Bursa Karbon Bukan Arena Sulap
Bursa karbon bukan arena sulap yang kehadirannya serta merta menghapus begitu saja emisi GRK. Diperlukan proses panjang dan berbagai langkah untuk menjadikannya memiliki peran lebih bermakna.
Tanggal 26 September 2023 menjadi detak pertama mulai berputarnya jarum jam perdagangan karbon di Indonesia melalui bursa karbon, dengan IDXCarbon sebagai penyelenggaranya. Pada setiap transaksi di bursa tersebut, tersemat harapan akan adanya penurunan emisi karbon penyebab krisis iklim. Ya, ini bukan pasar bursa biasa.
Perdagangan karbon merupakan salah satu bentuk komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris yang diharapkan mendorong pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC) diperkuat dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK), yaitu 31,89 persen dengan kemampuan sendiri, atau 43,20 persen dengan bantuan internasional pada 2030.
Sebagai tindak lanjutnya, pemerintah menerbitkan sejumlah perangkat regulasi terkait pasar karbon. Salah satunya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon.
Baca juga: Bursa Karbon Diluncurkan, Potensinya Capai Rp 3.000 Triliun
Berdasarkan perpres tersebut, perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi GRK melalui kegiatan jual beli kredit karbon. Dalam mekanisme ini, emisi GRK diberi harga atau yang biasa dikenal Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Tujuannya, agar emisi karbon mahal sehingga penghasil emisi mengurangi, atau bahkan, menghentikan produksi emisi GRK. Sederhananya, ini adalah insentif untuk mengurangi emisi.
Kredit karbon diterbitkan dalam bentuk Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE-GRK) atau Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi bagi Pelaku Usaha (PTBAE-PU). Keduanya menjadi obyek fisik yang diperjualbelikan dalam ekonomi karbon.
Pertanyaannya, apakah perdagangan nilai ekonomi karbon ini akan benar-benar memberikan dampak signifikan terhadap penurunan emisi karbon di Indonesia?
Menurut Bank Dunia (2023), selain Indonesia ada 39 negara dan lebih dari 20 kota/provinsi yang menerapkan mekanisme nilai ekonomi karbon, baik dalam bentuk perdagangan karbon maupun pajak karbon. Secara keseluruhan, nilai ekonomi karbon yang ada saat ini mencakup sekitar 13 persen emisi GRK global tahunan.
Dalam risetnya berjudul “Does carbon pricing reduce emissions? A review of ex-post analyses”, yang diterbitkan Jurnal IOP Science pada 2021, Profesor Jessica F Green menemukan angka yang jauh lebih kecil. Berdasarkan tinjauan meta terhadap evaluasi kuantitatif ex-post kebijakan nilai ekonomi karbon di seluruh dunia sejak 1990. Ia menemukan dampak penerapan nilai ekonomi karbon terhadap emisi terbatas atau kurang signifikan, yaitu rata-rata hanya berkisar antara 0 hingga 2 persen per tahun.
Menurut Green, ada beberapa sebab utama mengapa nilai ekonomi karbon, khususnya perdagangan emisi karbon, kurang berdampak signifikan terhadap penurunan emisi. Pertama, harga karbon terlalu rendah dibandingkan rata-rata 'biaya sosial karbon' (social cost of carbon/SCC). Kedua, persoalan kualitas kredit karbon. Ketiga, hambatan politik dan tingginya pengaruh perusahaan-perusahaan emiter dalam menentukan kebijakan karbon, termasuk penentuan harga.
Seperti banyak negara berkembang, Indonesia menetapkan harga karbon relatif rendah, yaitu 2-18 dollar AS per ton.
Biaya sosial karbon (SCC) merupakan biaya dampak emisi GRK terhadap lingkungan dan kesehatan, yang nilainya berkisar antara 80 dollar AS hingga 300 dollar AS per ton. Sementara, berdasarkan survei Bank Dunia 2020, harga karbon dari 61 kebijakan nilai ekonomi karbon di seluruh dunia rata-rata lebih rendah dari 10 dollar AS. Selain tak seimbang dengan SCC, harga yang rendah ini bertentangan dengan target ambisius pengurangan emisi karbon.
Seperti banyak negara berkembang, Indonesia menetapkan harga karbon relatif rendah, yaitu 2-18 dollar AS per ton. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara yang lebih lama menerapkan perdagangan karbon, seperti Korea Selatan yang mematok hingga 30 dollar AS per ton (Kontan, 21 Juli 2023).
Bahkan, Swedia menetapkan harga karbon sebesar 122 Euro. Harga yang tinggi berkorelasi terhadap capaian penurunan emisi karbon di negara tersebut, yang mencapai rata-rata 17 persen per tahun atau yang tertinggi di dunia (Green, 2021).
Kualitas dan integritas kredit karbon merupakan tantangan paling problematik dalam perdagangan karbon. Kegagalan menyelenggarakan kredit karbon berkualitas, andal, dan berintegritas, tidak hanya akan menghasilkan kegagalan penurunan emisi karbon, tetapi juga rendahnya permintaan pasar, tumbuh suburnya praktik greenwashing, bahkan, konflik sosial.
“Unholy Trinity”
Untuk menghasilkan kredit karbon berkualitas dan berintegritas, hal yang harus dipastikan adalah terpenuhinya prinsip additionality, menghindari leakage, dan mencegah non-permanence. Tiga hal yang kerap disebut pengamat pasar karbon sebagai Unholy Trinity.
Prinsip additionality berarti bahwa insentif tambahan yang diciptakan oleh kemungkinan penjualan kredit karbonlah yang mendorong pelaksanaan kegiatan atau proyek mitigasi. Untuk mengukur additionality, sangat penting untuk mempertimbangkan pengaruh faktor finansial, ekonomi, hukum atau teknologi terhadap kelangsungan proyek.
Namun, di negara yang menghadapi problem tenurial kompleks, seperti Indonesia, penentuan additionality memerlukan pertimbangan-pertimbangan lebih komprehensif, seperti faktor sosial, budaya, lingkungan, dan lain sebagainya. Pertimbangan-pertimbangan ini misalnya sangat diperlukan untuk proyek kredit karbon di kawasan hutan yang berpotensi terjadi sengketa antara perusahaan dan masyarakat adat atau lokal.
Tanpa pendekatan yang komprehensif, tidak saja proyek offset akan gagal merepresentasikan pencegahan deforestasi yang additional, tetapi juga dapat memicu konflik.
Baca juga: Bisnis Perdagangan Karbon
Tanggal 27 Maret 2023, Reuters melaporkan fakta menarik, yaitu Verra telah menangguhkan penerbitan kredit karbon untuk Proyek REDD+ Jari di Para, Brasil untuk lahan seluas 497.000 hektar di hutan hujan Amazon. Terungkap, dari 94,9 juta karbon kredit yang disertifikasi melalui Verra, hanya 5,5 juta kredit yang merepresentasikan pengurangan emisi GRK yang nyata. Proyek tersebut menjual kredit karbon dari lahan milik masyarakat secara sepihak. Penjualan kredit karbon itu juga memicu sengketa lahan, salah satunya karena kompensasi kepada para pemilik lahan tidak transparan dan kredibel.
Perdagangan karbon berkualitas bukanlah proyek karbon yang dilakukan dengan mengurangi emisi karbon di lokasi proyek karbon dan menghasilkan emisi karbon di luar lokasi proyek (leakage). Terlebih jika dijadikan modus memindahkan deforestasi, pencemaran, maupun kerusakan ekosistem, ke tempat lain.
Selain itu, perdagangan karbon harus bersifat permanen dan mencegah ketidakpermanenan. Pengurangan emisi GRK di sektor kehutanan rawan tidak permanen karena rentan terjadi alih fungsi lahan. Di sinilah pentingnya menetapkan status kawasan buffer atau pun kebijakan moratorium untuk kawasan hutan yang menjadi proyek penurunan emisi GRK. Sayangnya, penetapan kawasan buffer permanen ini belum ditegaskan dalam aturan perundangan terkait perdagangan karbon di Indonesia.
Akuntabilitas dan transparansi
Hal pertama yang mendesak dilakukan untuk mencegah tantangan-tantangan di atas adalah memperkuat akuntabilitas dan transparansi perdagangan karbon. Hal ini membutuhkan instrumen yang dapat diacu sebagai safeguard. Peraturan Menteri LHK 21/2022 telah menetapkan standar dan pedoman pelaksanaan sistem verifikasi legalitas dan kelestarian (SVLK) yang dapat dijadikan dasar safeguard. Namun, ke depan SVLK perlu lebih diperkuat dengan penanganan risiko pemindahan emisi (leakage) dan risiko ketidakpermanenan yang masih belum diatur dalam permen itu.
Akuntabilitas juga membutuhkan sistem validasi dan verifikasi yang tangguh. Oleh karena itu, SRN-PPI dan Komite Akreditasi Nasional (KAN) beserta Lembaga Validasi dan Verifikasi (LVV) sebagai mekanisme kunci untuk memvalidasi dan memverifikasi, harus benar-benar diperkuat. Tidak hanya secara kelembagaan, pengawasan kinerja dan integritasnya, tetapi juga kemampuan dan jangkauannya dalam pengumpulan data yang akurat, serta jangkauan validasi dan verifikasinya. Dengan demikian, sertifikat PTBAE-PU dan SPE-GRK yang dihasilkan benar-benar kredibel.
Transparansi juga perlu menyangkut pada penetapan harga karbon dan penyelenggaraan bursa karbon. Harga karbon yang terlalu rendah akan berdampak kepada rendahnya pencapaian penurunan emisi. Selain itu, perdagangan karbon harus menjadi skenario transformasi sosial untuk keadilan distribusi aset dan mengatasi ketimpangan pendapatan sosial.
Baca juga: Membangun Pasar Karbon Berintegritas
Data dan fakta di atas memang menunjukkan dampak perdagangan karbon terhadap pengurangan emisi belum signifikan. Namun, bursa karbon bukan arena sulap yang kehadirannya serta merta menghapus begitu saja emisi GRK. Diperlukan proses panjang dan berbagai langkah untuk menjadikannya memiliki peran lebih bermakna.
Ada hal-hal yang sesungguhnya lebih urgen yang kita tak dapat tunda pelaksanaannya untuk mengurangi emisi GRK, di antaranya: pengurangan penggunaan bahan bakar fosil; pengembangan energi terbarukan yang adil, demokratis, dan berkelanjutan; dukungan kepada petani untuk transisi agroekologi menuju kedaulatan pangan; menghentikan deforestasi; dan lain sebagainya. Tanpa itu semua, mitigasi perubahan ikim hanya ilusi.
Muhamad Burhanudin, Spesialis Kebijakan Lingkungan pada KEHATI Foundation