Jokowi, dari Kesempurnaan Demokrasi Menuju Politik Dinasti
Demokrasi Indonesia awalnya sempurna dengan terpilihnya Jokowi. Namun, kini demokrasi Indonesia terancam politik dinasti.
”Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.” (Milan Kundera)
Barack Obama menulis pesan yang menyentuh kepada Donald Trump pada Januari 2017 saat akan meninggalkan Gedung Putih. Dalam catatannya, Obama mengatakan, ”Kita hanyalah penguasa sementara dari tempat ini. Terlepas dari dorongan dan tarikan politik, kitalah yang bertanggung jawab meninggalkan instrumen demokrasi sekuat saat kita menemukannya.”
Catatan Obama untuk Trump ini menunjukkan kepada dunia bahwa Obama terpilih secara demokratis dan keterpilihannya sebagai orang kulit hitam melambangkan kesempurnaan demokrasi Amerika. Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah Obama sangat menjunjung tinggi demokrasi.
Oleh karena itu, catatan untuk Trump itu sebenarnya juga catatan untuk para pemimpin di seluruh dunia yang terpilih secara demokratis, termasuk untuk Presiden Joko Widodo yang juga terpilih secara demokratis pada Pilpres 2014.
Baca juga: Pemilu 2024 dan Pendewasaan Demokrasi
Jokowi dan kesempurnaan demokrasi
Terpilihnya Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK) pada Pemilihan Presiden 9 Juli 2014 dilihat oleh banyak kalangan sebagai salah satu indikator demokrasi Indonesia semakin sehat dan sempurna. Ada dua faktor untuk mengatakan bahwa demokrasi kita makin sehat dan sempurna dengan terpilihnya Jokowi-JK pada saat itu.
Pertama, Jokowi adalah presiden pertama yang terpilih dari figur yang bukan ketua umum parpol atau elite parpol. Jokowi hanyalah kader biasa dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Sebelum Jokowi muncul, semua presiden Indonesia adalah pimpinan puncak dari partai politik yang mengusungnya dan dijadikan sebagai basis dukungan politiknya, terutama di parlemen (Sahide, 2020).
Oleh karena itu, dengan terpilihnya Jokowi sebagai orang nomor satu di republik ini, kita sudah mengikuti jejak kultur demokrasi Amerika di mana presiden tidak harus dari ketua umum partai politik. Oleh karena itu, terpilihnya Jokowi pada 2014 menghadirkan nuansa politik yang berbeda dan lebih sehat dalam iklim demokrasi Indonesia.
Dengan terpilihnya Jokowi sebagai orang nomor satu di republik ini, kita sudah mengikuti jejak kultur demokrasi Amerika di mana presiden tidak harus dari ketua umum partai politik.
Kedua, terpilihnya Jokowi-JK pada 2014 menjadi sejarah penting dalam dinamika politik Indonesia sejak meraih kemerdekaan pada 1945. Jokowi adalah presiden pertama yang memimpin negeri ini dari kalangan pinggiran yang dibahasakan oleh Fachri Ali (2014) sebagai ”kepemimpinan pascaelite”.
Jokowi membuka mata bagi kita semua bahwa demokrasi adalah jalan bagi semua orang dan siapa saja untuk menjadi pemimpin. Itulah substansi dari demokrasi itu sendiri, ruang bagi kedaulatan rakyat untuk menemukan orang-orang terbaik jadi pemimpin mereka.
Politik dinasti
Pada 2018, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menulis buku dengan judul How Democracies Die. Namun, wacana kematian demokrasi yang ditulis oleh Levitsky dan Ziblatt ini baru menjadi perbincangan hangat pada 2020. Buku ini sebenarnya lebih fokus melihat perkembangan demokrasi di Amerika pada era Donald Trump yang terpilih secara demokratis tetapi kemudian membonsai demokrasi itu sendiri.
Levitsky dan Ziblatt menuliskan bahwa setidaknya ada empat indikator kemerosotan Amerika pada era Trump atau indicators of authoritarian behavior, yaitu rejection of (or weak commitment to) democratic rules of the game (penolakan (atau lemahnya komitmen terhadap) aturan main demokrasi), denial of the legitimacy of political opponents (penolakan terhadap legitimasi lawan politik), toleration or encouragamement of violence (toleransi atau dorongan terhadap kekerasan), readiness to curtail civil liberties of opponents, including media (kesiapan untuk membatasi kebebasan sipil lawan politik, termasuk media).
Namun, kini jalan menuju terbangunnya politik dinasti semakin kencang dan dilakukan dengan melanggar aturan main demokrasi.
Bagaimana dengan Indonesia? Almarhum Prof Dr Azyumardi Azra sudah menulis artikel di harian Kompas pada 3 Desember 2020, ”Menghidupkan Demokrasi”, sebagai respons dari berkembangnya wacana kematian demokrasi tersebut. Dalam tulisannya, Azyumardi Azra mengatakan bahwa demokrasi Indonesia belum terjerumus dalam ”kematian”. Namun, Azyumardi Azra tidak menafikan adanya tanda terus surutnya kehidupan dan vitalitas demokrasi (Azra, 2020).
Dalam menyongsong Pemilihan Presiden 2024, bukan lagi surutnya kehidupan dan vitalitas demokrasi yang kita lihat, melainkan kita sedang menyaksikan terbangunnya dinasti politik. Sebenarnya wacana dinasti politik mulai terembus ke publik ketika Gibran Rakabuming Raka dan juga Bobby Nasution maju sebagai calon wali kota Solo dan Medan. Namun, pada saat itu, jalan menuju politik dinasti masih debatable karena masih berjalan sesuai dengan aturan main demokrasi (democratic rules of the game).
Namun, kini jalan menuju terbangunnya politik dinasti semakin kencang dan dilakukan dengan melanggar aturan main demokrasi yang dimulai ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa seorang yang belum berusia 40 tahun boleh mencalonkan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden dengan catatan pernah menjabat atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Publik menilai bahwa putusan MK ini sebenarnya hanya ditujukan untuk satu orang, yaitu Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo. Gibran sudah resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto, calon presiden.
Baca juga: Gibran dan Polemik Dinasti Politik
Fenomena ini mengingatkan kita akan catatan Obama bahwa seorang pemimpin yang terpilih secara demokratis dan akan segera mengakhiri kepemimpinannya semestinya meninggalkan instrumen demokrasi yang sehat sebagaimana saat dia mendapatkannya. Namun, yang terjadi pada era Presiden Jokowi adalah dia naik menjadi pemimpin puncak di republik ini dengan kesempurnaan demokrasi, tetapi diakhiri dengan membangun politik dinasti.
Ahmad Sahide, Ketua Prodi Hubungan Internasional Program Magister Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; Penggiat Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta