Perundungan bisa menghancurkan mental anak-anak yang menjadi korban. Anak korban perundungan dua kali lebih besar kemungkinannya untuk melakukan percobaan bunuh diri.
Oleh
REDAKSI
·1 menit baca
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Garis polisi masih terpasang di salah satu ruang di SD Negeri 06 Petukangan Utara, Kecamatan Pegangsaan, Jakarta Selatan, Kamis (28/9/2023). Di sekolah ini, dua hari sebelumnya, seorang siswi meninggal setelah jatuh dari lantai empat sekolahnya. Dugaan sementara, siswi tersebut mencoba bunuh diri setelah menerima perundungan.
Sepuluh kasus bunuh diri anak pada 2023 tak sekadar angka, tetapi lonceng keras peringatan bagi kita untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan anak.
Kasus SR (13), siswi sekolah dasar di Jakarta Selatan yang meninggal setelah jatuh diduga karena melompat dari lantai empat sekolahnya, kembali membuat kita terenyak. Pada Januari lalu, SN (14), siswi SMP di Jakarta, pun tewas setelah terjun dari lantai empat sekolahnya. Beberapa bulan terakhir, sejumlah kasus bunuh diri anak juga ada di media massa.
Selama Januari-September 2023, berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terjadi 10 kasus bunuh diri anak, meningkat 10 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu (Kompas.id, 28/9/2023). Lebih memprihatinkan, 60 persen merupakan korban perundungan.
Perundungan merupakan bentuk kekerasan paling umum di sekolah dan satu dari tiga dosa besar pendidikan yang kasusnya tak kunjung surut. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak, kekerasan terhadap anak di sekolah, termasuk perundungan, meningkat, dari 7,6 persen dari total kasus kekerasan terhadap anak pada 2022 menjadi 8,7 persen pada Januari-Agustus 2023.
KPAI mencatat, pada tahun 2022 ada 226 kasus perundungan di sekolah. Pada Januari-Juni 2023 ada 97 pengaduan yang didominasi korban perundungan di sekolah.
Masyarakat tak jarang menganggap biasa kasus perundungan, sekadar olok-olok atau candaan. Padahal, perundungan bisa menghancurkan mental anak-anak yang menjadi korban. Perundungan berdampak buruk terhadap prestasi, masa depan mereka. Tak hanya bisa menyebabkan korban sulit berkonsentrasi, bolos, bahkan putus sekolah, anak korban perundungan dua kali lebih besar kemungkinannya untuk melakukan percobaan bunuh diri (UNESCO, 2020).
Semua bentuk kekerasan yang terkait dengan sekolah melanggar hak anak-anak atas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Menciptakan lingkungan sekolah yang aman, mendukung, dan bersahabat agar siswa dapat belajar mengembangkan potensi mereka menjadi kunci untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Program Sekolah Ramah Anak sejak 2015, juga Peraturan Mendikbudristek No 46/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan, harus disertai upaya meningkatkan kesadaran akan masalah perundungan di sekolah. Guru berperan sangat penting untuk menjadikan sekolah sebagai tempat aman bagi siswa. Selain perlu mengenali jenis dan tanda-tanda perundungan, guru juga harus berdaya serta siap untuk mencegah sekaligus mengatasinya.
Namun, guru tetap membutuhkan dukungan orangtua karena pendidikan karakter yang pertama dan utama berlangsung di rumah. Guru memerlukan pula dukungan pemerintah dan pemangku kepentingan pendidikan lainnya. Dukungan ini termasuk pelatihan untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan guru menciptakan lingkungan sekolah yang aman, mendukung, dan bersahabat bagi siswa.