Pariwisata regeneratif, yang dinilai melampaui konsep pariwisata alternatif atau pariwisata berkelanjutan, menjadi angin segar bagi pengembangan pariwisata tanpa sekat kelas dan eksklusivisme pariwisata.
Oleh
FITRA SUJAWOTO
·4 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
”Investing in People, Planet, and Prosperity”, begitu tajuk Hari Pariwisata Sedunia 2023 yang diperingati setiap 27 September, setelah di tahun sebelumnya bertemakan ”Rethinking Tourism”. Sepanjang 2022, Organisasi Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNWTO, meminta seluruh pemangku kepentingan untuk memikirkan ulang tentang prinsip dan praktik industri pariwisata seusai didera pandemi Covid-19.
Beranjak ke tahun 2023, komunitas internasional, pemerintah, lembaga keuangan multilateral, mitra pengembangan dan investor di sektor swasta dituntut untuk bersinergi merancang sebentuk strategi investasi baru untuk pariwisata hijau.
UNWTO memandang pandemi Covid-19 sebagai momentum perubahan. Pandemi bukan hanya menghadirkan disrupsi dahsyat bagi sektor pariwisata, melainkan juga peluang untuk melakukan rekalibrasi tujuan dan menciptakan narasi investasi baru yang dapat sejalan dengan implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Artinya, fase post-pandemic ini juga akan menjadi penentu apakah keseluruhan industri pariwisata bisa menentukan arah yang tepat saat berada di persimpangan jalan atau tidak. Dalam kacamata Butler’s Tourism Area Life Cycle Model hanya ada dua pilihan bandul dari suatu destinasi pascafase stagnasi, yaitu rejuvinasi atau harus berakhir sepi dan tak diminati lagi.
Adakah upaya dari UNWTO itu sejalan dengan minat dan keputusan berkunjung dari wisatawan global? Dalam 2022 Sustainable Travel Report rilisan Booking.com, salah satu lokapasar perjalanan terbesar di dunia, tercatat 81 persen wisatawan global menganggap bahwa sustainable travel atau perjalanan berkelanjutan merupakan aspek yang penting bagi mereka dan 50 persen dari mereka juga menyatakan bahwa persepsinya itu dipengaruhi oleh berbagai pemberitaan terkini seputar perubahan iklim.
Data lainnya juga menyebutkan bahwa 57 persen wisatawan merasa lebih nyaman menginap di fasilitas akomodasi yang telah memiliki sertifikat berkelanjutan. Angka itu pun gayung bersambut dengan adanya upaya lebih dari 100.000 properti global untuk mendapatkan sertifikasi Travel Sustainable Badge di Booking.com.
Tentu saja ini memunculkan harapan positif bagi industri pariwisata yang sering kali dicap eksploitatif pada berbagai isu lingkungan, sosial, dan budaya. Maka, apabila betul, secara ekonomi, pariwisata global dianggap berkontribusi lebih dari 2,1 triliun dollar AS per tahun dan menyerap 1 dari 10 penduduk dunia untuk bekerja di sektor pariwisata, sudah sejauh manakah sektor pariwisata berbenah untuk berkontribusi lebih pada keberlanjutan etika lingkungan dan sosial? Atau masihkah sekat kelas dan eksklusivisme pariwisata menjadi penghambat hadirnya pariwisata hijau secara massal?
Pariwisata regeneratif
Konsep pariwisata regeneratif pertama kali dikemukakan oleh Anna Pollock dan dianggap dapat menjadi antitesa dari pariwisata massal. Pariwisata regeneratif dianggap berbeda, bahkan melampaui konsep pariwisata alternatif atau pariwisata berkelanjutan.
Apabila pariwisata berkelanjutan dikembangkan untuk mengurangi dampak negatif pariwisata, pariwisata regeneratif diupayakan untuk merestorasi, meregenerasi, bahkan meningkatkan kondisi lingkungan serta masyarakat lokal. Setidaknya ada empat konsep yang dianut oleh pariwisata regeneratif, yaitu keterlibatan komunitas, konservasi dan restorasi lingkungan, keberlanjutan ekonomi, serta pendidikan dan kesadaran.
Tawaran konsep pariwisata baru ini tentu saja bisa menjadi angin segar jika mengingat hasil kajian dari Pan Pylas dalam artikelnya The Curse of Overtourism yang mengungkapkan bahwa pariwisata massal telah berada pada titik kritisnya di tahun 2017. Kota-kota tujuan wisata utama dunia, seperti Barcelona, Dubrovnik, dan Venesia, telah mengalami parahnya dampak negatif dari pariwisata massal. Bahkan, di Venesia, mayoritas masyarakat lokal telah memutuskan meninggalkan kota asalnya itu karena merasa sudah tidak nyaman dengan ramainya kunjungan wisata.
Pariwisata regeneratif diupayakan untuk merestorasi, meregenerasi, bahkan meningkatkan kondisi lingkungan serta masyarakat lokal.
Namun, kembali lagi, apakah tawaran konsep pariwisata regeneratif itu dapat berjalan mulus pada praktiknya? Apakah pariwisata regeneratif juga dapat diakses oleh mayoritas orang yang ingin berwisata. Bukankah berbagai promosi seputar pariwisata hijau itu sering kali terbatas pada wisatawan kelas atas belaka?
Di media sosial, tak jarang tawaran atas liburan yang dibalut dengan sentuhan isu berkelanjutan, seperti makanan organik, mobil elektrik, produk atau jasa ramah lingkungan, hingga upaya filantropis hanya menyasar pangsa pasar wisatawan kelas atas, sementara kelas mayoritas dari wisatawan tetap disuguhi dengan ragam bentuk pariwisata massal. Mungkinkah ada strategi baru agar konsep pariwisata regeneratif juga dapat dirasakan oleh mayoritas wisatawan, bukan hanya terbatas pada kelas wisatawan tertentu saja?
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Warga mengisi akhir pekan mereka dengan berwisata di Pantai Batu Kora, Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, Minggu (24/9/2023).
KEK Likupang
Lalu, bagaimana dengan Indonesia yang sedang mengupayakan hadirnya lima destinasi superprioritas (DSP) yang digadang-gadang akan menjadi Bali baru? Apakah paradigma investasi hijau dan pariwisata regeneratif telah diadopsi pada proses pengembangannya? Bukankah Indonesia dengan segala potensi keanekaragaman hayati dan baharinya dapat mengambil celah momentum pascapandemi Covid-19 dan tren wisatawan global untuk menghadirkan pariwisata yang berkualitas alih-alih mengejar kuantitas?
Di Indonesia dari lima DSP, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Likupang dipilih menjadi area pengembangan pariwisata regeneratif yang mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan sosial. Dipilihnya, KEK Likupang sebagai destinasi pariwisata regeneratif bisa menjadi angin segar bagi pariwisata dunia.
Kenapa demikian? Kawasan ini bukan hanya memiliki keanekaragaman hayati dan bahari yang luar biasa karena terletak di Wallace Line dan jantung Coral Triangle, melainkan juga ditinggali oleh tiga kelompok masyarakat lokal yang sedang didorong untuk bertransformasi menjadi desa wisata, yaitu Marinsow, Pulisan, dan Kinunang.
Hadirnya tiga desa wisata di tengah kawasan wisata enklav yang biasanya cenderung eksklusif itu setidaknya memberikan harapan bahwa pariwisata berkelanjutan juga dapat diakses oleh semua kalangan wisatawan. Ini sekaligus menjadi bukti bahwa apabila biasanya sodoran nilai-nilai berkelanjutan hanya ada di resor-resor bintang lima dan kelas premium, KEK Likupang menawarkan alternatifnya, homestay desa wisata pun dapat menawarkan hal serupa, bahkan ketika berada di satu kawasan yang sama.
Pada akhirnya, apakah otentisitas, keunikan, ataupun pengalaman personal yang bersifat filantropis hanya dapat dirasakan oleh wisatawan kalangan atas saja? Jawabannya cukup sederhana, apabila prinsip serta praktik pariwisata regeneratif juga mampu mengusung semangat inklusif seperti KEK Likupang, upaya dari UNWTO untuk mengambil momentum perubahan arah wisata dunia pascapandemi Covid-19 bukanlah sekadar mimpi yang sulit untuk terealisasi. Sebab, keberlanjutan hanya akan dapat lahir melalui kesadaran bersama, bukan hadir untuk kalangan tertentu saja.