Puisi Paling Pedih dari Palestina
Peraih Hadiah Nobel Sastra Ernest Hemingway (1899-1961) pernah menulis puisi pedih tentang akibat Perang Dunia I. Pada puisi berjudul ”Tahanan” itu, Hemingway menggambarkan kelelahan manusia akibat saling membenci.
Peraih Hadiah Nobel Sastra Ernest Hemingway (1899-1961) pernah menulis puisi pedih tentang akibat Perang Dunia I. Pada puisi berjudul ”Tahanan” itu, Hemingway menggambarkan kelelahan manusia akibat berpikir untuk saling membenci. Pada dasarnya semua orang telah menjadi tahanan atas kekejian demi kekejian, yang akhirnya menjadi kesedihan dan kematian. Bahkan penyembuhan yang dilakukan justru menghasilkan perang yang berkepanjangan.
Tahanan
Beberapa datang dengan rantai
ketaksesalan tapi kelelahan.
Terlalu lelah tapi tersandung keadaan.
Berpikir dan membenci telah selesai
Berpikir dan berkelahi telah selesai
Mundur dan berharap telah selesai.
Penyembuhan hasilkan perang
yang panjang, yang lancarkan
kematian.
Setelah menulis novel-novel seperti The Sun Also Rises dan A Farewell to Arms, di mana manusia mengalami kekosongan wilayah kebatinan, Hemingway makin terobsesi untuk mengutuk kekejaman perang. Perkawanan antara orang-orang Amerika di Eropa dalam The Sun Also Rises adalah representasi karakteristik generasi muda korban Perang Dunia I. Mereka umumnya merasa kehilangan, mengalami kesenjangan spiritual, dan kebingungan mengidentifikasi diri dalam pergaulan sosial. Akhirnya, mereka cenderung melakukan hal-hal yang sensasional seperti bermabukan sepanjang hari.
Lebih pedih lagi kisah letnan Amerika dalam novel AFarewell to Arms, yang bertugas sebagai sukarelawan dalam pasukan ambulans di Italia saat Perang Dunia I. Frederic Henry jatuh cinta kepada seorang perawat Inggris bernama Catherine Barkley. Kisah cinta di tengah kecamuk perang itu berakhir dengan duka. Frederic dan Catherine yang mencoba memelihara cinta mereka dengan hidup bersama di Swiss dipaksa terpisah karena sang letnan ditugaskan ke medan perang.
Bahkan setelah berhasil melarikan diri dari hukuman penjara karena menolak bertugas, kepulangan Frederic ke Swiss terasa sia-sia. Setelah melahirkan anak mereka, Catherine mengalami pendarahan dan meninggal dunia. Sejak itu, Frederic menderita dan kehilangan keyakinan hidupnya, termasuk tidak percaya kepada Tuhan dan arti perang itu sendiri.
Barangkali Ernest Hemingway telah menjadi salah satu penulis yang ”beruntung”. Ia diberi ”anugerah” menulis akibat perang dari dekat. Saat berusia 18 tahun, ia bergabung dengan pasukan ambulans Amerika Serikat dan bertugas di garis depan perang di Italia. Pengalaman pertama yang paling mengerikan terjadi saat ia harus memunguti potongan-potongan tubuh para perempuan yang menjadi korban ledakan bom di sebuah pabrik amunisi di Milano. Pabrik itu luluh lantak akibat serangan brutal dari tentara Jerman.
Baca juga : Dalam Cengkeraman Dinasti Politik?
Sejak itu sastrawan dan jurnalis ini mengalami luka mendalam akibat perang. Bahkan para serdadu yang kelak ditemuinya tidak mampu menolongnya terbebas dari rasa perih dan ngeri. Salah seorang di antara mereka bernama Eric Dorman-Smith, yang dengan gagah berani mengutip dialog dalam drama Henry IV Bagian Dua karya William Shakespeare.
”…Aku tidak perduli, mati hanya satu kali; kita berutang maut kepada Tuhan…dan biarkanlah hal itu terjadi sesukanya; orang yang mati tahun ini berarti bebas pada tahun depan…,” kata Eric.
Kata-kata ini begitu mengobsesi Hemingway. Ia nyaris tidak percaya pada perilaku epik para serdadu dalam berhadapan dengan maut, yang bisa terjadi kapan saja di tengah situasi perang yang terus memburuk. Ia kemudian mengulang-ulang kata-kata Shakespeare dalam beberapa cerita pendek bertema Afrika yang ditulisnya kemudian.
Barangkali penderitaan Hemingway akan jauh lebih dalam, kalau saja ia sempat mendengar ungkapan warga Palestina bernama Ahmed Abu Al-Saba (35). Di tengah-tengah suasana muram dan duka di Rumah Sakit Al-Shifa di kota Gaza, Ahmed berkata lirih, ”Kami menuliskan nama kami di tangan kami dan nama anak-anak kami di lengan mereka. (Itu semua) Agar tubuh kami dapat dikenali jika pesawat pendudukan (Israel) mengebom kami.”
Ahmed mengatakan itu dengan setengah putus asa kepada media Turki, Anadolu. Ia menambahkan, ratusan warga Palestina melakukan hal yang sama. Mereka tak hanya menulis nama di lengan, kaki, dan tubuh mereka, tetapi juga tempat-tempat di mana mereka bisa berharap kelak ketika bom menghancurkan tubuhnya, mereka bisa segera dikenali. Dan pengenalan atas tubuh yang berkeping-keping akibat kebiadaban perang akan menjadi bagian paling menyedihkan dalam sejarah umat manusia.
Barangkali itulah puisi paling syuhada, puisi yang menderetkan nama-nama orang yang bersiap menjemput kematian dengan perasaan gemuruh. Barangkali juga (seharusnya) hanya puisi yang mampu menusuk ke dalam ingatan para pengebom dengan harapan merasakan rasa sakit yang sama. Sebab, bukankah perang adalah peristiwa saling bunuh untuk memuaskan rasa superioritas satu manusia atas manusia lainnya?
Ernest Hemingway bahkan mengatakan, ”Satu-satunya tulisan sejati yang muncul selama perang adalah puisi.” Tulisan-tulisan lainnya adalah bom yang meledak di gedung-gedung rumah sakit dan rumah-rumah yang berdebu, sebelum akhirnya roboh dan rata dengan tanah. Itulah tulisan-tulisan yang ditembakkan dari hati yang benci, pikiran yang dirasuki superioritas, dan degup jantung yang haus kekuasaan.
Meski berbeda zaman, Ahmed seolah menjawab pernyataan Hemingway begini. ”Ada banyak syuhada, terutama anak-anak yang keluarganya sulit dijangkau. Bom ada di mana-mana,” tuturnya.
Ia ingin mengabarkan kepada dunia bahwa anak-anak Palestina akan mati sebagai syuhada, kematian paling suci dalam peperangan. Bahwa bom boleh jadi akan membuat tubuh mereka berkeping-keping dengan bau amis daging di mana-mana. Namun, siapakah yang bisa menghapus nama-nama mereka sebagai orang-orang Palestina?
”Keluarga-keluarga tersebut menuliskan nama mereka di tangan dan kaki mereka sehingga dapat diidentifikasi setelah dibom oleh Israel. Mereka menggunakan bom maut buatan Amerika dan dipasok Amerika,” tulis akademisi Palestina, Sami Al-Arian, di media sosial X.
Sepedih itukah pemaknaan sebuah puisi?
Data statistik mencatat, sebagaimana dilansir Al Jazeera, Jumat (10/11/2023), sudah ada 11.078 orang tewas, di antara mereka ada 4.506 anak-anak dan 3.027 perempuan. Dan angka ini akan terus bertambah jika serangan Israel ke wilayah Gaza tidak segera dihentikan. Bahkan serangan itu kini sudah mengancam Rumah Sakit Indonesia yang berada di Bait Lahiya, Kegubernuran Gaza Utara.
Rumah sakit hasil donasi rakyat Indonesia untuk rakyat Palestina itu dituduh menjadi sarang para pejuang Hamas. Sejak perang pecah Oktober 2023 lalu, Rumah Sakit Indonesia di Jalur Gaza telah mencatat jumlah korban meninggal sebanyak 1.784 orang dan 4.666 orang dirawat. Sampai kini masih terdapat ratusan orang Palestina yang dirawat inap, sementara terus-menerus terdengar ancaman serangan dari Israel.
Selain angka itu, The Guardian melaporkan, lebih dari 27.490 warga Palestina lainnya terluka akibat serangan membabi buta dari Israel.
Sejak serangan 7 Oktober 2023 lalu dalam pertikaian antara Hamas dan Israel, tidakkah nama-nama mereka yang berjatuhan menjadi korban kebiadaban perang menyentuh hati para serdadu di medan perang? Apakah artinya perang dalam gelimpangan tubuh-tubuh korban yang tercerai-berai?
Penyair pemenang Hadiah Nobel Sastra lainnya, Pablo Neruda, menulis sebuah puisi bertajuk ”Terlalu Banyak Nama-nama”.
Tidak ada seorang pun dapat menuntut nama Pedro, tidak ada yang jadi Rosa atau Maria, semua kita hanya debu atau pasir, semua kita hanya hujan dibasuh hujan. Mereka bicara padaku tentang banyak Venezuela, banyak Chile dan banyak Paraguay. Aku tak tahu mereka bicara tentang apa: Aku hanya tahu warna kulit dunia dan aku tahu itu tak dapat diberi nama.
Lewat puisi, Pablo membawa tataran manusia pada kesederajatan. Tak ada seorang pun yang menuntut seseorang harus bernama Ahmed atau seseorang bernama Neta Portal (22) atau Shimon Portal ataupun Asyja’. Bahkan para bayi di Rumah Sakit Al-Quds di Gaza kini satu per satu tewas karena dehidrasi parah dan kehabisan susu. ”Bayi-bayi di Rumah Sakit Al-Quds dehidrasi parah dan kehabisan susu,” bunyi pengumuman Bulan Sabit Merah Palestina, seperti dilaporkan Anadolu, Minggu (12/11/2023).
Jika pada akhirnya bayi-bayi itu harus tewas, tak ada seorang pun menuntut mereka harus menyandang nama-nama Palestina. Mereka adalah sebentuk makhluk hidup yang diciptakan Tuhan, seperti juga Tuhan menciptakan anak-anak Yahudi di Israel. Oleh sebab itu, seperti ditulis Pablo: //Aku bermaksud untuk mengacaukan segala sesuatu/menyatukannya, menjadikannya baru lahir, membaurkannya, menanggalkan pakaiannya/hingga cahaya dunia/mempunyai kesatuan lautan/keutuhan yang berlimpah/wangi yang hidup dan berderak…//
Perbedaan-perbedaan yang terjadi sebagai kodrat manusia tidak seharusnya membuat manusia lain merasa berhak menghabisinya karena perbedaan itu. Itulah sebabnya, Pablo ingin mengacaukan cara memandang perbedaan yang berujung permusuhan. Ia ingin mengembalikan kodrat manusia sebagai makhluk transenden. Bahwa pada tataran eksistensial, manusia diturunkan dalam derajat yang sama. Bahkan segala makhluk adalah zat yang diturunkan Tuhan untuk hidup berdampingan, karena segala sesuatunya bergantung satu sama lainnya. Tidak ada makhluk yang mampu menjalani lautan kehidupan seorang diri.
Puisi Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri ini barangkali bisa menjadi penutup episode perang yang kejam.
Satu
kuterjemahkan tubuhku ke dalam tubuhmu ke dalam rambutmu kuterjemahkan rambutku jika tanganmu tak bisa bilang tanganku kuterjemahkan tanganku ke dalam tanganmu jika lidahmu tak bisa mengucap lidahku kuterjemahkan lidahku ke dalam lidahmu aku terjemahkan jemariku ke dalam jemarimu jika jari jemarimu tak bisa memetikku ke dalam darahmu kuterjemahkan darahku kalau darahmu tak bisa mengucap darahku jika ususmu belum bisa mencerna ususku kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu kalau kelaminmu belum bilang kelaminku aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu
daging kita satu arwah kita satu walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku
Oleh sebab itu, orang-orang boleh saja bernama Ahmed, Daniyal, Farooq, Adraa, Bahila, Saida, atau Shimon, Abimelech, Brighton, Ahisamach, Neta, Abel, dan Amissa. Kita semua boleh saja menyebut nama Putu, Tan Lioe Ie, Sun Lie, Joko Pinurbo, Saut Situmorang, Ahda Imran, Agus Noor, Ratna Ayu, Warih Wisatsana, Sapardi, Sutardji, Budi Darma, Butet Kartaredjasa, Sarasdewi, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Linda Christanty, Sha Ine Febriyanti, atau Happy Salma. Barangkali dari nama-nama ini kau bisa dengan mudah menandai asal-usulnya.
Namun, perbedaan asal-usul dan bahkan etnis, jenis kelamin, serta kepercayaan mereka tidak serta-merta membuatnya menjadi makhluk yang berbeda. Jika itu hidup di dalam pikiranmu, maka ia akan menjadi puisi paling pedih dalam kehidupan umat manusia. Sekali lagi, //yang tertusuk padamu berdarah padaku//. Ajaranku membahasakan ini dengan tat twam asi, aku adalah kamu dan kamu sebenarnyalah diriku.
Putu Fajar Arcana, Sastrawan dan Jurnalis Kompas 1994-2022