Bias Jender Pendapatan
Pendapatan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan pekerja juga rentan mengalami risiko di pasar kerja.
Selama lebih dari dua abad, menurut riset peraih Nobel Ekonomi 2023, Claudia Goldin, diskriminasi terus terjadi terhadap perempuan. Hal ini antara lain termanifestasi dari pendapatan perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki.
Dalam konteks sama, World Economic Forum (WEF) 2019 menyebutkan bahwa untuk setiap 1 dollar AS pendapatan yang diterima laki-laki, perempuan hanya menerima 54 sen dollar AS. Lebih jauh, WEF memperkirakan, diperlukan 202 tahun untuk mencapai kesetaraan pendapatan antara perempuan dan laki-laki. Memprihatinkan.
Secara kuantitatif, besaran perbedaan pendapatan itu juga bisa dicermati berdasarkan proksi kemampuan daya beli (purchasing power parities/PPP) perempuan yang jauh lebih rendah. Laporan pembangunan manusia 2020-2021, misalnya, menyebutkan bahwa pada tataran global pendapatan perempuan berdasarkan kriteria PPP 2017 tercatat 12.241 dollar AS, sedangkan untuk laki-laki 21.210 dollar AS.
Secara faktual, bias jender pendapatan terjadi hampir secara universal. Dalam konteks ini, barangkali ada baiknya untuk memitigasi bias jender pendapatan di Tanah Air.
Baca juga: Pendapatan Tenaga Kerja Perempuan Hanya 24,8 Persen dari Angka Nasional
Bias pasar kerja
Ditengarai, terjadinya bias jender dalam pendapatan itu tidak dapat dilepaskan dari bias pasar kerja (labor market). Kesempatan perempuan memperoleh pekerjaan jauh lebih rendah daripada laki-laki, termanifestasi dari angka tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK). Di Tanah Air berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2023, misalnya, TPAK perempuan 54,42, sedangkan laki-laki 83,98.
Selain kesempatan kerja terbatas, perempuan juga bekerja pada bidang yang kurang memberikan insentif pendapatan tinggi, terekam dari lapangan, jenis, dan status pekerjaan. Dari sisi lapangan pekerjaan, mayoritas perempuan bekerja di pertanian, perdagangan, dan industri pengolahan. Tercatat, 66,76 persen perempuan bekerja pada ketiga sektor itu (pertanian, perdagangan, dan industri pengolahan). Perempuan pekerja tampaknya kurang mampu menembus sektor lainnya yang memberikan insentif tinggi, seperti keuangan, real estat, dan jasa.
Sementara dari sisi jenis pekerjaan, perempuan pekerja mayoritas (52,69 persen) sebagai tenaga usaha penjualan dan tenaga usaha pertanian. Umumnya, perempuan pekerja pada golongan kerah biru (blue collar), sedangkan laki-laki pada golongan kerah putih (white collar), seperti tenaga kepemimpinan dan tenaga profesional.
Selanjutnya, menurut status pekerjaan, perempuan pekerja umumnya bekerja di sektor informal (64,43 persen) atau lebih tinggi daripada laki-laki (56,08 persen). Perempuan pekerja informal di Tanah Air mayoritas bekerja dengan berusaha sendiri, pekerja keluarga tidak dibayar, pekerja bebas non-pertanian, dan pekerja bebas di pertanian.
Rendahnya pendapatan perempuan pekerja di Tanah Air antara lain dapat dicermati dari laporan UNDP (2020-2021) berdasarkan proksi kemampuan daya beli (purchasing power parity). Dilaporkan bahwa kemampuan daya beli perempuan 7.906 dollar AS, sedangkan laki-laki 14.976 dollar AS.
Perempuan pekerja juga rentan mengalami risiko dalam pasar kerja akibat bencana dan situasi ekonomi memburuk.
Selain pendapatan lebih rendah daripada laki-laki, perempuan pekerja juga rentan mengalami risiko dalam pasar kerja akibat bencana dan situasi ekonomi memburuk. Berdasarkan publikasi WEF (September 2020), misalnya, disebutkan bahwa perempuan pekerja menghadapi risiko 19 persen lebih tinggi daripada laki-laki dalam pasar kerja. Adapun risiko dalam pasar kerja itu antara lain berupa keluar dari pasar kerja, pengurangan jam kerja, menerima upah yang lebih rendah, dan menjadi pekerja tidak dibayar.
Faktor kapabilitas
Ditengarai, salah satu faktor penyebab perempuan pekerja kurang beruntung dalam meraih posisi setara dengan laki-laki dalam pasar kerja ialah akibat faktor kapabilitas perempuan yang rendah. Dua aspek penting dalam menentukan kapabilitas, yakni pendidikan dan kesehatan.
Dari sisi pendidikan, hal itu tecermin dari rata-rata lama sekolah (mean years of schooling/MYS) perempuan yang lebih rendah (7,8 tahun) dibandingkan dengan MYS laki-laki (8,6 tahun) (PBB, 2020). Diperkirakan, rendahnya MYS perempuan merupakan akumulasi dari masa sebelumnya di mana perempuan tidak sekolah dan putus sekolah, terutama akibat kemiskinan dan perkawinan di usia muda.
Baca juga: Kesetaraan Jender dalam Pembangunan Indonesia
Sementara dari sisi kesehatan, meski perempuan diuntungkan memiliki umur harapan hidup lebih tinggi (69,9 tahun) daripada laki-laki (65,5 tahun) (UNDP, 2020-2021), ternyata belum mampu dimanfaatkan untuk bekerja dengan produktivitas tinggi untuk memperoleh pendapatan secara optimal. Perempuan pekerja antara lain rentan mengalami anemia dan karena hamil, melahirkan, dan merawat anak.
Rendahnya kapabilitas perempuan juga tecermin dari nilai pembangunan manusia yang lebih rendah. Nilai pembangunan manusia di Tanah Air berdasarkan catatan UNDP (2021) untuk perempuan 0,681, sedangkan untuk laki-laki 0,723. Berdasarkan nilai itu, capaian pembangunan manusia untuk perempuan masih di level menengah bawah, sedangkan untuk laki-laki telah mencapai pembangunan manusia tinggi. Pembangunan manusia tinggi jika nilai pembangunan manusianya di atas 0,70.
Perlu segera perbaikan
Dengan mencermati sejumlah faktor yang menjadi kendala perempuan meningkatkan pendapatannya, kiranya diperlukan segera perbaikan. Selain meningkatkan kapabilitas perempuan dan memperbaiki kondisi pasar kerja, juga diperlukan upaya mengatasi sejumlah kendala lainnya.
Studi Bank Dunia (2011) menyebutkan ada tiga aspek yang menjadi kendala perempuan dalam pasar kerja, yaitu aspek legal, struktural, dan kultural. Dari aspek legal, antara lain berupa peraturan diskriminatif, yang menurut Komnas Perempuan terdapat sebanyak 421 peraturan daerah diskriminatif terhadap perempuan (Kompas, 4/12/2018).
Sementara itu, dari aspek struktural, terkait dengan tertinggalnya perempuan dari laki-laki pada level pendidikan tinggi. Selanjutnya dari aspek kultural terkendala perempuan yang melangsungkan perkawinan di usia muda.
Baca juga: Dilema Bekerja, Ketimpangan Jender, dan Hal-hal yang Belum Selesai
Keterlibatan ketiga pilar, pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat tampaknya amat diperlukan untuk mengatasi kendala pekerja perempuan memperoleh pendapatan setara dengan laki-laki. Bahkan, untuk lebih meningkatkan upaya dimaksud diperlukan peran perempuan yang lebih besar di parlemen agar dapat memberikan pengaruh yang lebih besar dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan, terutama yang berkaitan dengan pekerja perempuan.
Hal itu perlu diungkap mengingat meski Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu mensyaratkan anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk perempuan 30 persen, realisasinya pada pemilu lalu baru mencapai 21 persen. Adapun pentingnya perbaikan pendapatan perempuan setara dengan laki-laki ialah untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan dan kehidupan bangsa serta menurunkan kemiskinan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Razali Ritonga, Pemerhati Fenomena Sosial-Kependudukan; Mantan Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS