Jurnalisme dan Kecerdasan Buatan
Penggunaan AI dalam karya jurnalistik sangat terbuka. Perlu kejujuran ke pembaca jika karya jurnalistik menggunakan AI.
Sudah hampir setahun sejak kemunculan ChatGPT yang diproduksi oleh OpenAI, dan sepanjang waktu itu pun sudah ada banyak kreasi baru kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang memperbaiki, melampaui, atau bahkan mengutak-atik ChatGPT. Ada banyak produk lain yang juga bermunculan dengan teknologi yang makin mencengangkan.
Perlukah dunia media dan jurnalistik ‘panik’ melihat perkembangan ini? Atau sekarang sudah semakin banyak yang bisa mengoperasikan AI tersebut dan mengambil manfaat dari sana. Tulisan kecil ini mau sedikit memetakan terkait dengan beberapa isu yang melingkupi masalah jurnalisme dan AI, yaitu:
Pertama, kejujuran akan penggunaan AI dalam karya jurnalistik. Jack Sheafer, kolumnis di Politico mengatakan, jurnalisme hadir bukan untuk memberikan reporter dan editor gaji mereka, tetapi jurnalisme hadir untuk melayani pembaca. Jika AI membantu ruang redaksi untuk melayani pembaca menjadi lebih baik, maka kita perlu menyambut kehadirannya (Mathew Ingram, “Is AI software a partner for journalism, or a disaster?” February 9, 2023, Columbia Journalism Review).
Betapa pun hasil dari AI masih penuh dengan catatan karena sangat tergantung dari input yang dimasukkan oleh programmer pada program tersebut, hasil kerja jurnalistik saya kira terbantu dengan adanya AI tersebut. Bukan mustahil tulisan hasil kreasi AI ini bisa mengandung kesalahan juga – seperti juga ditulis dalam artikel Columbia Journalism Review di atas – bahwa mesin memakan huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat, dan lalu memformulasikan ulang untuk menghasilkan tulisan baru.
Lalu, apakah mesin tersebut akan akurat dalam data, masuk akal dalam penyajian kalimat dan pula susunan paragrafnya? Nada seperti apa yang dihasilkan dari tulisan ini? Datar, memukau, menggugah pembaca?
Baca juga: Jurnalisme dalam Bayang-bayang Kecerdasan Buatan
Kedua, peningkatan kualitas jurnalistik? Buat saya yang terpenting adalah apakah AI ini memberikan tambahan atas kualitas jurnalistik? Betulkah ia memberikan nilai lebih untuk pembaca atas sajian dengan intervensi mesin model baru ini?
Dari jurnalisme data kita belajar bahwa ada sejumlah alat (tools) yang memungkinkan untuk pengumpulan data dan perapian data yang terserak dimungkinkan, sehingga menjadikannya suatu cerita yang bermanfaat buat publik. Nah terkait AI, apakah kelebihannya terkait memproduksi karya jurnalistik berkualitas? Apakah ada? Ataukah dia akan menghasilkan karya jurnalistik yang sama seperti sebelumnya.
Ambil contoh, Narasi TV pada Oktober 2020 menunjukkan dari kompilasi video serta posting-an media sosial untuk menggambarkan bagaimana sekelompok orang membakar halte Trans Jakarta Sarinah di Jakarta Pusat.
Karya tersebut memberikan informasi kepada pembaca/penonton tentang apa yang sesungguhnya terjadi dan siapa yang pelaku pembakaran tersebut. Pada waktu itu AI mungkin belum sangat berkembang, tetapi pemeriksaan dan kompilasi yang dilakukan tim redaksi Narasi telah menghasilkan ‘informasi baru’ terkait pelaku pembakaran dan bagaimana pembakaran itu dilakukan. Dengan materi yang sama dengan teknologi AI mungkin saja akan dihasilkan cerita yang lain lagi.
Kembali pertanyaannya adalah: apakah AI akan memberikan kualitas jurnalistik yang lebih baik untuk karya jurnalistik yang sudah ada saat ini?
Ketiga, teknologi yang berkembang sedemikian cepat. Pelaku dalam industri media hari ini, pengamat, atau pengajar seperti saya mencoba mengikuti perkembangan teknologi saat ini walau tak sepenuhnya berhasil. Kemunculan platform baru, kemunculan teknologi baru, dan berbagai implikasinya memaksa banyak pihak untuk mengikuti perkembangannya.
Pelaku industri butuh waktu mempelajari dan memeriksa seberapa mungkin teknologi baru diterapkan pada keseharian industri. Perlu ada investasi pada teknologi baru, meminta sejumlah orang mempelajarinya. Sementara itu pengamat pun harus melihat perkembangan baru ini, mengetahui esensi teknologi tadi dan melihat apakah masalah yang bisa muncul dari perkembangan teknologi baru ini.
Sedikit kembali kepada pemikir Karl Marx. Bagi Karl Marx, teknologi adalah bagian dari alat produksi yang bisa membuat manusia teralienasi dari pekerjaan yang telah dilakukan ini. Pertanyaannya, apakah teknologi baru ini akan semakin mengurangi jumlah manusia yang akan terlibat dalam produksi, dan jika ini yang terjadi, maka teknologi baru akan menjadi musuh bagi manusia sebagai pekerja (Amy E Wendling, Karl Marx on Technology and Alienation, 2009).
Pelaku dalam industri media hari ini, pengamat, atau pengajar seperti saya mencoba mengikuti perkembangan teknologi saat ini walau tak sepenuhnya berhasil.
Dalam diskusi seperti ini kita kembali akan menyentuh isu yang terkait soal technological determinism versus social shaping of technology: apakah hidup kita itu akan ditentukan oleh teknologi atau sebaliknya kita bisa memilih teknologi apa yang hendak berkembang dan hendak kita gunakan.
Cory Bergman, salah satu pendiri Factal, dalam laman Nieman Lab menyebutkan bahwa ChatGPT sebagai salah satu contoh dari produk AI, tidak akan menggantikan jurnalis sungguhan ataupun analisis yang dihasilkan jurnalis atau para pakar. Menurut dia, ChatGPT itu ”menghalusinasi kesalahan” dan lebih tepat kalau menjadikan ChatGPT ini sebagai asisten peneliti. Jika ChatGPT diberi masukan berupa hasil wawancara yang panjang, mesin ini akan membantu meringkaskan hasil wawancara dalam bentuk sejumlah poin yang mempermudah kerja jurnalis.
Sementara, karya jurnalis ala ChatGPT tidak akan memenangi penghargaan jurnalistik apa pun. Bergman juga mengatakan memiliki dua masalah besar: masalah hak cipta dan masalah plagiarisme, serta masalah yang terkait dengan propaganda dan disinformasi (niemanlab.org/2022).
Keempat, masalah hak kekayaan intelektual (intellectual property rights). Masalah ini tak kurang krusialnya, terutama terkait dengan produk jurnalistik. Andres Guadamuz, Senior Lecturer dalam hukum kekayaan intelektual di University of Sussex, Inggris mengatakan bahwa keberadaan mesin itu bukan sebagai penjajah, tetapi mereka juga adalah kreator (pencipta karya). (wipo_magazine/en/2017)
Tulisan ini menarik karena dengan keberadaan AI, pertanyaannya: apakah karya AI bisa diberikan label kekayaan intelektual? Kalau pun iya, siapa yang berhak mendapatkannya: programmer komputer yang membuat program tersebut? Atau orang yang menggunakannya?
Tulisan ini menarik untuk membawa kita pada pemikiran dasar lagi. Dalam sejumlah undang-undang di negara seperti di Amerika, Australia, Jerman, dan Spanyol dengan jelas mengatakan bahwa undang-undang hak cipta hanya mengakui hak cipta dari ciptaan manusia. Jadi artinya ciptaan mesin tak bisa dijadikan karya yang memiliki hak cipta.
Baca juga: Jurnalistik Tetap Memiliki Peluang di Zaman Serba AI
Namun yang juga menarik adalah jika ide memberikan hak cipta itu kepada orang yang menjadi pengguna dari suatu teknologi. Misalnya saya menulis tulisan ini dengan menggunakan program Microsoft Word, tetapi hasil tulisan ini bukanlah milik Microsoft, tetapi saya sebagai penulisnya. Penulis artikel ini juga mengakui bahwa dalam masa depan yang sebentar lagi terjadi, ada kemungkinan watak dari mesin yang diciptakan akan menjadi makin mirip dengan kerja manusia, dan jika hal itu terjadi lalu bagaimana memberikan pengakuan atas hak ciptanya? Sungguh tidak mudah.
Kelima, Mendefinisikan kembali jurnalisme? Apakah akan ada pendefinisian baru atas kegiatan jurnalistik, mereka yang mengerjakannya serta produk yang dihasilkannya, pun terkait bagaimana hal ini didistribusikan?
Entah sudah berapa kali jurnalisme kembali didefinisikan dalam sejarah panjangnya. Ketika media baru muncul, orang seperti Terry Flew, Martin Liester, dan kawan-kawan yang menulis buku soal New Media, sudah menyebutkan berbagai hal yang berubah dari jurnalisme, tentang siapa yang menjadi aktor utama dalam kerja jurnalistik hari ini (masih jurnalis? Jurnalis warga? Orang biasa yang memiliki media sosial?).
Persoalan berikut adalah bagaimana jurnalisme diproduksi (dilaporkan, diedit, dan disebarkan; ataukah dilaporkan dan langsung disebarkan – bagaimana dengan soal kelengkapan berita? 5W 1H, atau dengan 3 W saja sudah cukup untuk disebarluaskan?). Apakah kita masih bisa mengatakan bahwa berita adalah ketika 5W 1H itu sudah lengkap? Bagaimana jika baru ditemukan 3,4 W saja, dan selebihnya akan menyusul dalam “follow up news” atau “news cycle” berikutnya?
Semakin berkualitas
Menurut saya perlu ada kejujuran kepada pembaca jika ada artikel tertentu, foto tertentu, grafis tertentu itu menggunakan AI. Kita tentu berharap bahwa penggunaan AI dalam jurnalistik ini memberikan tambahan kualitas bagi karya jurnalistik, bukan malah sebaliknya.
Terkait dengan kemajuan teknologi yang sedemikian cepat, ada baiknya media yang ada memiliki semacam laboratorium yang akan memeriksa kemampuan suatu teknologi baru dan sekaligus seberapa relevan teknologi baru ini untuk kepentingan jurnalistik. Tak semua teknologi baru ini sejalan dengan perkembangan jurnalistik. Masalah HKI merupakan bahasan yang tak kalah pelik, yang juga menuntut pemahaman baru untuk kita bersama.
Ignatius Haryanto, Dosen Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara; Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia