Kini yang dibutuhkan adalah museum yang bisa menjadi ikon dari keseluruhan bangsa Indonesia.
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
HERYUNANTO
Jean Couteau
Ketika Presiden Joko Widodo, waktu itu masih Wali Kota Solo, mengunjungi Opera House Sydney, beliau pernah berangan-angan membuat suatu megamonumen yang bisa dijadikannya ikon kota Solo dan menyaingi ikon internasional kota-kota yang lain. Karena masalah dana, angan-angan ini belum bisa terlaksana.
Petaka yang menimpa Museum Nasional pada Sabtu, 16 September, yang lalu merupakan kesempatan untuk memikirkan kembali gagasan gedung monumental. Kenapa? Oleh karena, suka tidak suka, harus disadari bahwa museum yang hampir hangus ini tidaklah memenuhi syarat sebagai museum nasional: bukan karena tidak memenuhi syarat kelistrikan atau apa, melainkan karena tidak memenuhi syarat politik kebangsaan yang sesungguhnya.
Kini yang dibutuhkan adalah museum yang bisa menjadi ikon dari keseluruhan bangsa Indonesia. Boleh kita mengagumi koleksi-koleksi Museum Nasional, tetapi apakah museum tersebut mewakili keseluruhan bangsa ini? Atau meminjam istilah yang disenangi Jokowi, apakah museum ini Indonesiasentris?
Tidak, Museum Nasional sebaliknya bersifat kelewat Jawasentris, terfokus pada ”keunggulan” budaya Jawa sebagaimana hadir pada masa Mataram Hindu-Buddha, pada masa Majapahit, dan pada masa Demak, Mataram Islam, atau pada budaya-budaya yang ter-jawa-kan lainnya, yaitu Bali, Sunda, dan Madura.
Museum yang didirikan Belanda pada 1778 sebenarnya mencerminkan prasangka umum Belanda dua ratus lima puluh tahun yang lalu: Belanda mulai menghormati budaya klasik luar Eropa, di dalam hal ini budaya Jawa, tetapi menganggap remeh budaya ”tribal” dari daerah lain di Nusantara.
Sejatinya, satu museum Indonesia modern harus menampung baik warisan dari budaya-budaya tribal tanpa sistem penulisan ataupun warisan dari budaya-budaya klasik dengan sistem penulisan.
Dengan lain kata, museum nasional yang sesungguhnya harus menjadi ikon dari keseluruhan bangsa, yaitu harus Indonesiasentris. Namun, di mana mencari ciri-ciri khas Indonesiasentris ini?
Menurut saya, pada sejarah pengembaraan antarpulau dalam kisah-kisah lama. Pada perahu yang berlayar dari pulau ke pulau, dari tempat merapat yang satu ke tempat merapat yang lain. Ketika berlayar, apakah pengembara laut zaman purba hendak menghapus budaya-budaya yang ditemuinya, seperti kerap dilakukan oleh bangsa-bangsa pengembara di benua daratan?
Tidak. Mereka ingin bertukar, ingin berdagang hingga pada akhirnya melebur di dalam budaya yang bersangkutan. Maka, ciri paling khas dan paling kuno dari budaya Indonesia bukanlah unsur Buddha, Hindu, Islam, tribal, atau lain-lainnya itu; ciri khas yang sesungguhnya adalah kecenderungan untuk lebih mengutamakan persamaan kultural daripada perbedaan, atau kecenderungan untuk meminorkan unsur yang berbeda demi mencapai persatuan—tanpa penyatuan. Itulah yang seyogianya menjadi inspirasi dari museum nasional yang hendak dibangun di masa depan.
Koleksi-koleksi museum pun harus mencerminkan spirit Indonesiasentris di atas: di samping karya-karya klasik Jawa/Bali dan Sumatera Selatan, koleksi hendaknya dilengkapi dengan karya agung seni tribal (Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sumatera, Papua, dan lain-lain). Ada pula kelengkapan wastra atau koleksi tekstil. Dua elemen budaya Indonesia yang selama ini dikagumi oleh dunia internasional dan, anehnya, diabaikan oleh orang Indonesia sendiri.
Konsep Indonesiasentris ini hendaknya juga tecermin atau paling sedikit tersirat juga di dalam bentuk arsitekturalnya. Lebih-lebih harus museum mahabesar; yang desainnya ditentukan melalui tender internasional agar betul-betul ikonik, seperti Museum Guggenheim di Bilbao atau Museum Seni Islam di Qatar.
Apabila kini sudah telat untuk menawarkan agar museum ini menjadi warisan Presiden Jokowi, hendaknya dijadikan warisan penerusnya. Hendaknya juga dibiayai dan dikelola secara otonom agar dapat bekerja sama dengan pihak asing dalam hal kurasi dan pertukaran koleksi.
Lokasinya? Apakah harus di Jakarta. Justru, belum tentu! Jika betul-betul Indonesiasentris bukankah lebih baik dibangun di Jawa Tengah, misalnya di perbatasan Yogyakarta-Solo. Karena bukankah sudah saatnya orang Jawa belajar barang sedikit tentang budaya-budaya Minang, Batak, Dayak, Sulawesi, Maluku, Papua, dan lain-lain sebagai penyumbang hal ihwal kultural yang patut dikagumi pula.
Indonesia tidak akan dipandang sebagai negara besar selama kekayaan kulturalnya tidak diiringi museum yang setara dengan kebesarannya. Maka, harus selesai sebelum 2045.