologi Universitas Jember; Lulusan Program Doktor Ilmu Sosial Universitas Airlangga
Instagram: dodik_harnadi87