UUPA dan Transformasi Kebijakan Pertanahan
Penerapan UUPA dari masa ke masa menunjukkan pilihan kebijakan, antara lain, dipengaruhi oleh sikap terhadap UUPA sebagai refleksi atas pemahaman soal UUPA.
Tanggal 24 September 2023, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau UUPA berusia 63 tahun.
Penerapan UUPA dari masa ke masa menunjukkan pilihan kebijakan, antara lain, dipengaruhi oleh sikap terhadap UUPA sebagai refleksi atas pemahaman soal UUPA.
Memahami UUPA secara tekstual dapat mengarah pada kesimpulan bahwa UUPA itu sudah usang dan tak dapat diandalkan untuk menampung perkembangan hukum pertanahan selaras dengan perkembangan di berbagai bidang kehidupan.
Pemahaman serupa atas UUPA bisa juga membawa pada sikap ”abu-abu” karena sadar dan merasa bahwa ketentuan UUPA itu masih berlaku dan diperlukan, tetapi ketika dihadapkan pada kebutuhan kebijakan jangka pendek yang konstruksi hukumnya tak dapat dibaca dalam rumusan UUPA, maka jalan pintaslah yang ditempuh, yakni mengubah konsepsi dan atau prinsip UUPA.
Sebaliknya, pemahaman UUPA secara kontekstual dan komprehensif sejak proses pembentukannya hingga pengesahannya dalam rentang waktu 12 tahun mendorong sikap bahwa transformasi kebijakan pertanahan bisa ditempuh melalui penemuan hukum terhadap konsepsi dan prinsip UUPA tanpa meninggalkan filosofinya.
Konstruksi hukum hak atas tanah atau hak pengelolaan (HPL) pada RBT, RAT, dan ruang bawah air (RBA) didasarkan pada analogi atau interpretasi ekstensif terhadap Pasal 4 Ayat (2) UUPA.
Obyek hak atas tanah
Pada umumnya hak atas tanah dikenal sebagai obyek yang secara kasatmata berada di permukaan bumi yang disebut tanah. Jenis haknya terdiri dari hak milik (HM), hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak pakai (HP). Dalam setiap hak diatur tentang kewajiban, hak, dan larangan bagi pemegang hak.
Di awal pembangunan jalan layang dan pembangunan MRT Jakarta, pertanyaannya adalah apakah untuk pemanfaatan ruang bawah tanah (RBT) dan ruang atas tanah (RAT) dapat diberikan hak atas tanah? Gagasan pemberian hak atas tanah pada kedua obyek ini sudah dibahas tahun 1991 di seminar nasional ”Hak Atas Tanah dalam Konteks Masa Kini dan Yang Akan Datang” yang diselenggarakan Fakultas Hukum UGM dan BPN, di Yogyakarta.
Konstruksi hukum hak atas tanah atau hak pengelolaan (HPL) pada RBT, RAT, dan ruang bawah air (RBA) didasarkan pada analogi atau interpretasi ekstensif terhadap Pasal 4 Ayat (2) UUPA.
Intinya, hak atas tanah itu memberikan kewenangan untuk mempergunakan tanah bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya ”sekadar diperlukan” untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanahnya dalam batas-batas peraturan perundangan-undangan berlaku.
Mempunyai suatu hak atas tanah pada asasnya mempunyai kewenangan untuk menggunakan permukaan bumi ”plus” tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya dengan batasan ”sekadar diperlukan” (within reasonable use).
Mengingat luasnya kewenangan negara untuk menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya (Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945), maka kekuasaan negara itu dibatasi oleh hak atas tanah ”plus” yang dipunyai pemegang hak atas tanah ”sekadar diperlukannya”. Di luar kewenangan yang dipunyai pemegang hak atas tanah, maka di situlah kewenangan negara berlangsung.
Sesuai dengan asas pemisahan horizontal yang dianut oleh UUPA, di luar kewenangan pemegang hak atas tanah, baik yang berada di bawah tanah dan air maupun pada ruang udara di atas tanah, negara berwenang untuk membuat kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi penggunaan RBT, RBA, dan RAT, termasuk tetapi tidak terbatas, pada pemberian hak atas tanah atau HPL terhadap obyek tersebut.
Melalui analogi, maka hak atas tanah yang dapat diberikan pada RBT, RBA, dan RAT mutatis mutandis dengan hak atas tanah yang diatur dalam UUPA, dan untuk memberikan kepastian hukum terhadap ketiga obyek tersebut, perlu dipersiapkan pengaturan tentang pendaftaran tanah 3 dimensi.
Pengaturan tentang hak atas tanah atau HPL pada RBT dan RAT terdapat di PP Nomor 18/ 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Saat ini sedang ditempuh pengaturan kembali RBT, RBA, dan RAT secara lebih rinci di rancangan peraturan presiden.
Saat ini sedang ditempuh pengaturan kembali RBT, RBA, dan RAT secara lebih rinci di rancangan peraturan presiden.
Contoh lain transformasi kebijakan yang taat asas adalah pemberian hak atas tanah pada wilayah perairan, pesisir, dan pulau-pulau kecil (obyek) berdasarkan UUPA. Misal: pemberian HGU untuk usaha tambak, HGB untuk usaha jasa/pariwisata, HGB di pesisir pantai Kota Jayapura, dan pemberian 525 sertifikat HGB bagi warga Suku Bajo di Kampung Mola, Wakatobi, Sulawesi Tenggara (2022).
Juga penyerahan 2.035 sertifikat tanah dalam rangka Pertemuan Puncak GTRA 2023 yang terdiri dari 1.275 sertifikat program PTSL, 390 sertifikat hasil redistribusi tanah se-Provinsi Riau, dan 370 sertifikat untuk masyarakat pesisir.
Landasan hukum pemberian hak atas tanah pada obyek ini adalah Pasal 1 Ayat (4) dan (5), Pasal 4 Ayat (1) dan (2) UUPA; Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 17 Tahun 2016 dan PP Nomor 18 Tahun 2021. Setelah UU Nomor 11 Tahun 2020, yang diperbarui dengan UU Cipta Kerja, pemberian hak atas tanah pada obyek itu perlu izin, dalam hal ini kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Melalui putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010 ditegaskan, instansi sektoral, dalam hal ini KKP, tidak dapat menerbitkan hak atas tanah pada obyek, tetapi berwenang menerbitkan izin. Putusan MK juga menguatkan perbedaan antara rezim ”hak” dan ”izin”. Pemberian hak atas tanahnya menjadi kewenangan Kementerian ATR/BPN. Hak atas tanah yang dapat diberikan terhadap obyek tersebut ruang lingkupnya meliputi batas laut teritorial yang merupakan wilayah RI.
Setelah GTRA Summit 2023, penyusunan perpres tentang pemberian hak di wilayah perairan, pesisir, dan pulau-pulau kecil semakin mendesak. Ini dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, termasuk masyarakat adat yang memanfaatkan obyek tersebut sebagai ruang hidupnya.
Ilustrasi
Jangka waktu dan hak prioritas
Perumusan peraturan yang tak didasarkan pada penalaran hukum berpotensi memunculkan ketidakpastian hukum.
Pertama, tentang jangka waktu hak atas tanah. Ketika dalam PP No 18/2021 diatur tentang perpanjangan dan pembaruan hak setelah hak atas tanahnya berakhir sebagai upaya penyederhanaan administrasi, dalam penjelasan PP ditegaskan bahwa pendaftaran perpanjangan dan pembaruan hak itu ”dilakukan secara bertahap”.
Artinya, perpanjangan hak atas tanah didaftarkan pada saat berakhirnya jangka waktu pemberian hak dan pembaruan hak atas tanah didaftar pada saat berakhirnya perpanjangan hak atas tanah. Secara kumulatif, jangka waktu HGB, misalnya 80 tahun, tidak disertifikatkan sekaligus. Lahirnya hak atas tanah adalah pada saat hak atas tanahnya didaftarkan.
Pada saat yang sama, pengaturan tentang perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah di atas tanah HPL atas nama badan bank tanah (BBT), menurut PP Nomor 64 Tahun 2021 tentang BBT, tak diberikan penegasan bahwa pendaftaran perpanjangan dan pembaruan hak atas tanahnya harus ditempuh secara bertahap.
Dengan demikian, dapat diartikan bahwa perpanjangan dan pembaruan hak atas tanahnya didaftar sekaligus. Pengaturan demikian, selain bertentangan dengan UUPA, juga melanggar Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007.
Dalam perkembangannya, dalam Pasal 16A RUU tentang Perubahan UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) draf Pembahasan Tingkat Pertama, yang pada 3 Oktober 2023 disahkan di rapat paripurna, berkaitan dengan jangka waktu HGU dirumuskan bahwa HGU diberikan untuk jangka waktu paling lama 95 tahun melalui satu siklus pertama. Selanjutnya, HGU bisa diberikan kembali untuk satu siklus kedua dengan jangka waktu paling lama 95 tahun berdasar kriteria dan tahapan evaluasi.
Secara kumulatif, jangka waktu HGB, misalnya 80 tahun, tidak disertifikatkan sekaligus. Lahirnya hak atas tanah adalah pada saat hak atas tanahnya didaftarkan.
Pada Pasal 16A dan penjelasannya, tak dijumpai frasa ”pendaftaran HGU dalam setiap tahapan dalam setiap siklus ditempuh secara bertahap”. Tanpa frasa ini, HGU dimaknai sebagai diberikan dan sebelum jangka waktu pemberian hak berakhir sudah didaftarkan perpanjangan dan pembaruannya secara langsung sehingga jangka waktu HGU seluruhnya 95 tahun. Dengan demikian, jangka waktu HGU dalam dua siklus adalah 190 tahun.
Tanpa pembatasan melalui frasa tersebut, Pasal 16A rentan diajukan peninjauan ke MK karena bertentangan dengan Putusan MK 21-22/PUU-V/2007.
Otorita IKN berwenang mengatur pengelolaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai tata ruang IKN. Namun, terkait pengaturan pertanahan harus tunduk pada hukum pertanahan nasional (UUPA).
Contoh kedua dari kerancuan argumentasi hukum adalah pengaturan tentang hak prioritas yang dipunyai bekas pemegang hak atas tanah. Pada PP Nomor 40 Tahun1996 yang sudah dicabut, diatur bahwa permohonan perpanjangan hak atas tanah diajukan selambatnya dua tahun sebelum hak berakhir.
Dengan berlakunya PP No 18/2021 dan Permen ATR /BPN No 18/2021, permohonan dan pembaruan hak dapat diajukan dua tahun setelah hak atas tanah berakhir.
Bagaimana jika jangka waktu pemberian dan perpanjangan hak berakhir dan dalam jangka waktu paling lama dua tahun tak dimohonkan pembaruan hak? Akibat hukumnya adalah tanahnya jadi tanah negara yang ditata kembali penggunaan, pemanfaatan, dan pemilikannya oleh Menteri ATR untuk diberikan prioritas pada bekas pemegang hak untuk mengajukan pemberian hak kembali.
Prioritas kedua untuk memperoleh tanah negara itu adalah BBT dan prioritas ketiga untuk kepentingan umum, reforma agraria, proyek strategis nasional, dan atau tanah cadangan negara lainnya.
Keberadaan hak prioritas ini berpotensi menghambat penetapan tanah obyek reforma agraria (TORA) yang berasal dari hapusnya hak atas tanah karena meski hak atas tanah telah berakhir jangka waktunya, harus menunggu dua tahun sampai tak adanya permohonan perpanjangan dan pembaruan haknya. Setelah lewat waktu dua tahun, tanah negara bekas hak atas tanah itu baru dapat ditetapkan sebagai TORA.
Pertanyaannya, jika RA merupakan agenda prioritas, bagaimana dengan keberadaan hak prioritas yang diatur di PP No 18/2021?
Jika hak atas tanah diberikan pada BBT, redistribusi tak dapat serta-merta berbentuk HM karena redistribusinya berupa pemberian HGB/HP di atas tanah HPL atas nama BBT dan baru 10 tahun kemudian dapat berstatus HM. Pertanyaannya, jika RA merupakan agenda prioritas, bagaimana dengan keberadaan hak prioritas yang diatur di PP No 18/2021?
Dua contoh di atas menunjukkan bahwa penyusunan peraturan yang abai terhadap penalaran hukum berpotensi memunculkan ketidakpastian hukum, bahkan ketidakadilan.
Upaya penyempurnaan UUPA perlu ditempuh melalui penyusunan ulang RUU Pertanahan dan menjadikannya sebagai agenda prioritas untuk pembentukannya.
Baca juga : Konferensi Tenurial 2023 Dorong Pelaksanaan Reforma Agraria Sejati
Maria SW SumardjonoGuru Besar Fakultas Hukum UGM dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia