Sampai Kapan Petani Karet Terus Ditelantarkan
Mustahil harga karet dunia kembali ke tingkat tahun 2011. Oleh karena itu, pilihan ekonomi sirkular menjadi satu-satunya yang tersedia saat ini, termasuk produksi bahan nabati dari minyak biji karet dan lateks.
Indonesia adalah produsen karet alam terluas di dunia dengan lahan 3,8 juta hektar. Kebun karet menghidupi sekitar 2,3 juta keluarga. Nilai devisa yang dibangkitkan mencapai 4 miliar dollar AS per tahun. Akan tetapi, komoditas ini hampir tidak mendapatkan perhatian sepadan dari pemerintah.
Perkebunan karet memiliki peran strategis dalam pembangunan pertanian yang berorientasi ekspor ataupun untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Meski memiliki areal terluas di dunia, produksi nasional Indonesia masih berada di peringkat kedua di bawah Thailand, karena produktivitas rata-ratanya lebih rendah.
Selain menyerap cukup banyak tenaga kerja, industri berbasis karet alam menyumbang devisa dari produk pertanian kedua terbesar setelah kelapa sawit (Pane, 2023).
Lebih jauh lagi, perkebunan karet alam relatif terbebas dari kampanye negatif terkait unsur keberlanjutan dan pemanasan global karena lebih ramah lingkungan. Per hektar kebun karet mampu menyerap 32 ton CO2 dan menghasilkan 14 ton O,2 serta memiliki fungsi orologis sebagai wilayah tangkapan air.
Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) mencatat, dari 3,8 juta ha areal, sekitar 89 persen dimiliki petani. Selebihnya, sekitar 6 persen dipunyai swasta dan 5 persen dari luas lahan karet dimiliki badan usaha milik negara (BUMN).
Industri primer yang memanfaatkan karet alam sebagai bahan baku antara lain adalah karet remah (standard Indonesian rubber, SIR), lembar karet asap (ribbed smoke sheet, RSS), lateks pekat, dan krep. Namun, realitasnya hasil panen petani tidak mampu menjangkau pabrik pengolah karet dan sangat bergantung pada pedagang pengumpul.
Meski memiliki areal terluas di dunia, produksi nasional Indonesia masih berada di peringkat kedua di bawah Thailand, karena produktivitas rata-ratanya lebih rendah.
Produk setengah jadi dari pabrik ini selanjutnya digunakan sebagai bahan baku oleh industri hilir berbasis karet alam, terutama ban kendaraan, barang jadi lateks, barang jadi karet untuk industri, dan barang jadi karet lainnya.
Dengan kata lain, industri yang bergantung pada pasokan karet alam petani tersebut terutama adalah pabrik ban selain industri lain. Di samping itu, sejumlah industri lain menyerap karet alam, seperti elektronika, konstruksi, infrastruktur, kesehatan, transportasi, pertambangan, komunikasi, dan rumah tangga.
Data Kementerian Perindustrian mencatat, pada tahun 2021 produksi karet alam Indonesia sebesar 3,04 juta ton. Dari jumlah itu, 2,4 juta ton diekspor, sedangkan konsumsi domestik hanya 0,6 juta ton.
Nilai ekspor karet alam Indonesia dalam beberapa tahun terakhir juga stagnan dan cenderung terus menurun.
Mengacu pada pohon industri karet alam, produk-produk industri yang dapat dikembangkan tergolong sangat luas, khususnya terkait dengan produk lateks, kayu, dan bijinya.
Namun, yang selama ini berkembang hanya yang terkait dengan produk lateks pekat (sarung tangan, kondom) dan RSS (ban). Adapun kayu masih terbatas untuk kayu lapis pengganti kayu hutan. Biji karet juga belum dimanfaatkan secara industri.
Dukungan terhadap industri tersebut juga datang dari perakitan teknologi baru hasil riset yang dikembangkan Pusat Penelitian Karet PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN). Sejak dua dekade lalu, RPN menyediakan bahan tanaman karet unggul yang tidak hanya menghasilkan lateks, tetapi juga cepat tumbuh. Oleh karena itu, dalam waktu lebih singkat, pohon karet dapat dipanen untuk memasok kebutuhan bahan baku kayu, baik untuk industri kayu lapis maupun perabot rumah tangga.
Penyadap yang memindahkan getah karet ke proses pembekuan di pabrik pengolahan karet PT Perkebunan Nusantara IX, Kebun Ngobo, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Rabu (26/7/2023).
Tantangan dan peluang
Secara umum, karet alam Indonesia saat ini menghadapi sejumlah tantangan. Di pasar global, karet berhadapan dengan tingkat harga yang fluktuatif. Harga karet alam di pasar global saat ini berkisar 1-1,5 dollar AS per kilogram, sedangkan pada masa jayanya di tahun 2011, harga karet alam mencapai 5-6 dollar AS per kilogram.
Pengembangan komoditas ini juga mesti bergelut dengan rendahnya produktivitas akibat kelemahan kinerja peremajaan karet rakyat yang sudah tua dan tekanan perubahan iklim yang intensif (El Nino dan La Nina).
Produktivitas juga terhambat oleh problem ketersediaan benih unggul. Kinerja produktivitas juga diperparah oleh belum tuntasnya penanganan yang efektif penyakit gugur daun yang menyebabkan produksi turun hingga 40 persen.
Mengharapkan harga kembali ke tingkat setinggi itu tentu tidak mungkin. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi lain yang lebih berpihak untuk menyelamatkan industri karet alam kita. Hal itu juga diperparah dengan tindakan rasional petani untuk mengonversi kebun karetnya ke tanaman lain yang lebih menguntungkan, khususnya kelapa sawit.
Oleh karena itu, dibutuhkan strategi lain yang lebih berpihak untuk menyelamatkan industri karet alam kita.
Di sisi lain, pengembangan industri hilir masih terbatas. Padahal, peluang pengembangan industri hilir karet ini sebenarnya sangat terbuka di dalam negeri.
Estimasi dari Pusat Penelitian Karet PT RPN pada 2020 dapat diserap 717.000 ton lebih karet alam untuk mendukung berbagai jenis industri barang jadi karet, mulai dari aspal karet, bantalan tahan gempa, jembatan, rel kereta api, paving blocks, alas kandang sapi, hingga sarung tangan.
Tak ketinggalan juga produk ban dan vulkanisir yang mencapai hampir 50 persen total serapan.
Peluang ini di satu sisi juga didukung dengan tersedianya teknologi untuk memanfaatkan lebih banyak karet alam untuk menggantikan bahan plastik dari minyak bumi, seperti thermoplastic elastomer.
Akan tetapi, lemahnya regulasi dan penyediaan sistem insentif fiskal untuk mendorong industri hilir menjadi penyebab lambannya pembangunan di subsektor ini.
Paradigma ekonomi sirkular menunjukkan peluang untuk meningkatkan keekonomian usaha berbasis karet alam ini dengan pendekatan end of life tire management (Dewan Karet Indonesia, 2023).
Pada prinsipnya, pemanfaatan ban-ban bekas yang biasa menimbulkan masalah lingkungan dikonversi menjadi produk-produk samping bernilai ekonomi, seperti carbon black, minyak bakar, gas sintetis, serta baja dan abu, dengan teknologi termolisis/pirolisis.
Selain itu, dengan tersedianya teknologi transesterifikasi menggunakan metanol, minyak biji karet dapat dikonversi menjadi biodiesel. Adapun lateks dapat dikonversi menjadi bensin bio-hidrokarbon dengan proses perengkahan katalitik (Soeriawijaja, 2023).
Dengan demikian, ketergantungan bahan baku kedua produk tersebut saat ini pada kelapa sawit dapat dikurangi. Produk minyak sawit juga dapat lebih fokus untuk mendukung industri pangan.
Mencari solusi
Dari simposium International Rubber Research Development Board (IRRDB) Agustus lalu di Bangkok, Thailand, diperoleh gambaran bagaimana negara produsen karet alam seperti Thailand dan Malaysia mampu menyejahterakan petani karetnya.
Di Thailand dibentuk lembaga tingkat nasional yang bernama Rubber Authority of Thailand (RAoT) yang mendapat dana 8 baht per kilogram karet dari total ekspor 4,8 juta ton senilai Rp 15,4 triliun.
Dana ini digunakan untuk mendukung kegiatan peremajaan karet rakyat, promosi, pengembangan produk, riset, dan operasionalisasi lembaga.
Hal yang sama terjadi di Malaysia. Di negeri jiran ini, Malaysian Rubber Board mendapat alokasi dana dari pemerintah sebesar 0,2 persen dari nilai ekspor karet untuk tujuan yang sama, terutama untuk peremajaan karet tua.
Mengambil pelajaran dari kedua negara ini, sudah waktunya Pemerintah Indonesia memperhatikan program penguatan karet alam nasional. Hal itu dapat dilakukan dengan alokasi dana yang berasal dari pelaku industri karet nasional. Dana dapat dimanfaatkan oleh komunitas pelaku usaha, termasuk untuk riset dan pengembangan teknologi hilir.
Rasionalisasi kapasitas pabrik karet remah juga perlu dilakukan mengingat sudah terjadi overkapasitas. Keberadaan badan kerja sama regional seperti Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle (IMTGT) dan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) perlu dimanfaatkan untuk bersinergi dengan Dewan Karet Indonesia dalam memperkuat industri berbasis karet alam di Indonesia.
Mengharapkan harga karet dunia kembali ke tingkat tahun 2011 adalah hal yang mustahil. Oleh karena itu, pilihan ekonomi sirkular menjadi satu-satunya yang tersedia saat ini, termasuk produksi bahan nabati dari minyak biji karet dan lateks.
Dengan langkah-langkah ini, petani karet yang sudah lama sekarat akan dapat memperoleh obat yang mujarab.
Didiek Hadjar Goenadi Ketua Umum Asosiasi Inventor Indonesia, Profesor Riset Pusat Penelitian Kelapa Sawit