Diversifikasi Pangan Pengganti Beras
Upaya mengurangi konsumsi beras dan menggantinya dengan sumber karbohidrat lain sebuah strategi yang hampir terlupakan.
Langkah-langkah untuk mencapai swasembada beras berkelanjutan sejatinya melibatkan banyak aspek. Hal itu perlu dipahami lebih dari sekadar upaya meningkatkan produktivitas dan luas lahan pertanian padi.
Upaya mengurangi konsumsi beras dan menggantinya dengan sumber karbohidrat lain adalah sebuah strategi yang hampir terlupakan. Strategi ini memungkinkan pasokan beras yang tersedia dapat mencukupi kebutuhan masyarakat, tanpa perlu solusi impor.
Hal itu mengindikasikan, perubahan perilaku konsumsi atau sisi permintaan akan berperan penting dalam mencapai swasembada beras berkelanjutan. Jika kita telaah secara cermat, kita akan menemukan bahwa dominasi beras dalam pola makan masyarakat Indonesia terjadi akibat kebijakan afirmatif negara.
Pada 1954, beras berkontribusi sebesar 53,5 persen dari beragam sumber karbohidrat lokal dalam menu makanan nasional. Adapun sumber karbohidrat lain ketika itu adalah ubi kayu (22,6 persen), jagung (18,9 persen), dan kentang (4,99 persen).
Pada 1987, kontribusi beras meningkat menjadi 81,1 persen dari total sumber karbohidrat. Adapun porsi sumber lain, seperti ubi kayu, menurun menjadi 10,02 persen dan kontribusi jagung turun menjadi 7,82 persen.
Saat ini sumber karbohidrat lokal selain beras hampir tidak ada dalam pola makanan masyarakat Indonesia. Hal itu ditemukan, antara lain, dalam penelitian Hafizah (2021). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa beras mendominasi konsumsi masyarakat Indonesia hingga mencapai 97,27 persen.
Jika kita telaah secara cermat, kita akan menemukan bahwa dominasi beras dalam pola makan masyarakat Indonesia terjadi akibat kebijakan afirmatif negara.
Dominasi beras dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia sesungguhnya tidak lepas dari kebijakan negara yang menyebabkan beras menjadi sangat dominan sebagai sumber karbohidrat masyarakat.
Pertama, dari sisi produksi, subsidi dan proteksi terhadap produksi beras telah dilakukan secara masif sejak awal Orde Baru sampai sekarang. Pembangunan irigasi, mekanisasi, bantuan benih pupuk, dan dukungan intensifikasi lainnya dilakukan, terutama untuk meningkatkan produksi beras. Dampak dari proteksi dan subsidi terhadap produksi gabah/beras yang masif tersebut menyebabkan biaya produksinya menjadi lebih murah.
Ditambah lagi dengan kebijakan proteksi pasar melalui harga dasar (Orde Baru) dan harga pembelian pemerintah (era reformasi) menjadikan produksi beras unggul secara artifisial dibandingkan dengan produksi komoditas pangan sumber karbohidrat non-beras lainnya.
Inilah kemudian yang menyebabkan hilangnya keunggulan komparatif komoditas pangan lokal sumber karbohidrat non-beras. Petani lebih suka menanam padi dibanding komoditas pertanian sumber karbohidrat lainnya.
Kedua, ”beras-isasi” di sisi konsumsi. Beras adalah komoditas pangan yang sangat dijaga kestabilan harganya oleh pemerintah sejak zaman Orba sampai sekarang. Bahkan, untuk melanggengkan akses beras murah ini, impor beras dilakukan jika produksi dalam negeri dinilai tidak mampu mendukung tingkat harga beras yang murah tersebut.
Akses pasar beras ke beragam lapisan masyarakat dibantu oleh negara. Hal ini, antara lain, dilakukan melalui subsidi natura dalam bentuk bantuan beras kepada PNS, TNI, dan Polri di era Orba. Selain itu, bantuan sosial pangan kepada rumah tangga miskin juga diberikan dalam bentuk beras.
Dampaknya terjadi pergeseran konsumsi masyarakat secara masif. Sebagian besar rakyat kita yang sebelumnya familier secara sosial budaya dengan komoditas non-beras beralih mengonsumsi beras.
”Beras-isasi” dari sisi konsumsi inilah yang menyebabkan masyarakat Madura meninggalkan jagung, warga Papua meninggalkan umbi-umbian, dan warga kawasan timur Indonesia meninggalkan sagu. Beras jadi sangat murah dan lebih mudah diakses dibanding komoditas-komoditas pangan non-beras.
Upaya substitusi beras dengan komoditas pangan karbohidrat lainnya harus dilakukan dengan cara yang sama. Untuk membuat komoditas pangan non-beras menggeser dominansi beras, tidak bisa dengan imbauan, persuasi, atau kegiatan-kegiatan seremonial seperti one day no rice dan gerakan makan tanpa nasi .
”Beras-isasi” dari sisi konsumsi inilah yang menyebabkan masyarakat Madura meninggalkan jagung, warga Papua meninggalkan umbi-umbian, dan warga kawasan timur Indonesia meninggalkan sagu.
Kebijakan afirmatif
Melalui penggambaran bagaimana beras menjadi komoditas dominan dalam konsumsi karbohidrat masyarakat Indonesia di atas, saya ingin mengatakan, jika kita bermaksud menggantikan peran beras atau setidaknya menekan jumlah konsumsi beras 5-10 persen, harus ada kebijakan afirmatif untuk komoditas pangan yang ditargetkan menjadi substitusi beras.
Beberapa catatan penting perlu digarisbawahi untuk menekan konsumsi beras nasional tersebut. Langkah pertama adalah memastikan ada komoditas pangan yang diprioritaskan untuk dikenakan kebijakan afirmatif negara demi menggeser konsumsi beras.
Saya menyarankan komoditas ini adalah sagu. Sagu hidup pada ekosistem berbeda dengan komoditas pangan penting Indonesia lainnya, seperti jagung dan padi. Pengembangan sagu tidak berimplikasi mengurangi lahan pangan penting lain karena spesifikasi lahan untuk sagu berbeda dengan spesifikasi lahan beras dan jagung.
Sagu tumbuh baik di lahan-lahan gambut atau rawa-rawa. Oleh karena itu, cocok untuk restorasi lahan gambut dan rawa. Dengan demikian, meningkatnya luas lahan sagu diharapkan tidak berimplikasi menurunkan lahan pangan penting lainnya akibat konversi lahan-lahan tersebut ke lahan sagu.
Tanaman sagu juga lebih ramah lingkungan dibanding kelapa sawit. Profitabilitasnya tinggi karena industri sagu olahan sudah berkembang baik di Indonesia (Yuwati et al., 2021).
Saya menyarankan komoditas ini adalah sagu. Sagu hidup pada ekosistem berbeda dengan komoditas pangan penting Indonesia lainnya, seperti jagung dan padi.
Langkah berikutnya, menghadirkan kebijakan afirmatif negara agar sagu bisa mengganti sebagian konsumsi beras. Hal itu dapat dilakukan, pertama, melalui dorongan agar petani sagu dapat meningkatkan produksi. Langkah ini mewujud, antara lain, dengan pembangunan drainase, mekanisasi, bantuan benih pupuk, dan dukungan intensifikasi lain.
Kedua, kebijakan proteksi pasar melalui harga dasar atau harga pembelian pemerintah. Ketiga, untuk menggeser konsumsi beras ke sagu, pemerintah perlu memberikan akses pasar melalui subsidi natura dan bantuan sosial pangan kepada rumah tangga miskin dalam bentuk sagu.
Agar harga sagu murah dan lebih rendah dari harga internasional, tarif impor sagu pun dikenakan rendah. Semua itu dilakukan untuk menghadirkan sagu dengan harga yang murah di tingkat konsumen dan memacu perkembangan industri makanan berbasis sagu karena bahan bakunya murah di dalam negeri.
Tiga kebijakan itu bisa dievaluasi ulang ketika masyarakat sudah terbiasa mengonsumsi sagu dan mengurangi konsumsi beras.
Baca juga : Beragam Jenis Pangan Lokal Menjadi Solusi Defisit Beras Nasional
Andi Irawan Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Bengkulu