Babinsa Masuk Sekolah dan Penawaran Solusi Perundungan
Pelibatan babinsa untuk mengatasi perundungan di sekolah tak sesuai tujuan pendidikan. Hal ini dinilai cenderung menakut-nakuti.
Oleh
HAIYUDI
·4 menit baca
Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia atau ABKIN meluncurkan pernyataan sikap terkait usulan Dede Yusuf, Wakil Ketua Komisi X DPR, tentang pelibatan bintara pembina desa atau babinsa dalam menangani perundungan yang marak terjadi di sekolah akhir-akhir ini. Pernyataan tersebut ditandatangani Ketua Umum ABKIN Muh Profesor Farozin yang juga merupakan akademia Universitas Negeri Yogyakarta. Dalam pernyataan tersebut, ABKIN menyampaikan enam poin, salah satunya menyatakan akar rumput permasalahan yang sangat kompleks.
Topik hangat ini terus diluncurkan oleh rekan-rekan guru ataupun dosen bimbingan konseling. Lalu, siapa yang sebenarnya berpotensi harus dikoreksi? Pernyataan Dede Yusuf atau tanggapan rekan-rekan konselor?
Opini ini mengajak pembaca untuk merunut alur peristiwa sehingga tidak terjadi kesalahan atau tindakan sekadar ikut-ikutan. Selain itu, penulis juga memberikan tawaran jangka menengah dalam menangani permasalahan perundungan dan sanksinya.
Maraknya kasus perundungan akhir-akhir ini memang tidak dapat dielakkan. Tercatat hampir setiap minggu muncul kasus perundungan baru. Di sisi lain, lemahnya perlindungan terhadap guru juga menjadi pandangan penghias meja kerja kita. Sebagai contoh, salah satu guru dilaporkan orangtua murid karena memberikan hukuman kepada siswa yang tidak mau beribadah. Beragam tanggapan muncul menyikapi peristiwa ini.
Lemahnya perlindungan terhadap guru menjadi sorotan. Secara tidak langsung hal ini membuat batasan-batasan dan mengancam rasa aman yang dirasakan guru. Teguran dan tindakan seperti buah simalakama. Pada satu sisi, guru bertugas sebagai pendidik, yang artinya domain afektif harus menjadi faktor yang dikuatkan, utamanya dalam membentuk karakter.
Namun, di lapangan, pembiaran akan terus terjadi lantaran guru tidak berani bersikap terlalu jauh karena tidak ada rasa aman. Penjara sewaktu-waktu mengancam guru. Sebagai guru yang rasional, ia dipastikan akan mencari jalan tengah yang aman, yaitu dengan fokus menjalankan tugasnya sebagai tenaga pengajar.
Polemik ini rupanya mengusik pikiran Dede Yusuf. Tidak mau tinggal diam, ia sebagai wakil rakyat memberikan suaranya tentang bagaimana menyikapi permasalahan yang terjadi akhir-akhir ini, utamanya dalam kasus perundungan yang tidak hanya terjadi kepada siswa, tetapi juga kepada guru.
Babinsa tidak ada urgensinya
Pelibatan babinsa untuk menangani permasalahan di atas diajukan Dede sebagai solusi. Tentu ini tidak salah, tetapi juga dirasa sangat berlebihan. Bagaimana tidak, permasalahan perundungan tidak melulu tentang kekerasan. Sekalipun akibatnya adalah kekerasan, penyelesaiannya tentu bukan terkait dengan kekerasan juga.
Akar rumput yang sangat rumit dan lengkap menghiasi permasalahan ini. Berbagai pendekatan dirasa perlu diterapkan. Meskipun demikian, permasalahan perundungan ini bukan hanya terbatas guru BK (bimbingan konseling) ataupun BP (bimbingan dan penyuluhan), seperti yang disampaikan Dede, melainkan kerja kolaboratif yang melibatkan semua pihak termasuk keluarga.
Selain itu, pelibatan babinsa juga merupakan tindakan menakut-nakuti yang tidak lagi sesuai dengan tujuan pendidikan yang seharusnya memberikan rasa nyaman dan ramah. Oleh karena itu, saran melibatkan babinsa untuk mengatasi perundungan penulis anggap berlebihan dan tidak perlu.
Permasalahan ini adalah permasalahan kompleks yang membutuhkan penangan dari jalur yang panjang. Penanaman karakter dan keterlibatan orangtua justru lebih urgen dibandingkan melibatkan babinsa yang justru dikhawatirkan mengakibatkan permasalahan baru yang tidak sesuai dengan marwah pendidikan.
Akar rumput yang sangat rumit dan lengkap menghiasi permasalahan ini. Berbagai pendekatan dirasa perlu diterapkan.
Babinsa tentu tidak selaras dengan kecakapan penanganan permasalahan karakter yang saat ini terjadi. Selain tidak memiliki latar belakang keilmuan yang sesuai, hal ini juga dikhawatirkan akan berdampak terhadap image atau pandangan orang terhadap dunia pendidikan yang terkesan semimiliter.
Sayangnya, tanggapan gegabah, lemah, dan tidak berdasar dari Dede Yusuf justru mewarnai media sosial hari ini. Substansi yang diangkat justru fokus kepada permasalahan nomenklatur guru BP dan BK. Tentu itu bukan substansi yang melatarbelakangi bersuaranya Dede. Perubahan nomenklatur, tugas, dan tanggung jawab yang sudah dilakukan berdasarkan Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 tersebut bukan suatu yang harus dipermasalahkan.
Jika disikapi dengan bijak, permasalahan ini harusnya bermuara dari maraknya perundungan yang akhir-akhir ini bermunculan. Namun, tentu penulis juga tidak membenarkan saran yang diberikan Dede Yusuf. Yang harus dilakukan adalah kembali kepada permasalahan yang sedang dihadapi dan mencari alternatif lain dari tawaran Dede.
Perkuat ”reinforcement and punishment”
Lalu, bagaimana meningkatkan rasa aman di sekolah? Ketika guru dan tenaga pengajar mulai mengambil jarak untuk menangani permasalah karakter siswa secara perlahan, rasa aman yang dimiliki guru tentu akan meningkat. Namun, rasa aman dalam konteks peneguhan karakter pelajar ke depan tentu menjadi pertanyaan serius.
Konsep hukuman (punishment) dan penguatan (reinforcement) harus betul-betul dikuatkan. Alih-alih menghadirkan babinsa di sekolah, memperjelas batasan terhadap konsep penguatan dan hukuman bagi guru rasanya lebih baik. Rasanya, pemerintah harus tegas dan jelas dalam menetapkan batasan kapan penguatan dan hukuman bisa dilakukan. Hal ini dapat dilakukan ketika pendaftaran sekolah dilakukan. Konsekuensi jelas juga harus menjadi bahan kesepakatan antara kedua belah pihak. Namun, jika itu dilakukan, tidak bisa dinafikan bahwa kesan bisnis dalam dunia pendidikan sangat kental. Namun, begitulah adanya hari ini.
Kehebohan ini bukan untuk menghukum siapa yang salah dan benar. Ketersinggungan ABKIN yang mengeluarkan sikap sudah dianggap benar dan menjadikan jalan tengah. Namun, kekhawatiran Dede Yusuf jika dirunut dari akar rumput juga tidak salah.
Pemerintah dianggap perlu mengambil tindakan tegas terhadap maraknya kasus perundungan hari-hari ini. Maka, salah satu tawaran yang penulis harapkan naik menjadi kebijakan adalah penguatan konsep penguatan dan hukuman yang baik sebagaimana disampaikan di atas. Guru harus memiliki kekuatan dan rasa aman dalam bertindak. Namun, sebelumnya, pemahaman guru tentang konsep penguatan dan hukuman tentu harus dimatangkan.
Penulis pernah meneliti tentang kebingungan guru-guru yang masih sering terjadi dalam menggunakan konsep reinforcement dan punishment ini. Mereka tidak mengerti kapan harus menggunakan hukuman dan kapan harus menggunakan penguatan (Haiyudi et al, 2023). Rendahnya pemahaman tersebut juga bermuara pada tindakan yang semena-mena dan salah. Tentu itu tawaran yang penulis ajukan di tengah hangatnya perbincangan publik tentang kesan negatif yang disampaikan Dede bukan satu-satunya jalan. Namun, setidaknya, ini dapat menjadi pertimbangan mengingat urgensinya sangat kuat.