Pesan Manis dari Tabebuya Kemang
Selama sepekan bunga tabebuya di Kemang bermekaran, warga berdatangan dan mengabadikannya. Pohon dan ruang terbuka hijau masih jadi barang langka.

Neli Triana
Panas meradang di Kemang. Jumat pagi di pengujung September, rata-rata kafe ataupun restoran di ikon hiburan di Jakarta Selatan itu masih tutup. Area tersebut lapang dan terang, hasil penataan sejak 2019. Di trotoar lebar lagi rapi, ada tegakan-tegakan pohon walau tak rapat, juga kursi-kursi taman.
Di trotoar Kemang, pada 15-23 September lalu, beberapa pohon tabebuya berbunga. Berwarna ungu dan putih, bunga tersebar di seluruh tajuk dan ranting pohon. Sontak warga berdatangan ingin melihat bunga tabebuya mengambil alih daun hijau. Fantasi berkembang bak sedang di Jepang saat musim semi tiba dan sakura bermekaran.
Sayangnya, setelah sepekan, bunga-bunga berguguran. Tinggallah pohon-pohon setinggi 6-7 meter yang belum dewasa benar. Jangkauan tajuknya paling berdiameter 3-4 meter saja. Daun hijau pun belum lebat lagi. Kemang kembali seperti semula. Terjangan sinar matahari terpantul dari beton trotoar.
Baca Juga: Transportasi Publik hingga ”Tenant” Favorit Sulap Mal Sepi Jadi Ramai
Penataan trotoar Kemang menjadi program unggulan untuk membuat kawasan ikon Jakarta Selatan itu lebih baik. Program itu diterapkan setelah lebih dulu dilakukan di Jalan Sudirman-MH Thamrin. Pada 2021, program sama berjalan di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Secara sporadis, kebijakan serupa diimplementasikan di sebagian ruas jalan atau area lain di Ibu Kota.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F10%2F02%2F6b67d4cc-8261-4d14-9350-4e3db829e920_jpg.jpg)
Suasana di sepanjang jalan Jalan Ir Soekarno atau MERR pada Jumat (1/10/2021) ketika bunga tabebuya mulai mekar dengan warna beragam.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F29%2F8b1eda48-14ac-423c-87e8-72fceb2518da_jpg.jpg)
Trotoar di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Jumat (29/9/2023). Pertengahan September lalu, bunga tabebuya yang bermekaran menarik banyak orang.
Hasil penataan trotoar itu pun mirip. Jalur pejalan kaki menjadi rapi, lebar, nyaman dilalui, walau masih belum sepenuhnya terkoneksi antarkawasan ataupun dengan angkutan umum. Ciri lainnya, pohon-pohon ditanam di sepanjang trotoar.
Namun, seperti halnya di Kemang, rindang pohon yang diidamkan untuk memayungi pejalan kaki sepanjang trotoar belum tercipta. Apalagi membantu menurunkan suhu udara di tengah cercaan panas ataupun mengurangi polusi.
Jalur hijau sejatinya bagian dari ruang terbuka hijau (RTH). Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya di Pasal 17, diatur bahwa demi pelestarian lingkungan dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 persen dari luas daerah aliran sungai di kabupaten/kota.
Baca Juga: Ribuan Liter ”Water Mist” Versus Air Bersih yang Tersendat
UU Penataan Ruang diperkuat Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau. Pada Permen Agraria itu, RTH paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota atau kawasan perkotaan. RTH terdiri atas RTH publik paling sedikit 20 persen dan RTH privat (milik pribadi atau swasta) paling sedikit 10 persen.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F13%2Fb0ca61e3-b88d-45e4-b1cb-370dec9a1d7d_jpg.jpg)
Warga beristirahat di Taman Tangkuban Perahu, Kelurahan Guntur, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu (13/9/2023).
Penyediaan RTH penting dilakukan demi kelestarian kota dan seisinya. RTH yang memadai mampu mengurangi tingkat polusi udara, turut menjaga ketersediaan air bersih, sampai menurunkan suhu hingga 2 derajat celsius. Berada dekat dengan pepohonan tinggi diyakini dapat mengurangi stres sehingga kesehatan mental terjaga.
Penyediaan RTH selain dengan RTH publik dan privat dapat pula dilakukan melalui pemanfaatan RTNH dan RTB. RTNH adalah ruang terbuka nonhijau berupa lahan diperkeras dengan material ramah lingkungan ataupun kondisi permukaan tertentu yang dapat ditanami tumbuhan. RTB atau ruang terbuka biru adalah lanskap badan air yang berfungsi sebagai penyedia jasa lingkungan.
Belum banyak kota di Indonesia yang memiliki RTH luas, apalagi mewujudkan tuntutan UU Penataan Ruang dan Permen Agraria. Tren pembangunan RTH disertai penataan trotoar ataupun membuat taman kota dan jalur baru bersemi 10-15 tahun terakhir. Pembangunan RTH tergolong kurang terakselerasi meskipun taman-taman kota apik sering viral akhir-akhir ini.
Baca Juga: Butuh Satu Kota untuk Membesarkan Anak
Surabaya di Jawa Timur menjadi salah satu kota paling maju dalam penyediaan RTH. Terhitung sampai 2022, kota ini memiliki 22 persen RTH dari total luas kawasannya.

Data RTH DKI Jakarta 2022 dari SIPSN-KLKH
Dari data Pengolahan Sampah dan RTH tahun 2022 di Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta kini baru memiliki kurang dari 5 persen RTH di lima wilayah kotanya. Khusus di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tercatat memiliki lebih dari 30 persen RTH karena terdiri atas banyak pulau tak berpenghuni serta hamparan lautan.
Hak atas RTH
RTH yang terbilang minim di perkotaan Indonesia diikuti sebaran kawasan ataupun jalur hijau yang tak merata. Di Jakarta dan kawasan sekitarnya, kondisi tersebut terlihat jelas. Jakarta Selatan menjadi salah satu tempat dengan taman terbanyak. Di Jakarta Utara, taman kota sedikit.
Di permukiman atau area utama yang identik dengan kelas masyarakat menengah ke atas, seperti di kawasan Menteng dan pusat bisnis dan pemerintahan di Sudirman-Thamrin, RTH tersedia melimpah.
Di kawasan padat seperti di sekitar Senen, Johar Baru, Tanah Abang di Jakarta Pusat atau di Tambora, Jakarta Barat, pohon rindang makin jarang ditemukan. Minimnya RTH sekaligus ruang terbuka publik membuat warga di permukiman padat mencari oase di lahan permakaman.
Baca Juga: Sultan, Vadim, dan Jalan sebagai Ruang Publik yang Terabaikan
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F24%2F21dd112f-a768-4297-9d7b-187d098266e6_jpg.jpg)
Tiga anak saling berebut layangan yang diberikan seorang remaja di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Prumpung, Jatinegara, Jakarta Timur, Kamis (24/8/2023).
Tempat Pemakaman Umum (TPU) Prumpung yang berada di Jatinegara di Jakarta Timur, TPU Grogol Kemanggisan di Jakarta Barat, dan TPU Tanah Kusir di Jakarta Selatan adalah tiga dari sekian banyak permakaman yang menjadi langganan tempat bermain warga. Di TPU-TPU itu anak-anak bermain bola dan layang-layang, orang dewasa mencari udara bebas melepaskan diri dari kepungan kepadatan kampungnya.
Padahal, warga kota apapun latar belakang ekonominya sama-sama memiliki hak atas RTH di dekat tempat tinggalnya. Hak ini seiring dengan hak lain termasuk hak atas keamanan maupun layanan kesehatan publik serta sarana prasarana penunjangnya.
Di kawasan kelas menengah ke bawah sampai area tempat kaum miskin kota berkumpul, ’hijau’ RTH makin memudar, bahkan gersang.
Kesenjangan pemenuhan hak atas akses inilah yang turut memicu orang mudah tertarik untuk datang ke taman kota maupun lokasi RTH walaupun jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalnya.
Sampai sekarang, misalnya, warga masih datang ke Sudirman-Thamrin untuk menikmati trotoar nyaman yang terhubung ke berbagai moda angkutan umum serta taman-taman publik. Warga berbondong-bondong ke Cikini, Kemang, Hutan Kota Gelora Bung Karno, hingga Taman Tebet untuk alasan serupa. Akses gratis, bisa menyesap udara terbuka yang segar, olah fisik atau bermain sesukanya, plus berswafoto dengan gaya estetik sepuasnya.
Baca Juga: Ironi di Negeri Sepeda Motor
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F07%2F138f26fd-ce51-4a89-b660-84c2f1258228_jpg.jpg)
Foto aerial Tebet Eco Park di Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (7/5/2023).
Fenomena kesenjangan atas akses ke RTH sebelumnya dipelajari serius di Amerika Serikat. Dari riset tersebut muncullah istilah ekuitas pohon perkotaan (Urban Tree Equity).
Laporan The New York Times (nytimes.com) pada 30 Juni 2021 dan College of Natural Resources News (cnr.ncsu.edu) pada 14 Juni 2023 memaparkan kualitas RTH makin bagus di lokasi elite yang dihuni kelas menengah ke atas, seperti di permukiman mewah. Di kawasan kelas menengah ke bawah sampai area hunian kaum miskin kota, ”hijau” RTH memudar, gersang.
RTH, menurut laporan The New York Times, tidak hanya sekadar memerangkap polutan udara sehingga membantu menghindari 670.000 kejadian gejala pernapasan akut setiap tahunnya. Kehadiran pepohonan turut meningkatkan kinerja pendidikan remaja, kesehatan mental, kesehatan fisik, dan hubungan sosial.
Baca Juga: Polusi hingga Krisis Sampah, 78 Tahun Pembangunan yang Tak Seimbang
Kanopi pohon yang terpelihara dengan baik bahkan dapat mengurangi beberapa jenis kejahatan dan menciptakan peluang ekonomi, termasuk karier, yang tidak dapat dialihdayakan untuk menanam dan memelihara pohon-pohon tersebut.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F30%2Fc8abce9d-5558-4c7e-b8cc-97b59ee9b3ca_jpg.jpg)
Warga duduk bersantai setelah berolahraga di Hutan Kota Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Minggu (30/7/2023).
Pada saat kerusakan lingkungan memicu pemanasan global dan berbagai bencana di semua sudut bumi, termasuk banjir, polusi, naiknya suhu udara, hingga kesulitan air bersih di kawasan urban, pembangunan kota yang memiliki RTH memadai tidak dapat ditawar lagi.
Pemerintah pusat dan daerah seharusnya menggenjot penyediaan RTH sesuai urgensi terwujudnya ruang hijau itu. Pemerataan pembangunan RTH menjadi pekerjaan rumah tersendiri untuk memenuhi tuntutan ekuitas pohon dan mengikis kesenjangan di perkotaan.
Seperti pohon tabebuya yang terus tumbuh dan bunga-bunga barunya kelak bakal bermekaran lagi, upaya membangun RTH perkotaan tak boleh surut. Ayo, terus banyak-banyak tanam pohon!
Baca Juga: Catatan Urban