Keberadaan PGRI bisa menjadi yurisprudensi bahwa serikat di luar Korpri bagi PNS adalah mungkin dan bisa diwujudkan.
Oleh
HERDIANSYAH HAMZAH
·4 menit baca
Bolehkan aparatur sipil negara, khususnya pegawai negeri sipil atau PNS berserikat? Pertanyaan ini tidak pernah berhenti terlontar, terutama bagi para PNS.
Keberadaan serikat memang kian dibutuhkan seiring dengan kian beragamnya persoalan yang dihadapi PNS, terutama menyangkut kesejahteraan. Dan kehendak bebas seseorang untuk berserikat tidak bisa dibatasi dengan alasan apa pun. Semakin dibatasi, maka ekspresi kecewa terhadap negara akan semakin deras dan meluas. Pemerintah yang bertindak atas nama negara akan terus diburu seperti kutukan karena dianggap menghalangi-halangi hak PNS untuk berserikat sebagaimana mandat konstitusi.
Terakhir, pendaftaran Serikat Pekerja Kampus (SPK), sebuah serikat yang menghimpun para dosen, asisten dosen, peneliti, tenaga kependidikan, pustakawan, dan semua yang memiliki relasi kerja di kampus, urung dicatatkan oleh Suku Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Kota Administrasi Jakarta Pusat. Alasannya, konon karena sebagian anggotanya berstatus sebagai PNS.
Menurut sebagian kalangan, termasuk pemerintah sebagai focal point, PNS seharusnya dinaungi melalui wadah korps profesi aparatur sipil negara (ASN) atau yang selama ini kita kenal sebagai Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Pasal 44 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU Serikat Buruh) memang menegaskan jika PNS juga memiliki hak dan kebebasan berserikat, tetapi pelaksanaannya diatur dengan undang-undang tersendiri.
Saat ini, undang-undang yang mengatur khusus mengenai ASN adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN (UU ASN). Dalam ketentuan Pasal 126 Ayat (1) UU ASN tersebut diatur bahwa pegawai ASN berhimpun melalui korps profesi pegawai ASN, atau yang akrab disebut Korpri.
Namun, hingga kini, perintah pengaturan lebih lanjut mengenai korps profesi pegawai ASN ini belum juga dibuat oleh pemerintah pasca-UU ASN diundangkan. Dasar inilah yang seringkali digunakan untuk mengambil kesimpulan bahwa PNS harus terhimpun melalui wadah tunggal yang bernama Korpri.
Wadah tunggal
Jika mengacu kepada Anggaran Dasar Korpri yang merupakan lampiran tidak terpisahkan dari Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Pengesahan Anggaran Dasar Korpri (Keppres Anggaran Dasar Korpri), Korpri disebut secara eksplisit sebagai satu-satunya wadah untuk menghimpun seluruh pegawai Republik Indonesia yang meliputi PNS, pegawai BUMN dan BUMD, BHMN dan/atau BHP, Lembaga Penyiaran Publik pusat dan daerah, badan layanan umum pusat dan daerah, serta badan otorita/kawasan ekonomi khusus yang kedudukan dan kegiatannya tidak terpisahkan dari kedinasan.
Frasa social engineering satu-satunya wadah dalam ketentuan a quo jelas merupakan bentuk pembatasan terhadap kebebasan berserikat bagi PNS. Hal ini merujuk kepada beberapa alasan, antara lain: pertama, wadah tunggal ini bertentangan dengan konstitusi.
Dalam ketentuan Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 disebutkan secara tegas bahwa ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Oleh karena itu, pemaksaan wadah tunggal bagi PNS melalui Korpri, terlebih jika secara hierarki hanya diatur melalui undang-undang, keppres, dan anggaran dasar organisasi, jelas adalah bentuk penghinaan terhadap konstitusi.
Seorang PNS juga harus diberikan ruang yang sama secara demokratis untuk memilih sendiri serikatnya, sebagai bentuk kehendak bebasnya.
Kedua, wadah tunggal ini bertentangan dengan prinsip pokok dalam berserikat yang seharusnya bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab (lihat Pasal 1 angka 1 UU Serikat Buruh). Sebab, seorang PNS juga harus diberikan ruang yang sama secara demokratis untuk memilih sendiri serikatnya, sebagai bentuk kehendak bebasnya. Dengan demikian, wadah tunggal Kopri ini adalah bentuk nyata perampasan hak berserikat bagi PNS.
Ketiga, wadah tunggal ini cenderung dijadikan sebagai alat kontrol kekuasaan terhadap PNS. Hal ini membangkitkan memori kolektif kita terhadap wadah tunggal serikat buruh di masa Orde Baru dulu.
Keempat, wadah tunggal ini tidak sesuai dengan semangat reformasi yang telah menghadirkan iklim kebebasan berserikat. Padahal, Keppres Anggaran Dasar Korpri mengakui adanya relasi mutlak antara PNS dan aspek ketenagakerjaan. Konsideran mengingat keppres ini, menyebut secara eksplisit UU Serikat Buruh dan UU Ketenagakerjaan sebagai dasar penerbitan kepres tersebut.
Kelima, wadah tunggal ini tidak berkesesuaian dengan tujuan serikat yang sesungguhnya. Sebab, Korpri tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai sebuah serikat. Oleh karena itu, kehadiran serikat di luar Korpri adalah keniscayaan.
Ahistoris
Siapa pun yang mengharamkan PNS berserikat pertanda cara pandangnya berlawanan dengan sejarah (ahistoris). Lupa dengan perjalanan sejarah bangsa ini. Salah satunya yang dikisahkan oleh John Ingelson dalam buku Buruh, Serikat, dan Politik: Indonesia pada 1920an-1930an. Menurut Ingelson, guru termasuk kelompok orang Indonesia yang pertama kali membentuk serikat.
Secara umum, pasca-1926, serikat-serikat buruh sektor publik mendominasi gerakan buruh di masa itu. Tiga pengorganisiran sektor publik terbesar saat itu adalah Jawatan Kereta Api, Jawatan Pos, dan Departemen Pendidikan. Sebagian besar buruh-buruh sektor publik tersebut memiliki tingkat upah yang rendah, ketidakpastian kerja, tanpa tunjangan dan dukungan dana pensiun serta liburan. Dan pada 1930-an, lebih dari 40.000 orang Indonesia bekerja sebagai guru sekolah negeri, yang sebagian besarnya merupakan guru desa atau asisten guru dengan upah rendah.
Oleh karena itu, membatasi kebebasan PNS untuk berserikat di luar Korpri sama saja dengan mengabaikan sejarah bahwa pelopor menjamurnya serikat buruh di Indonesia justru berasal dari para pendidik. Fakta ini tidak bisa kita hapus dari lembar dan lipatan sejarah bangsa kita.
Secara historis, kita juga bisa belajar dari pengalaman guru-guru PNS yang membangun serikatnya sendiri di luar Korpri. Pengalaman ini ditunjukkan oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), yang mayoritas anggotaanya berstatus PNS. Pengurus PGRI mendaftarkan PGRI sebagai Organisasi Serikat Pekerja di Departemen Tenaga Kerja, dan memperoleh SK pencatatan Nomor Kep 370/M/BW/1999 pada 10 Agustus 1999. Bahkan, di dalam ketentuan Pasal 3 AD/ART PGRI menegaskan jati dirinya yang tidak sekadar organisasi profesi, tetapi juga sekaligus organisasi perjuangan dan organisasi ketenagakerjaan. PGRI mengajarkan kepada kita semua bagaimana serikat itu harus dibangun secara mandiri dan bebas dari intervensi kekuasaan.
Cerita PGRI ini tidak hanya sebatas dijadikan sebagai pengalaman semata, tetapi juga sekaligus sebagai yurisprudensi bahwa serikat di luar Korpri adalah mungkin dan bisa kita wujudkan bersama. Tinggal ”menunggu” sikap pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan untuk memastikan dan menjamin hak berserikat bagi PNS sebagaimana mandat konstitusi itu, dipenuhi dengan baik dan sungguh-sungguh!