Sumpah 1928
Sumpah Pemuda 1928 bukan saja berwatak antikolonial, tetapi lebih tepat disebut pascakolonial.
”Kami poetera dan poeteri Indonesia…”, mengawali tiga butir ikrar Sumpah Pemuda 1928 (selanjutnya disingkat SP). Mengapa dipakai istilah ”kami”? Mengapa tidak ”kita”? Mengapa tidak ”aku” yang tampil gagah sebagai subyek dalam lagu kebangsaan? ”Indonesia, tanah airku. …Di sanalah aku berdiri”.
Ikrar SP tidak terjadi tiba-tiba atau sendirian. Ini satu butir mutiara dari serangkaian proses panjang kebangkitan solidaritas baru, yakni nasion. Siapa saja yang termasuk dalam golongan ”poetera dan poeteri Indonesia”? Apakah makna Indonesia dalam Sumpah 1928 itu sama dengan Indonesia yang kita kenal masa kini? Jika berbeda, apa bedanya?
Tanpa memahami konteks sejarahnya, relevansi SP bagi kehidupan mutakhir sulit dipahami, apalagi dihargai. Sayang, pemahaman kesejarahan sangat langka. Yang kini lazim di mana-mana adalah propaganda penguasa tentang masa lampau yang disajikan seakan-akan semua itu sejarah.
Yang bersuara dalam SP menyebut diri ”kami”. Jadi, ”kami” itu bicara pada siapa? Pihak mana saja yang disapa SP dan bukan bagian dari ”kami”? Pemerintah kolonial jelas sasaran pertama dan utama SP. Tapi, mereka bukan satu-satunya. SP juga tertuju pada sesama kaum terjajah. Ketika SP diikrarkan, Indonesia baru hadir dalam angan-angan. Itu pun angan-angan samar di benak sebagian kecil dari kaum terpelajar.
SP dicetuskan dalam Kongres Pemuda Indonesia yang kedua. Mayoritas peserta mewakili berbagai kelompok berbasis etnis atau agama, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahassa, Jong Bataks, dan Jong Islamieten Bond. Belum semua fasih berbahasa Melayu. Tapi mereka sepakat memilih istilah Indonesia, menggantikan istilah Belanda Jong (kaum muda) untuk menegaskan identitas ”kami” yang sangat baru. Bukan lagi sekadar ”poetera dan poeteri” Jawa, Sumatera, atau Batak. Pada masanya, ini merupakan sikap radikal.
SP bukan saja berwatak antikolonial, tetapi lebih tepat disebut pascakolonial. Peserta kongres merupakan sebagian dari generasi awal kaum terjajah yang berkenalan dengan dunia moderen hasil pendidikan kolonial.
SP bukan saja berwatak antikolonial, tetapi lebih tepat disebut pascakolonial. Peserta kongres merupakan sebagian dari generasi awal kaum terjajah yang berkenalan dengan dunia modern hasil pendidikan kolonial. Fasih berbahasa Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman, mereka melahap buku-buku pemikiran besar di garda terdepan gelombang modernitas pada awal abad ke-20. Mereka diuntungkan ketimpangan kolonial sekaligus bertekad mengakhiri ketimpangan itu.
Wajar jika gebrakan SP sulit dipahami khalayak awam di tanah jajahan pada awal abad ke-20. Celakanya, masyarakat mutakhir pada awal abad ke-21 ini tampaknya tidak lebih siap memahami dan menghargai semangat SP. Arus utama kesadaran publik masa kini seakan-akan tidak beranjak jauh dari arus utama kesadaran kolonial abad lalu.
Karena miskin kesadaran sejarah, bisa dimaklumi banyak orang masa kini menilai SP tak lebih dari peristiwa lama yang kian basi. Tidak lagi dirasakan bermakna bagi pergulatan hidup sehari-hari. Belanda sudah kabur. Republik Indonesia sudah berdaulat penuh. Bahasa Indonesia sudah dijunjung tinggi di ruang publik.
Baca juga: Bendera
Indonesia yang dicita-citakan sebagian besar kaum terpelajar modern progresif di awal abad ke-20 adalah Indonesia yang modern dan beradab. Indonesia sebagai tanah air bagi warga yang majemuk dan menikmati status setara walau berbeda kiblat ideologi, jender, agama, atau warna kulit. Wajar jika visi utopis demikian jauh dari jangkauan pemikiran khalayak umum awal abad lalu yang dikuasai budaya keraton lokal dan rasisme kolonial Eropa. Bagaimana kini?
Sudah hampir 100 tahun SP diikrarkan. Indonesia yang dicita-citakan ”poetera dan poeteri Indonesia” tahun 1928 ternyata belum terwujud sepenuhnya. Proses dekolonisasi terhambat. Bukan saja Papua masih bergolak entah sampai kapan. Di sebagian besar wilayah RI, intoleransi pada perbedaan ideologi, jender, agama, atau warna kulit sangat memprihatinkan.
Dari masa ke masa, ada kelompok yang merasa lebih atau paling Indonesia daripada saudara sebangsa, lalu menuntut hak istimewa.
Dari masa ke masa, ada kelompok yang merasa lebih atau paling Indonesia daripada saudara sebangsa, lalu menuntut hak istimewa. Busana batik dan kebaya dikampanyekan lebih Indonesia untuk mengejek ragam busana yang lebih bercorak Timur Tengah. Semboyan Islam Nusantara disponsori pejabat tinggi negara terkesan merendahkan sebagian pemeluk agama Islam yang dituduh kearab-araban. Kegiatan ibadah agama oleh satu komunitas dengan mudah ditolak atau dibubarkan komunitas lain. Semua itu jelas melukai cita-cita SP.
Dinasti keraton surut, kini berjangkit politik dinasti republik. Putra-putri Indonesia bukannya membuka wawasan politik baru. Politisi muda condong memilih jalan pintas, berebut posisi dalam struktur politik dan bisnis mapan yang dikuasai kaum tua.
RI sudah merdeka dari Belanda. Tapi, kemerdekaan berpendapat dan berserikat tidak merata. Mengkritik penguasa terancam pidana. Negara menyangkal hak-hak sipil sebagian warga. Komunisme, marxisme, dan berbagai pemikiran kiri lain berada di garis terdepan gerakan antikolonial sejak awal. Kini, malah dilarang atau dimusuhi. Dalihnya, pernah ada orang komunis terlibat pemberontakan.
Baca juga: Ujar kebencian
Jika benar ada orang komunis ikut pemberontakan, mengapa bukan pelakunya saja yang diadili? Mengapa ideologi mereka dilarang? Yang pernah berontak bukan cuma orang Komunis. Ada yang Muslim, ada yang Kristen. Tetapi, Islam dan Kristen tidak dilarang. Tak sedikit tentara yang pernah ikut pemberontakan. Mengapa militer tidak dilarang?
Setiap tanggal 28 Oktober, SP dirayakan. Tiga ikrarnya dibacakan dalam upacara. Tetapi, sepanjang tahun, praktik bernegara dan bermasyarakat bertolak belakang dari semangat SP. Masa lalu tidak seluruhnya dilupakan, tetapi dipilih sepotong-sepotong dan dimanipulasi. Praktik demikian tidak hanya menimpa SP.
Sejarah perjuangan kemerdekaan RI punya banyak tokoh hebat. Tetapi, hanya sosok Soekarno yang dibajak habis-habisan dalam setiap kampanye pemilu. Gambar Soekarno, kemeja putihnya, gaya pidato, model mikrofon untuk pidato, bahkan mobil dinasnya dijiplak dan dimanipulasi. Politik Soekarno yang jelas-jelas kiri diabaikan total, bahkan di saat pidato Soekarno dikutip berbusa-busa: ”jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”.
Banjir slogan dan propanda menggusur kesadaran, kejujuran, dan keadilan pada sejarah.
Ariel Heryanto, Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia