Presiden dan Politisasi Intelijen Menjelang Pemilu 2024
Intelijen harus ditempatkan sebagai institusi yang profesional. Politisasi intelijen akan menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas penilaian dan keputusan Presiden sebagai pengguna akhir intelijen.
Beberapa waktu yang lalu ruang publik kembali ramai oleh pernyataan Presiden Joko Widodo mengenai Presiden memegang informasi intelijen terkait arah dukungan partai pada Pilpres 2024 (Kompas, Partai Politik Bukan Obyek Pemantauan Intelijen, 18 September 2023).
Sebelumnya, pada Mei 2023, ruang publik juga gaduh karena pernyataan Presiden mengenai cawe-cawe atau ikut menangani terkait kepastian penyelenggaraan Pemilu 2024 berlangsung secara demokratis, jujur, dan adil. Dalam hal ini, Presiden memberikan konteks bahwa cawe-cawe yang dilakukan untuk kepentingan nasional, bukan kepentingan calon presiden dan calon wakil presiden (Kompas, Presiden: Cawe-cawe untuk Negara, 30 Mei 2023).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Kegaduhan ruang publik yang dirasakan oleh organisasi masyarakat sipil dan pengamat yang memiliki atensi pada isu reformasi sektor keamanan bukan tanpa alasan. Hal ini didasarkan kepada pernyataan cawe-cawe yang juga berarti ikut mengatasi dan pernyataan Presiden menggunakan data intelijen untuk mengetahui arah dukungan parpol memiliki korelasi.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Ingatkan Presiden soal Data Intelijen
Baca juga: Kesempatan Tak Datang Berkali-kali, untuk Kemajuan Bangsa Jokowi Akui Cawe-cawe
Memang, pertalian antara cawe-cawe dan penggunaan data intelijen tersebut telah disangkal oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Namun, kesadaran atas potensi penyalahgunaan intelijen oleh Presiden ataupun pejabat tinggi negara lainnya perlu direkatkan ke dalam pikiran dan sanubari setiap warga negara yang berkomitmen kepada demokrasi konstitusional yang sehat.
Selanjutnya, komitmen terhadap demokrasi konstitusional telah mengisyaratkan adanya pembatasan kekuasaan presiden terhadap penggunaan alat negara seperti intelijen, serta adanya rumusan ketentuan secara rinci dan jelas terkait peran, tugas, dan wewenang intelijen. Oleh karena itu, kita perlu melihat kembali secara mendalam hakikat intelijen di dalam ekosistem demokrasi konstitusional.
Pertama, pengertian intelijen mengandung makna yang jamak. Dalam ihwal ini, intelijen merupakan informasi yang bersifat terbuka atau tertutup sekaligus kesimpulan yang didapatkan atau diberikan kepada pengguna sebagai respons terhadap suatu kondisi tertentu.
Lalu, intelijen sebagai suatu pranata yang di dalamnya terdapat fungsi, aktivitas, dan struktur organisasi yang beragam, yang terlibat di dalam mekanisme kerja seperti; perencanaan, pengumpulan informasi, dan analisis yang bernilai bagi pengambil kebijakan atau keputusan. Terakhir, intelijen merupakan produk yang dihasilkan dari kegiatan pengumpulan, penyusunan, analisis, evaluasi, integrasi, dan interpretasi terhadap seluruh informasi yang berhasil dikumpulkan (Goldman dan Maret, 2016).
Intelijen adalah lini pertama dalam sistem keamanan nasional, yang melakukan deteksi dan peringatan dini kepada pembuat keputusan.
Kedua, alasan keberadaan intelijen merupakan suatu sistem yang menyajikan suatu informasi secara cepat dan akurat kepada pembuat kebijakan yang berkenaan dengan potensi ancaman terhadap keamanan nasional. Oleh karena itu, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara (UU Intelijen Negara) menggarisbawahi intelijen adalah lini pertama dalam sistem keamanan nasional, yang melakukan deteksi dan peringatan dini kepada pembuat keputusan.
Hal demikian dipertegas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-X/2012 yang mengokohkan konsiderans UU yang berkaitan dengan fungsi deteksi dan peringatan dini, sehingga memberikan tuntutan normatif bagi intelijen untuk senantiasa profesional, dan menjunjung tinggi hukum, prinsip-prinsip demokrasi, dan perlindungan hak asasi manusia.
Terakhir, adanya pembedaan ruang lingkup dan fungsi intelijen negara telah membentuk suatu komunitas intelijen. Bertolak atas komunitas intelijen tersebut menciptakan suatu jaringan kerja yang kompleks yang mengolah suatu data mentah menjadi suatu produk akhir intelijen yang sesuai dengan kebutuhan pembentuk kebijakan.
Dalam latar UU Intelijen Negara, maka komunitas intelijen terdiri atas beberapa institusi, yakni Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia (BAIS TNI), Badan Intelijen Keamanan Kepolisian Republik Indonesia (Baintelkam Polri), Intelijen Kejaksaan Republik Indonesia, serta lembaga intelijen kementerian atau lembaga pemerintah non-kementerian.
Dilema konstitusional
Dengan demikian, berdasarkan uraian hakikat intelijen, maka secara fundamental setiap negara yang berdaulat membutuhkan peran intelijen dalam melakukan surveilans dalam kerangka keamanan nasional sehingga intelijen menjadi bagian yang integral dari penyelenggaraan pemerintahan negara. Namun, peristiwa Presiden Jokowi mengandalkan informasi intelijen untuk memantau arah dukungan parpol sehingga memiliki potensi korelasi dengan upaya cawe-cawe telah menimbulkan dilema konstitusional, atau suatu kondisi yang memunculkan tantangan atau permasalahan yang kompleks terhadap implementasi prinsip-prinsip demokrasi konstitusional.
Dilema konstitusional tersebut telah menunjukkan tindakan Presiden sebagai pengguna akhir informasi intelijen yang dijamin oleh hukum terjadi tidak sebagaimana semestinya. Alih-alih informasi intelijen digunakan untuk menentukan kebijakan tepat untuk mengatasi potensi ancaman terhadap keamanan nasional, dalam peristiwa tersebut intelijen digunakan untuk memantau manuver dan strategi parpol menjelang pemilihan umum.
Maka, dalam arti yang lugas telah terjadi politisasi intelijen. Diartikan, sebagai timbulnya suatu situasi ketika data intelijen yang dihasilkan memiliki kecenderungan yang sama dengan pandangan dan agenda politik pengambil keputusan akhir sehingga kesimpulan intelijen yang tersaji adalah kesimpulan intelijen yang menyenangkan pengambil keputusan (Clark, 2007).
Baca juga: Orkestrasi Intelijen
Politisasi intelijen tentu akan menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas penilaian dan keputusan yang diambil oleh Presiden sebagai pengguna akhir intelijen. Hal ini terjadi oleh karena beberapa kondisi. Pertama, kekuasaan akan mengendalikan temuan, penilaian, dan kesimpulan intelijen untuk mendukung agenda politik yang sudah ditetapkan dan menghilangkan informasi yang bertentangan dengan agenda tersebut.
Kedua, politisasi intelijen akan melemahkan mekanisme pengawasan, tata kelola organisasi yang baik, dan kepatuhan terhadap protokol yang berlaku. Terakhir, politisasi intelijen yang dilakukan secara konstan akan mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga intelijen sehingga timbul suatu anggapan hasil analisis intelijen hanya menguntungkan agenda politik tertentu.
Dengan demikian, politisasi intelijen adalah bagian dari dilema konstitusional tersebut sehingga memerlukan kesadaran politik presiden untuk memahami bahwa parpol dan dinamika politik yang terjadi menjelang Pemilu 2024 bukan merupakan ancaman bagi keamanan nasional, akan tetapi konsekuensi komitmen kita terhadap demokrasi.
Sebagai penutup, kita perlu menarik pelajaran yang berharga yang bertolak dari fenomena politik tersebut. Pertama, Presiden sebagai seorang negarawan perlu mengedepankan pengendalian diri atas kekuasaannya. Dari sudut pandang etika Jawa (Franz-Magnis Suseno, 1985), kendali atas diri dan perhatian batin diperlukan untuk memusatkan kekuasaan pada tujuannya, dalam tradisi republikan tujuan tersebut terletak pada kebaikan bersama atau kesejahteraan umum.
Kedua, untuk mengendalikan politisasi intelijen lebih-lebih terjadi di dalam pemilu, maka institusi intelijen perlu dikembalikan ke karakter dasarnya yakni; independensi dan obyektif. Kembali karakter dasar berarti menempatkan institusi intelijen sebagai institusi yang profesional. Kondisi ini juga mencegah jatuhnya institusi intelijen ke dalam situasi kegagalan intelijen yang menggambarkan gagalnya intelijen dalam merespons ancaman keamanan nasional secara akurat.
Baca juga: Jalan Sunyi di Era Keterbukaan
Dalam arti lain juga, publik menginginkan institusi intelijen yang memiliki kapasitas estimasi yang dapat diandalkan. Layaknya ketika Jenderal Eisenhower sebagai pemimpin tertinggi pasukan sekutu dalam Perang Dunia II mengandalkan informasi intelijen mengenai estimasi cuaca sehingga ia memutuskan Operasi Overlord pada 6 Juni 1944 dilakukan di Pantai Normandia, yang sebelumnya ditetapkan pada 5 Juni 1944 sehingga menuai keberhasilan operasi militer tersebut (C Bayu Risanto, Majalah Basis, 2023).
Terakhir, peristiwa penyalahgunaan informasi intelijen tersebut menjadi penanda bagi penyelenggara negara untuk memperhatikan dan menegakkan kembali etika intelijen. Penegakan etika di dalam komunitas intelijen menjadi krusial terlebih di tahun politik untuk melindungi kebebasan sipil dan hak politik warga negara, menjaga kepercayaan publik, mengarahkan intelijen kepada prinsip profesionalitas dan akuntabilitas, dan tentu mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
D Nicky Fahrizal, Peneliti Hukum dan Keamanan Departemen Politik dan Perubahan Sosial, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta