Ada distorsi penafsiran putusan MK. Kepala daerah di bawah 40 tahun selain gubernur seharusnya tak bisa jadi capres-cawapres.
Oleh
DIAN AGUNG WICAKSONO
·5 menit baca
Tulisan ini merupakan wujud keresahan seorang akademisi hukum tata negara yang melihat distorsi penafsiran terhadap Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menguji konstitusionalitas Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu. Tulisan ini juga merespons lebih lanjut tulisan Zainal Arifin Mochtar yang berjudul ”Patah Palu Hakim di Hadapan Politik” (Kompas, 17/10/2023).
Selain itu, tulisan ini mencoba memberikan perspektif penafsiran lain atas putusan MK di sela waktu yang sangat terbatas dalam rangkaian verifikasi berkas administrasi pendaftaran capres-cawapres, yang hasilnya akan ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 13 November 2023. Harapannya, KPU dapat mengambil keputusan yang tepat dalam memverifikasi pendaftaran capres-cawapres yang akhirnya dinyatakan lolos sebagai capres-cawapres definitif.
Mayoritas pembahasan mengenai putusan MK yang menguji konstitusionalitas Pasal 169 huruf q UU No 17/2017 tentang Pemilu selalu mendudukkan putusan MK a quo sebagai karpet merah bagi salah satu calon wakil presiden yang sedang menjabat sebagai wali kota. Hal ini karena amar putusan MK memuat komposisi lima hakim konstitusi mengabulkan permohonan pemohon dan empat hakim konstitusi menolak permohonan pemohon.
Padahal, dalam komposisi lima hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan, terdapat dua hakim konstitusi yang memiliki alasan berbeda (concurring opinion) dalam mayoritas pendapat hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan. Kondisi yang demikian ini seharusnya dimaknai sebagai amar putusan yang bersifat pluralitas (plurality decision).
Memahami putusan pluralitas
Putusan pluralitas atau yang disebut juga no-clear-majority decision atau fragmented decision merupakan putusan yang terjadi ketika mayoritas hakim menyetujui putusan suatu perkara, tetapi gagal menyepakati satu alasan tunggal yang mendukung putusan tersebut (David R Stras & James F Spriggs, 2009). Dengan kata lain, putusan yang diambil berdasarkan suara mayoritas hakim tanpa didasari adanya pendapat hakim yang komprehensif karena adanya keterbelahan pendapat hakim yang mayoritas tersebut.
Hal ini terjadi apabila dalam komposisi suara mayoritas hakim terdapat alasan yang berbeda dalam suara hakim yang mayoritas. Dalam kondisi yang demikian, putusan Marks v United States, 430 US 188 (1977) menjadi pegangan dalam praktik peradilan AS yang disebut sebagai ”aturan dasar tersempit” (narrowest ground rule). Aturan ini menjelaskan bahwa ketika para hakim gagal mencapai kesepakatan mengenai alasan mayoritas tunggal dalam mengambil suatu putusan, maka pendirian pengadilan dapat dilihat sebagai posisi yang diambil oleh para hakim yang menyetujui putusan tersebut, pada lingkup yang paling sempit (Richard M Re, 2019; Ryan C Williams, 2017). Prinsip ini kemudian dikenal sebagai the Marks rule yang menjadi pegangan bagi hakim lower court di AS dalam memahami putusan pluralitas yang dikeluarkan oleh US Supreme Court.
Pemaknaan untuk jenis jabatan lain dalam ’jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’ selain gubernur hanya disetujui oleh tiga hakim konstitusi.
Kondisi keterbelahan suara hakim konstitusi dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi sangat relevan apabila dalam membaca putusan a quo menggunakan prinsip the Marks rule dan tidak serta-merta hanya melihat suara mayoritas hakim dalam amar putusan. Maksudnya, amar putusan yang menyatakan Pasal 169 huruf q UU No 7/2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi ”berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” tidak dapat dimaknai utuh menjadi suara mayoritas karena terdapat dua hakim konstitusi yang memiliki alasan berbeda. Dua hakim konstitusi (Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P Foekh) memilih pemaknaan atas ”jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” hanya untuk kepala daerah tingkat provinsi atau gubernur.
Dengan kata lain, apabila dilihat dari narrowest ground rule, dapat dengan sangat mudah dibaca pendirian para hakim konstitusi dalam suara mayoritas pada lingkup yang tersempit dari pemaknaan ”jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” adalah ”kepala daerah tingkat provinsi atau gubernur”. Dengan demikian, sebenarnya pemaknaan Pasal 169 huruf q UU No 7/2017 tentang Pemilu yang selengkapnya berbunyi ”berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah menduduki jabatan kepala daerah tingkat provinsi atau gubernur” telah disetujui oleh lima hakim konstitusi, sedangkan pemaknaan untuk jenis jabatan lain dalam ”jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” selain gubernur hanya disetujui oleh tiga hakim konstitusi.
Implikasi
Apabila pemaknaan sebagai putusan pluralitas digunakan untuk memahami pendirian para hakim konstitusi yang mengalami keterbelahan dalam suara mayoritas ketika memutus perkara 90/PUU-XXI/2023, setidaknya dapat memberikan implikasi yang serius terhadap konstelasi pencalonan capres-cawapres.
Pertama, kepala daerah dengan usia di bawah 40 tahun selain gubernur tidak dapat diusulkan sebagai capres-cawapres. Hal ini tentu akan menjadi batu sandungan bagi salah satu calon wakil presiden yang sedang menjabat wali kota. Dengan kata lain, segala penilaian yang selama ini muncul bahwa putusan MK merupakan karpet merah bagi putra mahkota tidak sepenuhnya tepat. Persepsi putusan MK menjadi karpet merah bagi putra mahkota menjadi menjadi tepat apabila amar putusan MK dimaknai mentah-mentah tanpa membaca secara utuh bahwa terdapat keterbelahan dalam suara mayoritas hakim konstitusi.
Kedua, KPU memiliki peluang untuk menganulir pendaftaran capres-cawapres yang tidak sesuai dengan pemaknaan putusan pluralitas tersebut pada tahapan verifikasi pasangan bakal calon. Peluang ini dimungkinkan dalam Pasal 230-232 UU No 17/2017 tentang Pemilu.
Pertanyaan yang patut disangsikan adalah apakah KPU ”berani” menggunakan penafsiran putusan pluralitas tersebut untuk menilai apakah capres-cawapres yang diusulkan oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik memenuhi kualifikasi dalam putusan MK yang merupakan putusan pluralitas tersebut. Ataukah KPU hanya akan mengikuti pendapat mainstream bahwa putusan MK a quo memang memperbolehkan kepala daerah dengan usia di bawah 40 tahun sepanjang pernah/sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah, dapat diusulkan sebagai capres-cawapres.
Ketiga, stigma negatif MK sebagai ”Mahkamah Keluarga” dapat direduksi. Hal ini menjadi penting karena stigma negatif yang saat ini dilekatkan kepada MK sebagai ”Mahkamah Keluarga” tentu meruntuhkan marwah MK sebagai lembaga peradilan, yang tentu menimbulkan ketidakpercayaan publik (public distrust) kepada MK sebagai benteng terakhir penjaga konstitusi.
Dengan membaca Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sebagai putusan pluralitas dengan pendekatan the Marks rule, seharusnya dapat dinilai MK masih memiliki hakim konstitusi yang negarawan dalam mengawal konstitusi. Hal-hal yang ”dikeluhkan” oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) soal bagaimana para hakim konstitusi lain yang dalam sekelebat waktu berubah pendirian tentu menjadi isu tersendiri dalam praktik overruling MK.
Namun, persepsi negatif yang seolah putusan MK a quo hanya menjadi karpet merah bagi putra mahkota, dengan menggunakan pendekatan putusan pluralitas tidak sepenuhnya dikatakan tepat. Setidaknya masih terdapat beberapa hakim konstitusi yang tetap berupaya menjaga kenegarawanan dan kewarasan dalam mengadili perkara yang dihadapkan kepadanya.
Dengan menggunakan kerangka berpikir di atas, saatnya untuk bertanya kembali, apakah kita ”berani” untuk menyatakan bahwa putusan MK bukan untuk sang putra mahkota?