Keadilan yang Terusik dan Pembangunan Ekonomi
Rasa keadilan yang terusik tak bisa dikompensasi dengan pembangunan ekonomi. Ada dimensi yang lebih luas.
Kabin gelap. Sebagian penumpang masih mendengkur. Sebuah lampu baca yang temaram menemani saya.
Entah sudah berapa lama pesawat ini terbang. Jam menunjukkan pukul 16.00 waktu Doha. Di tengah deru suara pesawat terdengar pilot menginformasikan: pesawat akan menurunkan ketinggian. Awak kabin dan penumpang diminta mempersiapkan diri.
Saya hampir tak sempat memicingkan mata sepanjang perjalanan dari Boston ke Doha. Mata saya memerah. Satu jam lagi pesawat akan mendarat di Doha. Saya begitu enggan meninggalkan bacaan saya. Sebuah buku yang memikat. Judulnya, The Chile Project: the Story of the Chicago Boys and the Downfall of Neoliberalism. Penulisnya Sebastian Edwards, Guru Besar Ekonomi dari Universitas California, Los Angeles.
Saya tak kenal secara pribadi dengan Edwards. Namun, saya mengikuti dan mengagumi karyanya sejak saya mahasiswa dulu. Ekonom yang juga novelis ini banyak menulis tentang kebijakan moneter dan Amerika Latin. Yang saya ingat, kami pernah berinteraksi lewat Zoom untuk sebuah konferensi, di mana kami bersama-sama berkontribusi untuk sebuah buku. Mungkin dua tahun lalu.
Ia memiliki semua alasan untuk menulis topik ini. Bagaimana tidak. Ia dekat dengan Arnold ”Al” Harbeger, yang dianggap ”bapak” dari The Chicago Boys (TCB). Ia juga memiliki jalan yang sama dengan TCB: tamat dari Pontificia Universidad Catolica de Chile, mengambil doktor ekonomi di Universitas Chicago.
Yang membedakan: ia pendukung Salvador Allende, Presiden Chile yang digulingkan Augusto Pinochet. Jadi, ia punya jarak dengan TCB. Bukunya secara rinci merekam bagaimana model ekonomi neoliberal diterapkan oleh TCB di Chile dalam periode pemerintahan diktator militer Pinochet, 1973-1990.
Resep kebijakan neoliberal ini baru berakhir 2021 ketika Gabriel Boric, mantan pemimpin mahasiswa kiri, terpilih sebagai Presiden Chile. Chile memang menarik untuk dipelajari.
Menariknya, setelah pemerintahan kiri-tengah (left-of-centre) berkuasa tahun 1990, resep ekonomi ini tetap dipertahankan. Bahkan bertahan sampai tiga dekade berikutnya. Resep kebijakan neoliberal ini baru berakhir 2021 ketika Gabriel Boric, mantan pemimpin mahasiswa kiri, terpilih sebagai Presiden Chile. Chile memang menarik untuk dipelajari.
September 2023 saya bersama mantan Presiden Chile, Michele Bachelet, mengajar untuk Harvard Ministerial Forum di Universitas Harvard. Kami memberikan materi untuk para menteri yang masih aktif dari beberapa negara berkembang. Bachelet—yang namanya banyak disinggung Edwards di bukunya—berbagi tentang proses reformasi ekonomi di Chile.
Ia, yang merupakan perempuan presiden pertama di Chile dari kelompok kiri-tengah, bersama Presiden Ricardo Lagos berpandangan bahwa pajak harus dinaikkan untuk membiayai ekspansi program sosial. Sebuah pandangan yang berbeda dengan TCB, yang mendorong tarif pajak yang rendah. Saya beruntung bisa belajar langsung dari pelaku sejarah.
Chile memang punya pesona. Edwards menunjukkan, pertumbuhan ekonomi pesat periode 1980-2019 membuat Chile negara dengan kinerja ekonomi terbaik di Amerika Latin. Padahal, awal 1980-an, Chile di urutan bawah bersama Kolombia, Kosta Rika, Ekuador, dan Peru.
Paradoks Chile
Sejarah mencatat, tahun 2003—akibat reformasi ekonomi oleh TCB, dan kemudian dipertahankan oleh pemerintah kiri-tengah—Chile menjadi negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di Amerika Latin. Posisi itu bertahan sampai 2019. Pertumbuhan ekonomi tinggi juga dibarengi penurunan kemiskinan dari 53 persen (1987) menjadi 6 persen (2017). Terendah di Amerika Latin.
Namun, di tengah kinerja ekonomi yang baik tersebut, pada 25 Oktober 2019 justru terjadi demonstrasi besar. Lebih dari 1,2 juta orang turun ke jalan. Pemicunya adalah kenaikan tarif transportasi sebesar 4 persen. Relatif kecil sebenarnya. Bagaimana menjelaskannya? Edwards menyebutnya Chile’s Paradox.
Saya kira ada alasan yang jauh lebih mendasar. Seperti disebut Edwards, indikator ekonomi memang terlihat membaik. Termasuk koefisien gini yang mengukur tingkat ketimpangan pendapatan menurun dari 0,56 (2000) menjadi 0,46 (2016). Indeks Pembangunan Manusia Chile di urutan pertama di Amerika Latin. Namun, ada paradoks besar di balik itu.
Survei Economic Commission for Latin America and Caribbean menunjukkan, rakyat Chile justru menganggap ketimpangan semakin meningkat. Ada kontras antara ”realitas” dan ”persepsi”.
Edwards menyebut ada tiga kemungkinan penjelas untuk ini. Pertama, mungkin ada pengertian yang berbeda soal konsep ”ketimpangan” (inequality). Ekonom umumnya fokus pada ketimpangan pendapatan (vertical inequality).
Padahal, menurut Edwards, rakyat Chile berpikir dalam konsep yang lebih luas, termasuk kualitas hidup, interaksi sosial, akses terhadap kebutuhan pokok, dan keadilan dalam sistem ekonomi dan politik (horizontal or social inequality).
Sen menyatakan, kesejahteraan tercipta ketika orang memiliki ruang kapabilitas akibat adanya freedom to achieve (kebebasan untuk memperoleh).
Di sini saya jadi ingat pada Amartya Sen, di mana isu keadilan, kebebasan, hak politik menjadi penting. Sen menyatakan, kesejahteraan tercipta ketika orang memiliki ruang kapabilitas akibat adanya freedom to achieve (kebebasan untuk memperoleh). Dalam konteks ini masalah keadilan dan kebebasan menjadi penting. Edwards menulis bagaimana sedikit demi sedikit kasus kolusi, kebijakan pemerintah yang berpihak kepada kelompok bisnis yang dekat dengan kekuasaan, kian mendorong kemarahan massa.
Kebijakan ekonomi dibuat untuk melayani yang berkuasa dan bukan untuk rakyat. Dan benar, protes massa ditujukan pada privatisasi kebutuhan dasar, konsentrasi kekayaan, monopoli, dan kolusi.
TCB memang tak memfokuskan diri pada masalah ketimpangan. Mereka fokus pada isu mengatasi kemiskinan. Salah satu tokoh TCB, Rolf Luders, misalnya, menganggap ketimpangan adalah isu kecemburuan sosial. Upaya Pemerintah Chile difokuskan bagaimana memberikan bantuan kepada kelompok miskin ini.
Mirip Indonesia, mereka membuat peta kemiskinan. Informasi dari peta kemiskinan dipakai untuk mengetahui di mana penduduk miskin tinggal, kehidupan mereka, dan pelayanan dasar yang belum terpenuhi. Bantuan pemerintah difokuskan untuk 10 persen terbawah. Bentuk bantuan barang atau natura.
TCB, menariknya, tak setuju dengan cash transfer atau bantuan langsung tunai (BLT). Alasannya, mirip seperti kritik terhadap BLT di Indonesia: uang akan digunakan untuk hal-hal yang tak perlu.
Padahal, berbagai studi yang dilakukan, termasuk oleh peraih Nobel, Abhijit Banarjee, Benjamin Olken, dan Gabriel Kreindler dari MIT; serta Rema Hanna dari Universitas Harvard, menunjukkan BLT tak membuat orang malas, atau digunakan untuk hal tak semestinya.
BLT lebih efektif dibandingkan natura. Termasuk untuk kasus Indonesia.
Kemungkinan penjelasan kedua: orang tak menyadari bahwa situasi sebenarnya telah jauh lebih baik. Namun, narasi yang dominan justru sebaliknya. Ini akibat opini publik didominasi kritik terhadap neoliberal. Akibatnya, orang percaya situasi memang buruk. Inilah yang disebut Edwards—meminjam istilah filsuf John Rawls—sebagai argumentasi veil of ignorance.
Kemungkinan penjelas ketiga dan ini amat penting: orang mengakui kemajuan telah terjadi, tetapi tak secepat yang diharapkan. Ada kesenjangan antara aspirasi dan realitas. Orang tak cukup sabar untuk itu. Edwards memberikan contoh nyata: kasus pensiun di Chile.
Kombinasi dari ketiga hal itulah yang menjelaskan Chile’s Paradox.
Relevansi dengan Indonesia
Lalu apa relevansinya dengan Indonesia? Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kebijakan perlindungan sosial tak bisa hanya difokuskan pada kelompok miskin. Setelah kemiskinan ekstrem dapat dihapuskan, lalu kepada siapa bantuan diberikan?
Dalam kasus Chile, kelas menengah bawah nyaris terabaikan. Isu ini juga menjadi relevan di Indonesia. Kita belajar dari pengalaman Covid-19: kejutan ekonomi yang terjadi telah memukul, bukan hanya kelompok miskin, melainkan juga kelas menengah bawah. Jika BLT atau bantuan sosial hanya diperuntukkan bagi penduduk miskin, bagaimana dengan kelas menengah bawah?
Siapa pun presiden ke depan, perluasan perlindungan sosial harus menjadi agenda penting.
Mereka sebelumnya tidak miskin, tetapi kejutan ekonomi membuat mereka miskin. Itu sebabnya, dalam seri tulisan saya bersama Rema Hanna dan Benjamin Olken di Kompas (22-24/4/2020), kami menyarankan perluasan perlindungan sosial. Siapa pun presiden ke depan, perluasan perlindungan sosial harus menjadi agenda penting.
Kedua, ke depan pembangunan ekonomi harus semakin inklusif. Dengan anggaran yang terbatas, mana yang lebih penting, infrastruktur atau perlindungan sosial? Jawaban saya: Indonesia butuh keduanya. Isunya bukan memilih di antara infrastruktur fisik atau perlindungan sosial, melainkan bagaimana meningkatkan penerimaan pajak sehingga ekspansi sosial dan infrastruktur bisa dibiayai.
Ketiga, munculnya kelas menengah di Indonesia punya implikasi ekonomi politik. Saya menyebut kelas menengah sebagai pengeluh profesional atau professional complainer. Itu baik. Lebih dari 12 tahun lalu saya pernah menulis: pertumbuhan ekonomi yang mendorong munculnya kelas konsumen baru membawa implikasi ekonomi dan politik.
Kelas konsumen baru yang cerewet, kritis, dengan pendapatan yang lebih baik, akan menuntut kualitas pelayanan jasa publik, kualitas barang, dan tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Jika dulu konsumsi ditentukan oleh kebutuhan, sekarang didorong oleh keinginan. Artinya kualitas jadi penting.
Ini membawa implikasi pada tuntutan perbaikan kualitas pelayanan jasa publik. Lebih penting lagi: semakin kerasnya tuntutan akan pemerintah dan DPR yang bersih. Dengan kondisi ini, pemerintah tidak bisa lagi hanya fokus kepada akses, tetapi juga kualitas.
Pelayanan jasa publik yang buruk akan jadi isu politik. Lihat bagaimana media sosial dipenuhi kecerewetan kelas menengah baru ini dalam soal pelayanan jasa publik, kemacetan, korupsi, keadilan, atau isu sosial politik lain. Di sini pengalaman Chile menjadi relevan. Jika ada kesenjangan antara aspirasi dan realitas—dan kelas menengah menganggap perbaikan tak cukup cepat—isu akan berubah menjadi ketidakpuasan politik.
Keempat, benar bahwa koefisien gini Indonesia jauh lebih baik daripada Chile. Namun, kasus Chile menunjukkan kita tak bisa hanya fokus pada ketimpangan pendapatan (vertical inequality), tetapi juga horizontal (social) inequality.
Kita belajar dari pengalaman Chile: sikap pemerintah yang memihak pada oligarki, rasa keadilan yang terusik, dan politik transaksional di kalangan elite, akhirnya mendorong gejolak sosial.
Tak bisa lagi atas nama investasi atau pertumbuhan ekonomi, keadilan dikesampingkan. Semakin besar kelas menengah, semakin relevan isu keadilan. Rasa keadilan yang terusik tak bisa dikompensasi dengan pembangunan ekonomi. Ada dimensi yang lebih luas di sini.
Pesawat menurunkan ketinggian. Lampu kenakan sabuk pengaman telah dinyalakan. Saya tutup buku Edwards. Pembangunan memang berwarna. Ia punya banyak dimensi. Itu sebabnya, demokrasi penting. Saya jadi ingat Reinhold Niebuhr, ”Kapasitas manusia untuk berbuat adil membuat demokrasi menjadi mungkin, dan kecenderungan manusia untuk berbuat sewenang-wenang membuat demokrasi menjadi perlu”. Ada baiknya kita mengingat itu.
Baca juga : Perluasan Perlindungan Sosial untuk Kelas Menengah Bawah
Muhamad Chatib Basri Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia