September adalah bulan penuh peringatan dengan 15 hari peringatan nasional dan 16 hari peringatan internasional di dalamnya.
Oleh
PURNAWAN ANDRA
·4 menit baca
September, sebuah nama bulan di antara dua belas bulan dalam satu tahun. Ia hanya hitungan angka dan hari, sama seperti bulan-bulan lainnya. Tapi September juga kerap diberi makna ”berbeda”—tergantung konteks dan kepentingannya.
Orang Jawa dulu menerjemahkan September sebagai ”sep-septane sumber”, yang berarti sekering-keringnya sumber (mata air). Ia menunjuk pada kekeringan berkepanjangan yang berpuncak di bulan ini. Di Indonesia, negeri yang hanya mengenal dua musim, September menjadi bulan penanda akan turunnya hujan yang membasahi dan menyejukkan bumi. Di belahan bola dunia lain, di negara dengan empat musim, pada bulan September mulai memasuki musim gugur, sementara di bagian selatan ekuator mulai berganti musim semi.
Di Indonesia, September juga selalu ”dirayakan”. Pusat-pusat perbelanjaan memasang promo untuk berbagai macam produknya di bulan September. Godaannya begitu menarik—dengan tema ”September Ceria” konsumen diajak membeli produk-produk yang ditawarkan.
Tema ini sendiri mengadopsi lagu ”September Ceria” ciptaan James F Sundah yang populer pada era 1980-an. Dinyanyikan oleh Vina Panduwinata, lagu itu menceritakan indahnya asmara sepasang kekasih: Di ujung kemarau panjang/Yang gersang dan menyakitkan/Kau datang menghantar berjuta kesejukan… September ceria/September ceria…. Lagu itu seakan mencipta tema abadi yang membuat lapis generasi berbeda juga turut merayakannya.
Tidak hanya lagu itu, banyak nada dan lirik lain diciptakan para musisi untuk mengenang bulan September. Band Green Day pada 26 Oktober 2005 merilis video musik ”Wake Me Up When September Ends” di Youtube yang hingga kini telah ditonton lebih dari 212 juta kali oleh warganet. Lagu tersebut menceritakan sepasang kekasih yang harus berpisah karena sang pria mengikuti wajib militer dan berperang.
Lagu ”September” dari band jazz Earth, Wind and Fire yang monumental itu diilhami sebuah peristiwa demonstrasi yang terjadi di Washington DC. September juga menjadi tema dan judul lagu-lagu dari para penyanyi mulai dari Kool & the Gang, Van Morrison, Frank Sinatra, Tony Bennett, hingga Natalie Imbruglia.
Peringatan
September tidak hanya tentang pergantian musim, kisah cinta, dan kenangan. September adalah bulan penuh peringatan dengan 15 hari peringatan nasional dan 16 hari peringatan internasional di dalamnya. September menyimpan kisah tentang lahirnya kekuatan polisi wanita yang diperingati tiap tanggal 1 September (Hari Polwan), olahraga yang menyehatkan jiwa raga (9 September, Hari Olahraga Nasional), kemajuan teknologi komunikasi (11 September, Hari Radio) dan berbagai momentum membanggakan lainnya.
Termasuk 30 September 1960 ketika Presiden Soekarno ”menggebrak” Sidang Majelis Umum PBB Ke-15 dengan mengecam PBB sebagai lembaga yang macet dan gagal menjalankan fungsinya. Menurut dia, PBB yang seyogianya bersikap netral justru lebih memihak kepada Blok Barat. Pada momentum yang sama, Soekarno juga menawarkan ide-ide dasar pemikirannya tentang Pancasila dan berharap Pancasila dijadikan landasan pemerintahan negara-negara di dunia. Di akhir September yang dingin di New York, eksistensi Indonesia diakui di kancah politik dunia.
Di September pula, kita memiliki masa gelap sebagai sebuah bangsa. September adalah bulan keramat bagi masyarakat Indonesia. Ia identik dengan kejadian bersejarah Gerakan 30 September di tahun 1965 yang tabu dan pantang didiskusikan lebih jauh. Itulah sebabnya, kita mengenal beberapa singkatan atau akronim tentangnya: G-30-S, Gestapu, atau Gestok.
KOMPAS/DUDY SUDIBYO
Sebanyak 1.331 bekas tahanan G30S/PKI gelombang terakhir dari 4.228 tahanan asal Pulau Buru yang dibebaskan Desember 1978 tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Mereka meninggalkan Buru tanggal 24 Desember 1978 dengan kapal KM Gunung Jati milik Komando Lintas Laut Militer Kolinlamil. Kemudian diadakan upacara pelepasan menuju daerah masing-masing di Gelanggang Remaja, Jakarta Utara, oleh Kastaf Laksusda Jaya Brigjen Bambang Soenardjo. Berita terkait di Kompas, 30 Desember 1978, judul amplop: Pelepasan Tahanan G-30-S/PKI”.
September dalam akronim G-30-S lebih banyak digunakan rezim Orde Baru, dilengkapi dengan tambahan PKI (Partai Komunis Indonesia) di belakangnya. Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) juga digunakan Orde Baru sebagai bagian dari propaganda untuk mengidentikkannya kepada Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman yang terkenal kejam. Gestok (Gerakan Satu Oktober) digunakan Presiden Soekarno untuk menyebut kejadian penculikan para jenderal yang dilakukan lewat tengah malam 30 September atau lebih tepatnya 1 Oktober dini hari. September tidak hanya terkait ingatan waktu, tapi juga jadi bagian politik bahasa dan ideologi. Hingga kini, kita mengenang kejadian September 1965 tetap sebagai belantara yang tak dapat disibak.
Pemaknaan terkait bulan September muncul dalam berbagai macam bentuk, hal, dan peristiwa. Jalanan, tugu, atau monumen hingga tempat-tempat publik mempunyai nama para pahlawan bulan September 1965. Tidak hanya muncul dalam bentuk fisik, diciptakan juga berbagai bentuk ritual-ritual politik mulai dari upacara lengkap dengan seluruh peringatannya, penghargaan hingga penciptaan elemen memori kepahlawanan seperti melalui buku, lagu, dan juga film. Pembangunan Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya, buku putih Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia (1968), ditabukannya lagu rakyat ”Genjer-genjer”, dan film Pengkhianatan G 30 S/PKI (1984) menjadi contohnya.
Makna
Pandangan dan pemaknaan tentang suatu peristiwa memang tidak dapat dilepaskan dari semangat zaman yang memberinya makna. September adalah medan makna yang terus-menerus diperebutkan oleh berbagai macam kepentingan. Tidak hanya dalam konteks ekonomi dan gaya hidup, tapi juga demi kepentingan politik dan ideologi.
Padahal, jika dikembalikan pada kodratnya, bulan ini tak lebih dari sebuah kurun waktu dengan struktur yang sama dengan lainnya. Tapi pemaknaan, pengartikulasian, dan penggunaannya dalam konteks kepentingan tertentu itulah yang pernah menjadikannya, seakan-akan, wingit. September rentan dikomodifikasi.
Jika kemudian kita bertanya, sebenarnya untuk apa diperingati? Jawaban yang kerap dikedepankan adalah supaya tidak lupa. Lalu apa efeknya jika sampai lupa, atau bahkan tak pernah tahu? Jawabannya bisa beragam, tergantung siapa yang menyampaikan.
Maka, jika kemudian kita bertanya, apakah pemerintah juga ikut memperingati hari wafatnya pejuang hak asasi manusia Munir Said Thalib yang meninggal sembilan belas tahun lalu, seperti yang dilakukan masyarakat dan para aktivis HAM pada 7 September lalu?