Konektivitas dan Manufaktur Berkelanjutan
Sekalipun konektivitas relatif membaik, sistem informasi manajemen logistik dan kompetensi SDM masih menjadi kendala.
Dari perspektif ekonomi institusional, transisi energi dan transisi menuju ekonomi hijau telah disepakati menjadi ”aturan main” yang baru. Industri manufaktur dan transportasi merupakan dua sektor penyumbang emisi terbesar. Kedua sektor kini tidak hanya berkepentingan dengan biaya logistik yang rendah dan kelancaran arus barang, tetapi juga tingkat emisi yang rendah dan efisiensi energi.
Industri manufaktur amat membutuhkan kelancaran arus berbagai bahan baku/penolong dan distribusi produk akhir di sepanjang rantai pasoknya.
Efisiensi logistik dimungkinkan oleh konektivitas transportasi yang baik, yang melibatkan jaringan jalan tol/non-tol, jaringan rel kereta api (KA), pelabuhan, yang menghubungkan lokasi bahan baku, kawasan industri, pergudangan, pelabuhan, dan pusat perdagangan.
Dalam hal ini, pergudangan dan pelabuhan cenderung menjadi titik-titik kritis. Integrasi antara zona industri dan pergudangan dengan pelabuhan serta berbagai moda transportasi logistik dapat menjadi solusi yang cost effective. Dengan biaya logistik relatif rendah, dimungkinkan meningkatnya daya saing industri manufaktur, di samping faktor lain, seperti upah tenaga kerja yang murah.
Ini berarti, sekalipun konektivitas relatif membaik, sistem informasi manajemen logistik dan kompetensi sumber daya manusia (SDM) logistik masih menjadi kendala.
Biaya logistik turun
Hasil perhitungan Bappenas menunjukkan biaya logistik turun signifikan menjadi 14,29 persen dari PDB (2023) dari sebelumnya 24 persen (2018). Ini mengindikasikan konektivitas transportasi sudah jauh membaik lima tahun terakhir.
Namun, peringkat Indeks Kinerja Logistik (LPI) Indonesia ternyata justru merosot dari posisi ke-46 (2018) menjadi ke-61 (2023) akibat lemahnya aspek tracking and tracing serta logistics competence and quality. Ini berarti, sekalipun konektivitas relatif membaik, sistem informasi manajemen logistik dan kompetensi sumber daya manusia (SDM) logistik masih menjadi kendala.
Pada rangkaian acara Belt and Road Forum ketiga di Beijing yang mengangkat tema ”Connectivity in an Open Global Academy” belum lama ini, Presiden Joko Widodo menyampaikan empat hal utama (kriteria) yang dibutuhkan guna membangun konektivitas.
Pertama, harus memberikan manfaat ekonomi. Kedua, harus dilakukan merata dan inklusif. Ketiga, harus memperhatikan aspek keberlanjutan. Keempat, harus didukung pengembangan SDM dan alih teknologi. Manfaat ekonomi bisa dalam bentuk pemasukan finansial, penghematan waktu tempuh, penghematan bahan bakar minyak (BBM), dan reduksi emisi.
Pemerataan pembangunan konektivitas dengan memperhatikan daerah-daerah terpencil, terluar, tertinggal, dan perbatasan (3TP) serta perdesaan.
Stasiun LRT Dukuh Atas, Jakarta, Jumat (7/3/2023). Stasiun ini tersambung dengan Jembatan Penyeberangan Multiguna Dukuh Atas yang menghubungkan dengan Stasiun Sudirman. Selain itu, JPM Dukuh Atas ini juga terintegrasi dengan halte transjakarta.
Prinsip keberlanjutan dalam konektivitas diterapkan antara lain dengan penggunaan panel surya pada pelabuhan, bandara, stasiun KA, terminal bus, jalan tol, serta meningkatkan penggunaan kendaraan listrik. Sementara dukungan pengembangan SDM dan alih teknologi merujuk pada pengembangan infrastruktur konektivitas berteknologi menengah-tinggi, seperti kereta cepat dan MRT.
”Portcentric intermodal transshipment hub”
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yang sekitar dua pertiga wilayahnya berupa laut, konektivitas jalur laut layak menjadi tulang punggung (backbone) dari sistem konektivitas (logistik) nasional. Ini karena biaya pengiriman melalui laut relatif murah, terutama jika dibandingkan dengan jalur udara.
Secara umum desain dari jejaring pelabuhan di Indonesia adalah berpola hub and spoke atau hub and feeder mengingat kondisi geografis kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau. Pola ini antara lain diterapkan pada program Tol Laut. Sementara pelabuhan-pelabuhan hub di Sumatera dan Jawa memiliki area tangkapan (catchment area) tersendiri berupa hinterland dengan kawasan-kawasan industri dan sentra-sentra produksi lainnya.
Pelabuhan Tanjung Priok dan Patimban diperkirakan akan tetap menjadi pelabuhan hub internasional utama pascakepindahan ibu kota ke IKN, dan Jakarta akan tetap menjadi daerah khusus dan kota pusat jasa internasional yang penting. Demikian pula kawasan Rebana akan tumbuh menjadi pusat jasa/industri di Jawa Barat.
Industri manufaktur, terutama yang berorientasi ekspor, termasuk sektor yang cukup banyak menerima manfaat dari membaiknya konektivitas.
Hal ini karena industri manufaktur kita masih banyak bergantung pada bahan baku impor, seperti bahan baku untuk olahan makanan/minuman, plastik, suku cadang, dan bahan baku obat-obatan. Berdasarkan data BI, 90 persen bahan baku industri manufaktur kita berasal dari impor, 30 persen di antaranya dari China.
Industri, baik yang berorientasi ekspor maupun yang bergantung pada bahan baku impor, amat membutuhkan kedekatan geografis dengan pelabuhan.
Masih cukup banyak produk industri manufaktur dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) relatif belum cukup tinggi, termasuk mesin/peralatan pertanian, mesin/peralatan migas, produk farmasi, kendaraan listrik, permesinan, elektronika, komputer, dan industri perkapalan.
Industri, baik yang berorientasi ekspor maupun yang bergantung pada bahan baku impor, amat membutuhkan kedekatan geografis dengan pelabuhan. Lokasi keduanya perlu sedekat mungkin atau setidaknya didukung dengan prasarana/sarana konektivitas yang memadai.
Maka, amat beralasan jika bermunculan kawasan-kawasan industri dan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang lokasinya berdekatan dengan pelabuhan atau pantai. Sebut saja KEK Sei Mangke, KEK Gresik, KEK Morotai, KIT Batang, dan KEK Maloy. Beberapa kawasan industri juga mulai dipersiapkan di dekat Pelabuhan Patimban.
Dari aspek integrasi atau kedekatan lokasi antara kawasan industri dan portcentric intermodal transshipment hub, KEK Sei Mangke dan Pelabuhan Kuala Tanjung menjadi contoh ideal. Pelabuhan Kuala Tanjung adalah portcentric intermodal transshipment hub karena ada akses kereta logistik dan jalan tol.
Pola seperti ini sudah banyak dikembangkan di negara-negara yang lebih maju seperti Turki, China, Belanda, Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Uni Eropa. Cedar Port Industrial Park di Baytown, Texas, AS, misalnya, merupakan salah satu zona industri terbesar dunia dengan luas 6.000 hektar, yang letaknya bersebelahan dengan pelabuhan kontainer.
Zona industri ini mengakomodasi kegiatan manufaktur, pergudangan, dryport, dan distribusi, termasuk e-commerce beserta dukungan jaringan fiber optik.
Kawasan ini dilengkapi akses jaringan jalan, rel kereta, dan kanal air ke pelabuhan, serta terminal tongkang (barge dock terminal). Jaringan rel kereta logistik bahkan tersedia di dalam kawasan, yakni sepanjang 92 kilometer beserta gudang/ depot dengan ribuan unit gerbong kereta logistik dan dilengkapi fasilitas bengkel lokomotif.
Pola konektivitas terintegrasi berbasis pelabuhan semacam ini dapat menstimulasi pertumbuhan industri karena konstruksi pabrik baru lebih mudah dan mesin/peralatan pabrik yang berat dan besar tidak perlu dibawa jauh-jauh ke daratan.
Sesudah pabrik beroperasi, pengiriman produk jauh lebih mudah dan murah karena lokasinya berdekatan dengan pelabuhan dan tersedia jaringan rel dan ribuan kereta logistik.
Dengan demikian, integrasi antara pelabuhan dan stasiun/ jaringan rel kereta logistik dan jalan tol/non-tol, dan kawasan industri/KEK merupakan perwujudan tata ruang yang paling efisien terkait dengan distribusi logistik ekspor/impor, dan perdagangan antarpulau.
Kini tengah dikembangkan PLTS berteknologi Jepang yang mampu memasok listrik 24 jam dan dapat terus beroperasi meski hari hujan.
Sementara KEK Morotai dan Pulau Morotai dapat menjadi salah satu contoh atau proyek percontohan kawasan industri atau KEK ”hijau” dan green island’. Pada 2012 telah dibangun PLTS berkapasitas 600 kilowatt- peak (kWp). Kini tengah dikembangkan PLTS berteknologi Jepang yang mampu memasok listrik 24 jam dan dapat terus beroperasi meski hari hujan.
Konektivitas internasional dengan berbagai koridor perdagangan global tak kalah strategisnya. Hal ini untuk mendukung diversifikasi pasar ekspor dan akses ke negara-negara sumber impor bahan baku. Sebab, ketergantungan terhadap pasar ekspor ataupun bahan baku impor yang besar akan berisiko, terutama ketika terjadi disrupsi rantai pasok akibat pandemi, perang, dan lainnya.
Menutup kesenjangan
Kendati mampu menurunkan biaya logistik, masifnya pembangunan infrastruktur konektivitas belum menjamin membaiknya peringkat LPI Indonesia. Untuk memperbaiki peringkat LPI, di samping perluasan penerapan national logistic ecosystem (NLE), perlu dilakukan perbaikan sistem tracking/tracing di pelabuhan melalui penerapan automated terminal operation system.
Di samping itu, peningkatan kompetensi SDM logistik pelabuhan melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan perlu dilakukan secara terus-menerus.
Kian membaiknya konektivitas akan memfasilitasi industri manufaktur dengan jejaring yang luas, efisiensi logistik, aktivitas yang meningkatkan nilai tambah, dan kelancaran arus barang/jasa. Sektor industri, khususnya manufaktur berteknologi menengah-atas dan berbasis material kritis (pendukung industri hijau dan industri pertahanan), menjadi penghela dan tumpuan utama untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi menuju Indonesia maju.
Industri manufaktur berkelanjutan tak hanya ramah lingkungan dan ramah iklim, tetapi juga didukung stabilitas rantai pasok dalam jangka panjang. Saat ini, kebutuhan infrastruktur konektivitas nasional sejatinya masih cukup besar dan masih terdapat infrastructure investment gap terutama di kawasan timur Indonesia. Ini salah satu tugas berat pemerintah mendatang untuk memenuhi.
Baca juga : Ketegasan Aturan Tol Laut Dibutuhkan untuk Tekan Disparitas Harga
Wihana Kirana JayaStaf Khusus Menteri Perhubungan