Komunikasi, Fondasi Penting dalam Praktik Kedokteran
Komunikasi dokter-pasien merupakan sumber motivasi, kepercayaan, dan dukungan yang berdampak positif terhadap pasien.
Oleh
SUKMAN TULUS PUTRA
·5 menit baca
Sejak ratusan tahun lalu profesi kedokteran dikenal sebagai profesi luhur, dan dokter akan selalu mengutamakan kepentingan pasien ketimbang kepentingan lainnya, termasuk kepentingan pribadi. Pasien atau penderita haruslah merupakan sentral dari pelayanan kedokteran sehingga beberapa ahli bioetik mengatakan bahwa kesembuhan pasien yang sakit merupakan tujuan utama dalam hubungan saling percaya (trust) antara pasien dan dokter.
Tanpa kepercayaan penuh pasien terhadap dokter, akan sulit diharapkan proses penyembuhan berjalan cepat, meskipun banyak faktor lain yang berpengaruh dan berperan dalam penyembuhan suatu penyakit. Untuk membangun trust dalam praktik kedokteran, setidaknya ada tiga fondasi penting yang harus disiapkan, yakni etika (ethic), kemampuan berkomunikasi (communication skills), dan ilmu pengetahuan serta keterampilan (knowledge and skills).
Fondasi tersebut terletak di bawah kerangka kemanusiaan (humanism), akuntabilitas, ekselensi, dan altruism, yakni suatu keharusan untuk mendahulukan kepentingan orang banyak di atas kepentingan pribadi. Dengan demikian, profesionalisme dalam bidang kedokteran terbangun di atas tiga tatanan bangunan utama tersebut.
Selama proses pendidikan untuk menjadi dokter yang cukup panjang, mulai dari pendidikan akademik sampai tingkat keprofesian, seorang dokter/dokter spesialis mendapat ilmu kedokteran dan keterampilan klinis yang cukup. Demikian pula pelajaran tentang etika kedokteran.
Namun, calon dokter umumnya sedikit sekali, bahkan nyaris tidak, memperoleh ”ilmu komunikasi” yang memadai selama proses pendidikan di fakultas kedokteran. Karena itu, tidak heran apabila secara universal dokter dikelompokkan oleh para ahli komunikasi sebagai poor communicator.
Cara berkomunikasi dengan pasien, dengan keluarga, dan komunikasi antarteman sejawat biasanya diperoleh dengan memperhatikan dan ”meniru” apa yang dilakukan para guru atau dosen serta para seniornya. Padahal, komunikasi dalam dunia kedokteran (medical communication) memerlukan keterampilan dan latihan. Meskipun pada dasarnya di sini komunikasi yang terjadi merupakan hubungan komunikasi antarmanusia, diperlukan suatu teknik dan ”seni” berkomunikasi tersendiri karena bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup tidak menjamin akan terjadi komunikasi yang efektif.
Beberapa masalah akibat kurang atau kesalahan komunikasi tidak jarang kita dengar. Hal ini sering menjadi persoalan serius dengan berbagai implikasinya terhadap proses penanganan pasien yang pada akhirnya dapat merugikan pasien dan bahkan merugikan dokter itu sendiri.
”Trust” dokter-pasien
Apa sebenarnya relevansi komunikasi kedokteran terkait dengan trust dalam hubungan dokter-pasien? Sejak ratusan tahun sebenarnya tugas seorang dokter adalah sangat jelas dan sederhana. Dokter selalu melakukan anamnesis untuk memperoleh riwayat perjalanan penyakit, melakukan pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang apabila diperlukan, menegakkan diagnosis, memberikan pengobatan, dan kemudian menentukan prognosis atau ramalan terhadap kesembuhan dan perjalanan penyakit yang didasarkan pada keilmuan, pengalaman, dan bukti-bukti ilmiah yang ada.
Setiap tahapan proses tersebut memerlukan komunikasi yang memadai agar seorang dokter dapat melaksanakan tugas profesinya dengan baik. Alasan untuk melakukan pemeriksaan tertentu harus dikomunikasikan dengan jelas.
Penjelasan manfaat pemberian obat-obatan, risiko tindakan, dan efek samping obat yang mungkin terjadi harus dikomunikasikan dengan sebaik-baiknya. Komunikasi efektif ”dokter-pasien” merupakan pusat dari fungsi klinis dan hasil akhirnya adalah art dari ilmu kedokteran dan komponen sentral dalam pelayanan kesehatan.
Terhadap pasien anak, komunikasi yang harus dilakukan tidak hanya kepada pasiennya, tetapi tidak kalah pentingnya harus ada komunikasi yang baik dengan orangtua pasien atau keluarga dekat lainnya.
Pengalaman ”pahit”
Terhadap pasien anak, komunikasi yang harus dilakukan tidak hanya kepada pasiennya, tetapi tidak kalah pentingnya harus ada komunikasi yang baik dengan orangtua pasien atau keluarga dekat lainnya. Karena kurangnya komunikasi, saya pribadi sebagai dokter spesialis anak mempunyai pengalaman ”pahit” ketika suatu hari, lebih dari 25 tahun lalu, tiba-tiba nama saya muncul di surat pembaca salah satu koran nasional terkenal. Seorang ayah dari pasien X mengatakan bahwa dokter STP memberikan obat yang ”salah”.
Saya kaget bukan main waktu itu setelah baca koran tersebut. Usut punya usut, ternyata yang terjadi adalah pada saat pemberian obat pertama kali, pasien tersebut tidak merasa sembuh dan masih panas. Namun, setelah saya mengganti obat antibiotik, pada hari ketiga pasien mulai membaik dan akhirnya sembuh.
Untuk sebagian orang mungkin hal tersebut tidak menjadi masalah, dan yang penting anaknya sudah sembuh. Namun, tidak demikian untuk orangtua pasien X di atas yang beranggapan obat yang saya berikan untuk pertama kali itu ”salah” karena anaknya tidak sembuh, dan obat yang diberikan kemudian yang ”betul” karena anaknya menjadi sembuh.
Suatu simpulan logika yang salah, tetapi menjadi ”benar” sebagai akibat kesalahan saya saat itu yang tidak menjelaskan alasan dan pertimbangan saya untuk mengganti obat, dan tidak menjelaskan apa perbedaan khasiat dari kedua macam obat tersebut. Kalau saja saya menjelaskan bahwa obat yang saya berikan kemudian mempunyai khasiat dan potensi yang lebih kuat dibandingkan dengan obat yang pertama, dan kemudian mungkin akan lebih baik hasilnya, nama saya pasti tidak akan masuk koran.
Kesalahpahaman tersebut terjadi jelas karena tidak terjadi ”komunikasi” yang efektif antara saya dan orangtua pasien ketika itu. Pengalaman berharga ini menjadi pelajaran penting bagi saya dalam menjalankan praktik kedokteran sampai saat ini.
Miskomunikasi dokter-pasien
Terhambatnya komunikasi yang baik antara dokter dan pasien biasanya tidak jarang disebabkan, antara lain, kekhawatiran dan ketakutan pasien terhadap penyakitnya, kesibukan dokter dalam tugas-tugasnya, ketakutan terhadap proses litigasi, dan harapan pasien yang tidak realistis.
Pernah dilakukan observasi bahwa semakin lama keterampilan komunikasi dokter makin menurun akibat tekanan emosi dan fisik yang berat semasa pendidikan, baik pendidikan dokter maupun spesialis, pada akhirnya tidak jarang mengurangi empati terhadap pasien dan akibatnya komunikasi tidak akan berlangsung optimal.
Memang interaksi dokter-pasien sesungguhnya suatu proses yang kompleks sehingga miskomunikasi sangat berpotensi dapat terjadi, khususnya dalam pemahaman pasien terhadap ”prognosis”, tujuan perawatan atau pengobatan, dan harapan ke depan.
Keterampilan komunikasi yang baik seorang dokter akan menempatkan pasien ikut berpartisipasi dalam menentukan pengobatan dan tindak lanjut dan tidak memosisikan pasien sebagai obyek semata. Apalagi dewasa ini umumnya pasien sudah mengerti bahwa mereka bukanlah recipient yang pasif. Mereka dapat menolak atau tidak menyetujui otoritas dokter berdasarkan pengetahuan, pemahaman, dan kondisi sosial kehidupannya.
Dari uraian di atas, sangat jelas bahwa ”komunikasi” dalam praktik profesi kedokteran merupakan dasar atau fondasi yang sangat penting sebagai landasan utama dalam professionalism in medicine. Oleh karena itu, komunikasi dokter-pasien yang efektif menjadi komponen utama dalam proses pelayanan kesehatan dan kedokteran. Kehormatan dan power yang ada pada dokter menempatkan dokter pada posisi yang sangat unik sehingga komunikasi efektif dokter-pasien merupakan sumber dari motivasi, kepercayaan, dan dukungan terhadap pasien yang pada akhirnya akan berdampak positif terhadap kesembuhannya.
”The patients will never care how much you know, until they know how much you care” (Terry Canale, American Academy of Orthopedic Surgeon).
Sukman Tulus Putra, Guru Besar FKUI, Ketua Perhimpunan Kardiologi Anak Indonesia (Perkani); Anggota Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI; Komisioner Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) 2014-2020