Untuk melunasi janji kedaulatan pangan, pemerintah harus keluar dari zona nyaman program-program jangka pendek.
Oleh
POSMAN SIBUEA
·4 menit baca
Di tengah rangkaian peringatan Hari Pangan Sedunia yang dirayakan setiap 16 Oktober, mencuat tiga masalah yang mengganggu perwujudan kedaulatan pangan. Pertama, kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian yang belakangan ini menjadi top isu. Kedua, dilema pembangunan lumbung pangan atau food estate. Ketiga, impor beras sebanyak 2 juta ton yang menuai pro dan kontra di masyarakat.
Ketiga permasalahan itu menjadi alasan kuat bagi masyarakat untuk menagih janji kedaulatan pangan. Indonesia berdaulat pangan pernah dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo saat mengawali pemerintahannya pada 2014. Hingga kini, persoalan hak atas pangan belum juga terselesaikan di negeri agraris ini, sebaliknya ketergantungan pangan pada impor semakin meningkat, nilainya mencapai puluhan triliun rupiah yang menguras pundi-pundi devisa negara.
Derasnya arus impor berakibat terhadap peningkatan angka kemiskinan petani lokal di perdesaan. Situasi ini akan semakin buram mengingat tantangan berat menghadang, yakni percepatan penurunan prevalensi tengkes (stunting) menjadi 14 persen pada 2024 yang membutuhkan pangan yang berkualitas.
Upaya perwujudan kedaulatan pangan di negeri ini kerap menghadapi jalan terjal dan berliku. Kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian, yang membuat Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengundurkan diri dari Kabinet Indonesia Maju, menandakan bahwa pemerintah akan terus berhadapan dengan berbagai tantangan ke depan dan menjadi sebuah ironi saat melanjutkan pembangunan pertanian di tengah ancaman krisis pangan global yang kian masif.
Lantas, bagaimana strategi pemerintah melunasi ”utang” janji perwujudan kedaulatan pangan kepada rakyat? Indonesia yang memiliki sumber daya pangan lokal Nusantara yang melimpah sejatinya tidak sulit memenuhi janji itu. Peringatan Hari Pangan Sedunia tahun ini menjadi momentum untuk melakukan refleksi guna mengevaluasi proses pencapaian kedaulatan pangan.
Tema perayaan Hari Pangan Sedunia setiap tahun selalu dimaknai sebagai mesin pendorong yang memiliki spiritualitas untuk memosisikan Indonesia berdaulat atas pangan dan menjadi lumbung pangan dunia. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan tentang spiritualitas itu, yakni sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar dan di sisi lain memiliki sumber daya alam dan sumber pangan yang beragam, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pangannya secara berdaulat dan mandiri.
Namun, jika ditilik ke belakang, tantangannya masih sangat berat. Betapa tidak! Kekeringan di sejumlah daerah, seperti di Pulau Jawa, saat ini akibat fenomena alam El Nino dan bersamaan datangnya musim hujan di daerah lain, seperti sebagian Sumatera, menjadi lampu kuning untuk semakin terjalnya jalan menuju kedaulatan pangan.
Meski situasi ini merupakan periode musim yang rutin, patut diduga bahwa pemanasan global telah mendorong kian masifnya perubahan iklim yang berdampak buruk pada kehidupan petani. Pertanian yang dahulu menjadi penopang utama ekonomi kerakyatan kini tidak lagi dapat diandalkan untuk sumber kesejahteraan petani.
Perubahan iklim telah menyebabkan pergeseran musim yang sudah sering kali mengacaukan hasil panen yang membuat petani panik.
Petani seolah tidak henti dirundung masalah, mulai dari nilai tukar yang tak mampu mengikuti laju inflasi hingga dampak kekeringan dan banjir yang menetaskan kemiskinan. Bencana kekeringan yang kerap terjadi telah mengganggu usaha tani tanaman pangan di sentra-sentra pertanian.
Bencana kekeringan yang ditandai dengan lumpur sawah mengeras dan pecah-pecah dikhawatirkan mengakibatkan gagal panen. Tanaman padi yang tengah memasuki masa pertumbuhan mulai terancam mati prematur. Perubahan iklim telah menyebabkan pergeseran musim yang sudah sering kali mengacaukan hasil panen yang membuat petani panik.
Meski demikian, pemerintah tetap optimistis target produksi beras nasional 2023 dapat mengawal cadangan pangan nasional. Musim kemarau tahun ini masih terjadi hujan walau tidak signifikan meningkatkan produksi. Namun, mengharapkan air hujan di tengah musim kemarau panjang adalah hal yang kurang bijak mengingat tanaman padi sangat membutuhkan air ketika memasuki masa pertumbuhan. Tak heran apabila di antara petani sering berebut air. Mereka takut bulir padinya tidak terisi secara maksimal.
Optimisme pencapaian target produksi beras nasional sah-sah saja sejauh ada perhitungan yang realistis dan bisa dipertanggungjawabkan. Namun, jika sejumlah masalah yang mengancam sektor pertanian—mulai dari harga pupuk dan bibit yang makin mahal, krisis air, hingga arus urbanisasi yang kian deras di tengah cepatnya alih fungsi lahan—dijadikan pertimbangan, peningkatan produksi beras menjadi isapan jempol. Hal ini sejalan dengan perkiraan para pengamat ketahanan pangan yang menyebutkan produksi beras nasional dalam lima tahun terakhir sudah terganggu.
Pemerintah patut menganggap serius masalah ketahanan air di sektor pertanian sebab air adalah darah kehidupan yang mengalir dalam urat nadi swasembada beras. Persoalannya bukan hanya menyangkut ketahanan pangan nasional, melainkan berdampak terhadap kehidupan petani. Terlalu menyederhanakan persoalan jika pemerintah hanya menunjukkan angka-angka stok beras di berbagai gudang Bulog, sementara petani sudah lama menjalani proses pemiskinan hidup dan kehidupan. Mereka pun kerap memilih jalan hidup berimigrasi ke perkotaan untuk mempertahankan hidup.
Persoalan hidup petani selalu menyisakan kesedihan. Di tengah kian terpuruknya daya beli, selain harus tetap memenuhi kebutuhan hidup yang makin mahal, petani juga harus mengembalikan pinjaman yang dipakai untuk membeli pupuk, benih dan biaya pendidikan anak yang makin tak terjangkau. Tak jarang pula pahlawan ketahanan pangan ini harus mengonsumsi nasi aking karena mereka gagal panen dan mengalami defisit air minum. Dampaknya, jumlah penderita gizi buruk di negeri ini pasti bertambah dan upaya penurunan prevalensi tengkes semakin menjauh.
Manajemen air
Untuk melunasi janji kedaulatan pangan, pemerintah harus keluar dari zona nyaman program-program jangka pendek. Pemerintah tidak hanya sebatas menyediakan mesin pompa air untuk mengatasi kekeringan, tetapi perlu melihat fakta-fakta kekeringan yang terjadi di lapangan. Saatnya untuk segera membangun waduk, embung, bendungan, dan memperbaiki sistem irigasi yang bisa secara langsung digunakan dan dinikmati petani di perdesaan.
Sangat tepat jika tahun ini Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengusung tema Hari Pangan Sedunia dengan ”Air adalah kehidupan, air adalah makanan. Jangan tinggalkan siapa pun”. Harapannya agar semua masyarakat menempatkan peran penting air bagi kehidupan dan air sebagai sumber makanan kita. Kekeringan yang kerap melanda area persawahan, misalnya, berhulu dari kian menipisnya debit air di waduk akibat semakin minimnya daerah tangkapan air. Keadaan ini harus segera diatasi dengan pengaturan air irigasi secara berkeadilan.
Guna menghidupi tema Hari Pangan Sedunia 2023, perlu dilakukan perbaikan manajemen air. Ketersediaan pupuk dan bibit unggul tidak berarti apa-apa jika air hilang dari lahan pertanian. Reaksi fotosintesis yang amat kompleks itu memerlukan air dan CO2 dari udara guna menyintesis karbohidrat.
Mengingat air sebagai anak kunci keberhasilan kedaulatan pangan, maka sudah saatnya merevitalisasi pengaturan air di sektor pertanian. Dahulu di sejumlah daerah dikenal sistem pengaturan air yang berkearifan lokal, seperti halnya subak di Bali; raja bondar di Toba, Samosir, dan Tapanuli Utara; dan jogo tirto di Jawa Tengah. Pemerintah patut mengangkat kembali kearifan lokal ini untuk mengefektifkan pengelolaan air secara berkeadilan. Memperkuat sistem kelembagaan manajemen air di setiap daerah akan memberi penguatan mengawal perwujudan janji kedaulatan pangan.
Jika hendak menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia, pemerintah berkewajiban menghijaukan kembali kawasan hulu supaya suplai air untuk pertanian tercukupi demi perwujudan kedaulatan pangan. Penyediaan pangan bagi sekitar 278 juta jiwa penduduk Indonesia harus dipahami tidak sekadar keberhasilan swasembada beras lewat kenaikan produksi beras setiap tahun, tetapi harus diartikan sebagai sebuah kemandirian dan kedaulatan bangsa.
Ketergantungan pangan dari negara lain di tengah kesuburan lahan di Indonesia menunjukkan stigma bangsa pemalas. Indonesia yang kaya sumber daya pertanian dan pangan lokal harus dapat menjadi lumbung pangan dunia.