Orang dulu punya waktu menunggu batik selesai dalam 3-6 bulan untuk menghadiri resepsi yang lama direncanakan. Orang sekarang punya rapat, kondangan, peluncuran ponsel baru, sampai sosialisasi pemilu dalam seminggu.
Oleh
LYNDA IBRAHIM
·5 menit baca
Sejak batik Indonesia mendapatkan pengakuan dari UNESCO sebagai warisan dunia nonbendawi pada 2 Oktober 2009, setiap tahun berbagai acara digelar. Pameran batik antik, bazar batik, diskusi publik, dan bahkan kumpul-kumpul dengan dress code batik. Saat pandemi pun, banyak acara batik via Zoom. Beberapa diskusinya bahkan lebih dalam dibanding pra-pandemi karena orang lebih punya waktu berbagi atau mendengarkan orang lain.
Sejak prapandemi sampai sekarang, sebuah tantangan yang acap didiskusikan adalah membuat pembatik bertahan. Tiap hal ini muncul, kepala Lynda yang tralala berwastra akan berganti menjadi Lynda yang sekolah bisnis. Bukan karena tak patriotis, melainkan bertahan dagang, ya, memang intinya bisnis. Bisnis berjalan kalau permintaan dan pasokan bertemu di titik harga dan volume teroptimal bagi pembeli dan penjual. Bagaimana permintaan dan pasokan batik sekarang?
Oleh karena ini kolom Minggu pagi dan bukan kuliah teori ekonomi, saya mencoba pendekatan kualitatif. Observasi. Dan sedikit menggali sejarah. Bila dilihat dari foto atau film lama, mungkin batik terakhir dipakai sehari-hari pada dekade 1950-an. Setelah itu kain/sarung batik cenderung dipakai pada acara formal, terutama oleh wanita karena pria cenderung berbusana modern. Saya percaya kalau saja pada 1980-an almarhum Iwan Tirta tak beride genius mengubah kain batik jadi kemeja formal, mungkin batik praktis lenyap dari khazanah busana pria Indonesia.
Batik lalu punya peran baru sebagai salah satu seragam sekolah. Sayangnya, saat saya bersekolah, tak disertai pembekalan cukup tentang kedalaman filosofi dan kerumitan tekniknya. Karena itu, batik jadi salah satu warisan budaya yang melulu wajib dicintai tanpa diberi rute untuk dipahami.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Perajin batik asal Indramayu, Sawinah, mendemonstrasikan cara membuat batik tulis complongan pada acara Gelar Batik Nusantara 2023 yang digagas Yayasan Batik Indonesia di Senayan Park, Jakarta, Rabu (2/8/2023).
Benar, satu-dua dasawarsa ini, batik melenggang mulai dari pameran bergengsi adiwastra dengan harga setara uang muka rumah kecil di Jakarta sampai lapak ITC dengan harga sedikit di atas sarapan McDonald’s untuk berdua. Teman ekspat pernah menyeletuk bahwa tiada Sabtu-Minggu di mal-mal Jakarta tanpa bazar pakaian batik.
Berarti dari sisi permintaan naik, dong, jadi kelangsungan apa yang dikhawatirkan? Di sini banyak orang meleset. Batik yang warisan budaya luhur sampai dapat penghargaan UNESCO adalah kain yang motif dan warnanya datang dari filosofi dan diproses oleh tangan (batik tulis dan batik cap), bukan tekstil bermotif batik (”batik” cetak). Yang banyak dalam keseharian kita adalah ”batik” cetak.
Mengapa? Pengerjaan batik tulis dan cap memerlukan waktu lama, sumber daya manusia dengan keterampilan khusus, bahkan tergantung alam (sumber pewarna, sinar matahari untuk menjemur di antara pewarnaan, dan lain-lain). Derap kehidupan zaman dulu lebih lambat dan mungkin juga dengan kalender sosial yang tak sepadat sekarang kecuali Anda orang terpandang. Orang dulu punya waktu menunggu batik selesai dalam 3-6 bulan untuk menghadiri resepsi yang lama direncanakan. Orang sekarang punya rapat, kondangan, peluncuran ponsel baru, sampai sosialisasi pemilu dalam seminggu. Tak semua acara cocok memakai wastra tradisional, yang cocok pun umumnya dalam siluet modern.
Siluet busana modern memerlukan kain digunting dan dipola. Benar ada inovasi jenius lainnya di Indonesia untuk batik yang sudah dipolakan kemeja pria, sampai beberapa tokoh publik terkenal dengan kemeja batik tulisnya yang super keren saat tampil di kamera, tetapi nyaris tak ada untuk siluet pakaian modern lainnya. Batik tulis dan cap karena produksinya lama dan butuh keterampilan khusus manusia, akan selalu lebih mahal harganya daripada ”batik” cetak, membuat banyak orang sayang memotongnya. Yang berlimpah uang pun kerap sayang memotong narasi indah yang terbentang dalam tiap helai. Karena pemakaian terbatas dan harga tak murah, wajar permintaan jadi terbatas.
Agar warisan batik tetap hidup, edukasi diperlukan sejak jenjang pendidikan formal. Bukan hanya batik, namun juga tentang tenun, jumputan, dan kriya lainnya.
Belum lagi kalau kita bahas bahwa tak semua kegiatan cocok pakai kain batik klasik. Kalau saya berkain batik ke kelas yoga dan panjat tebing, bukan saja tak nyaman, bisa robek saat meregangkan badan. Ibu zaman dulu mengejar anak sambil berkain panjang, tetapi itu di halaman rumah dan bukan keliling area Kidzania skala sekarang. Perempuan dulu bisa naik andong dan trem berkain lilit, tapi tak bisa disamakan dengan keleluasaan gerak yang dibutuhkan di T3 Soekarno-Hatta atau mengarungi Heathrow sampai masuk London, ya, Gusti. Batik yang cocok di sini hanya motif batik dalam tekstil modern. Tak heran sering saya ketemu orang yang diwarisi batik tulis halus selemari cuma menyimpan sedikit untuk kenangan—sisanya dibagikan atau ditadah penjual batik lawasan.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Aktivitas penjemuran kain sarung yang menjadi industri rumahan di Kampung Kertoharjo, Kecamatan Pekalongan Selatan, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa (23/5/2023). Setelah beberapa waktu terdampak pandemi sentra kerajinan batik di Pekalongan kembali berangsur pulih. Perajin kembali memproduksi kerajinan batik dari penyediaan kain, pewarnaan, batik cap hingga batik tulis. Pemesanan kerajinan batik dan turunannya kembali menerima pesanan dan memasarkan kembali ke sejumlah daerah.
Karena keterbatasan ruang kolom, saya belum mengulas faktor perubahan cara berkonsumsi, di mana orang tak lagi mementingkan kepemilikan barang, tapi beralih menikmati pengalaman. Merawat kulit dan berwisata, misalnya.
Nah, permintaan terbatas akan mengurangi insentif memproduksi pasokan. Saya menghargai didirikannya SMK khusus batik di beberapa provinsi, tetapi satu-dua dekade ini mengunjungi usaha batik aktif saya jarang sekali melihat pembatik berusia 20-an. Bahkan, untuk batik cap, yang dikerjakan pria karena butuh kekuatan fisik mengoperasikan besi panas sekian jam, saya jarang bertemu pria muda. Bukannya Indonesia defisit pekerja usia produktif, tetapi bisa dipahami mereka lebih terinsentif bekerja di pabrik yang butuh keterampilan rendah tetapi diupah UMR setara pembatik yang harus tekun belajar memegang canting, mencari ilham motif, dan menarik garis dalam satu tarikan napas.
Akankah batik tulis dan cap mati? Tidak. Tapi dari pengamatan saya, pasarnya akan makin mengerucut bukan saja ke kelas atas, namun juga ke demografi yang padat berkegiatan dan butuh tampil menawan dalam balutan warisan budaya. Selebihnya yang beredar adalah ”batik” sebagai motif tekstil yang akan dipakai mulai dari seragam murid/pegawai, busana kerja/santai, busana formal, bahkan bagi sebagian orang, dan perangkat dekorasi rumah. Lebih dari sekarang, batik akan makin terpolarisasi. Apa lantas lapangan pekerjaan jadi berkurang? Tidak juga. Mencetak motif batik bisa dilakukan sebagai divestasi usaha perusahaan batik.
Agar warisan batik tetap hidup, edukasi diperlukan sejak jenjang pendidikan formal. Bukan hanya batik, namun juga tentang tenun, jumputan, dan kriya lainnya. Banyak orang Indonesia yang mabok shiboriJepang tanpa paham itu esensinya jumputan; bahkan ada jurnalis yang mengelirukan tenun ikat dengan tie-dye (bahasa Inggris untuk jumputan). Bila paham filosofi dan teknis, lebih mudah digugah melestarikan ketimbang selalu ditodong bersikap patriotis.