Di tengah perubahan iklim, ketahanan pangan yang ditopang produksi sangat penting. Tak cukup dengan menjaga harga dan memacu produksi terus-menerus, tetapi juga perlu diimbangi dengan menjaga bumi yang melahirkan pangan.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·3 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Foto udara areal persawahan yang mengering di Desa Sukanegara, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (16/9/2023). Kekeringan akibat fenomena kemarau dan El Nino membuat petani di sejumlah daerah merugi karena sawah mereka puso. Fenomena El Nino menguat dan diprediksi berlanjut hingga Februari 2024.
Tahun ini, Hari Tani Nasional ke-63 yang diperingati setiap 24 September sejak 1960 hadir di tengah El Nino. Fenomena iklim gelombang panas yang menyebabkan kekeringan panjang itu mengirimkan pesan bahwa pertanian di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Persoalan yang muncul tak sekadar menjaga stabilitas stok dan harga tetapi juga menjaga bumi yang melahirkan pangan.
Kekeringan panjang menyebabkan produksi gabah dan beras turun. Kementerian Pertanian memperkirakan produksi beras pada tahun ini bisa turun 1,2 juta ton jika El Nino kuat melanda. Sejumlah indikasinya sudah terlihat sejak Juli 2023, seperti menyusutnya sumber-sumber utama irigasi, gagal panen di sejumlah lumbung pangan, dan mundurnya musim tanam I.
Selain itu, harga gabah dan beras juga melambung tinggi. Berdasarkan Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional (NFA), per 24 September 2023, harga rata-rata nasional gabah kering panen (GKP) di tingkat petani dan beras medium di tingkat eceran masing-masing Rp 6.610 per kilogram (kg) dan Rp 13.090 per kg.
Harga GKP itu naik 28,55 persen secara tahunan dan 32,2 persen di atas harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 5.000 per kg untuk GKP di tingkat petani. Demikian juga harga beras yang naik 19,54 persen secara tahunan dan berada 20,09 persen di atas harga eceran tertinggi (HET) beras medium berdasarkan zonasi, yakni Rp 10.900-Rp 11.800 per kg.
Tak hanya itu, NFA melalui Perum Bulog juga kesulitan menyerap gabah petani untuk cadangan beras pemerintah (CBP) karena harganya di atas HPP. Korporasi beras bermodal besar turut mewarnai pembentukan harga dan perebutan GKP petani, sehingga membuat penggilingan-penggilingan kecil berhenti beroperasi.
Fenomena iklim gelombang panas yang menyebabkan kekeringan panjang itu mengirimkan pesan bahwa pertanian di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Petani memang diuntungkan dengan harga GKP yang tinggi. Namun, tidak semua petani merasakan. Mereka yang kehabisan simpanan gabah mau tidak mau harus membeli beras dengan harga lebih mahal.
Sementara itu, untuk menambah CBP, impor beras menjadi solusi meskipun untuk mendatangkan beras dari luar negeri saat ini cukup sulit. Ini terjadi lantaran sejumlah negara produsen beras membatasi ekspor komoditas untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Tahun ini, Bulog diminta mengimpor beras sebanyak 2 juta ton dan tinggal merealisasikan sisanya 400.000 ton. Jika tidak cukup, Bulog siap mendatangkan 1 juta ton beras dari China apabila mendapatkan penugasan dari Presiden Joko Widodo.
Semua itu berujung pada persoalan utama, yakni produksi beras. Food estate atau lumbung pangan yang dikembangkan di sejumlah daerah di Indonesia masih belum optimal. Begitu juga pengembangan padi lahan rawa dan benih padi yang lebih tahan terhadap perubahan iklim masih setengah hati dijalankan.
Yang terjadi justru menggulirkan program yang berpotensi menurunkan permukaan tanah dan unsur hara tanah. Misalnya saja, program IP400 atau empat kali tanam dan panen padi dalam setahun di lahan yang sama.
Pemilik lahan mengecek aliran air dari instalasi mesin pompa air yang tersambung dengan jaringan listrik di Desa Tangkil, Kecamatan Sragen, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Rabu (17/7/2019). Pemasangan pompa air yang tersambung dengan jaringan listrik membantu petani mengoptimalkan fungsi lahan mereka sepanjang tahun.
Selain itu, ada juga pembangunan sumur benam atau submersible berbasis pompa listrik yang menyedot air tanah dengan kapasitas cukup besar untuk mengairi sawah. Melalui sistem irigasi air tanah ini, petani dapat tiga kali menanam dan memanen padi dalam setahun.
Kedua program itu mengubah pola tanam yang semula padi-padi-palawija menjadi padi-padi-padi atau padi-padi-padi-padi. Penanaman tanpa rotasi jenis tanaman itu bisa menyebabkan unsur hara tanah berkurang. Penyedotan air tanah secara berlebihan juga berpotensi menurunkan permukaan tanah.
Tak cukup dengan memacu produksi pangan terus-menerus, tetapi perlu diimbangi dengan menjaga bumi, tanah dan air, yang melahirkan pangan.
Menjaga bumi, termasuk tanah dan air, di tengah era perubahan iklim sangat penting. Sindhunata dalam bukunya Ana Dino Ono Upo (Bentara Budaya Yogyakarta, 2008), menuliskan, perubahan iklim akibat pemanasan global telah meniadakan pranata mangsa, pedoman petani Jawa mengolah tanaman.
Pranata mangsa itu memperlihatkan suatu kekayaan yang dalam khazanah ekologi disebut the spirituality of the earth atau spiritualitas bumi. Spiritualitas bumi mengarah pada penghormatan dan apresiasi terhadap bumi dan alam tempat manusia hidup dan berada.
Saat peletakan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia, sekarang IPB University, pada 27 April 1952, Presiden Pertama RI Soekarno menyatakan pangan merupakan hidup mati bangsa. Oleh karena itu, peningkatan produksi pangan untuk rakyat tidak boleh main-main atau menjadi proyek semata.
Di tengah perubahan iklim, ketahanan pangan yang ditopang produksi sangat penting. Namun, sekali lagi, tantangannya cukup berat. Tak cukup dengan memacu produksi pangan terus-menerus, tetapi perlu diimbangi dengan menjaga bumi, tanah dan air, yang melahirkan pangan.