Menghidupi Spirit Eko Prawoto
Dalam praktik berarsitektur, Eko Prawoto konsisten mengedepankan lokalitas Nusantara yang berpijak pada alam dan nilai-nilai kemanusiaan. Dia telah pergi, tetapi spiritnya menunggu untuk terus dihidupi dan ditumbuhkan.

Ilustrasi
Hidup harus dirayakan
Daya hidup harus diwartakan
Jejak panjang hidup adalah sukacita keindahan
(Eko Agus Prawoto)
Berarsitektur adalah perjalanan pencarian dan ziarah panjang kemanusiaan untuk menemukan kembali kebenaran dari akar tradisi. Sampai menjemput takdir, Rabu, 13 September 2023 pukul 19.15, Eko Prawoto (65), arsitek yang paling banyak mewarisi pemikiran YB Mangunwijaya itu, kukuh pada prinsip bahwa arsitektur seharusnya digunakan untuk merawat nilai-nilai hidup.
”Semua boleh berubah, tetapi perasaan kita pada ibu, pada langit, pada pohon, pada alam, akan tetap sama,” ujar Eko, setiap mengingat gurunya, Dr Balkrishna V Doshi, saat belajar di Berlage Institute, Belanda, 1991-1993. Artinya, arsitektur tak boleh sewenang-wenang, seakan-akan semua hal bisa diatur dan dimanipulasi. Kejujuran dan kerendahan hati dalam berarsitektur melampaui segala bentuk rancangan karena intervensi selalu bersifat sementara.
Sebagai arsitek praktisi, pertanyaan Eko adalah, apakah kita masih memiliki kerendahan hati untuk belajar dan memaknai pengalaman yang sudah pernah ada; apakah kepekaan kita mampu melihat dan menangkap kebenaran dari nilai-nilai yang baik itu; atau karena tidak gemerlap, maka kita membiarkan tradisi itu lenyap.
Baca juga: Mengenang Eko Prawoto, Arsitek yang Tak Henti Mencari Akar Budaya
Dunia arsitektur Indonesia mencatat nama Eko Prawoto sebagai satu dari sedikit arsitek yang perhatiannya terfokus pada kampung dan desa. Dalam praktik berarsitektur, dia konsisten mengedepankan lokalitas Nusantara yang berpijak pada alam dan nilai-nilai kemanusiaan, termasuk sikapnya kepada tukang, yang disebutnya sebagai ”teman” karena di tangan mereka rancangannya bisa diwujudkan.
Eko mendayagunakan bahan-bahan yang bersifat alami, seperti bambu, kayu, batu alam, dan elemen daur ulang, seperti batu bata bekas, pecahan keramik bekas, hingga kusen dan daun pintu bekas.
Selama lebih 10 tahun terakhir, Eko membawa bambu ke panggung internasional dalam biennale seni di sejumlah negara. Membawa tukang kayu dengan keterampilan menggarap bambu juga mempromosikan keahlian unik dari tradisi Nusantara.
Bagi Eko, bambu bukan sekadar tanaman. Ada berbagai dimensi terkandung dalam bambu, termasuk dimensi spiritualnya. Orang Jawa menyebut bambu sebagai deling, kependekan dari ’kendel lan eling’, berani dan eling. Orang Jawa mengenal bambu dari lahir sampai akhir kehidupannya.

Arsitek Eko Prawoto
Pijar jiwa
Bagi Eko, hierarki tertinggi dalam berarsitektur adalah alam. Maka, berarsitektur membutuhkan pijakan kokoh yang menyatu dengan nilai-nilai kebaikan hidup.
”Tidak mudah,” ujarnya suatu hari, ”Merunut akar seperti menapaki jalan sunyi, penuh ketidakpastian. ”Namun, ada pijar yang senantiasa memanggil, yaitu kehidupan tradisi yang terbentang panjang dalam ruang dan waktu. Di dalamnya ada banyak aspek yang benar dan kebenaran inilah yang diupayakan untuk ditemukan kembali. Ini adalah bagian dari ziarah panjang kemanusiaan kita.”
Dalam perjalanan kemudian, tak sulit menengarai bahwa ia belajar banyak dari warga desa dan orang ”biasa”. Ketika Daerah Istimewa Yogyakarta diguncang gempa, Sabtu, 27 Mei 2006, bersama Rina, istrinya, beserta tim, Eko bertolak ke Ngibikan, Kabupaten Bantul, desa para tukang, yang luluh lantak dan menewaskan 28 warga.
Bagi Eko, hierarki tertinggi dalam berarsitektur adalah alam. Maka, berarsitektur membutuhkan pijakan kokoh yang menyatu dengan nilai-nilai kebaikan hidup.
Eko duduk di tanah bersama Maryono, ketua RT, mencoba mengais harapan yang tersisa di antara reruntuhan. Kemudian, dibantu dana dari Harian Kompas, proses pembangunan kembali dikerjakan dengan berbasis komunitas (community based village reconstruction). Target terlampaui, dari 65 runit menjadi 110 unit dengan tambahan 45 unit untuk desa sebelah, termasuk rumah bagi warga yang homeless. Rumah terbangun lagi, harapan bertumbuh.
Rekonstruksi Desa Ngibikan adalah karya Eko Prawoto yang tercatat dalam sejarah warga desa, masuk dalam short lists penghargaan The Aga Khan Award for Architecture 2010.

Arsitek Eko Prawoto di rumahnya di Yogyakarta.
Belajar dari kehidupan
Eko mengamati budaya Nusantara yang sangat bergantung pada alam bergeser karena pengaruh pemikiran industri. Dalam keseharian, hubungan antarmanusia semakin mekanistik, transaksional, bahkan eksploitatif. Nilai simbolik kebersamaan, srawung, terkikis
Beberapa tahun sebelum pensiun pada 2014, dia tiba di satu titik yang membuatnya harus menjawab pertanyaan eksistensial: ”Apa manfaat keberadaan saya di dunia ini?”
Dia ingin memproduksi pengetahuan. Selama 30 tahun mengajar, dia merasa tidak menambah body of knowledge di bidang arsitektur.
Beberapa universitas di luar negeri menawarinya program khusus untuk riset dan mengajar di sana. Namun, Eko memilih belajar dari kehidupan, di mana mata air pengetahuan tak pernah kering.
Dia kembali ke desa karena ingin menemukan akar tradisi yang punya ikatan khusus dengan bumi. Orang Jawa menjalaninya dengan ’laku’, ’nglakoni’, mengalami.
Dia kembali ke desa karena ingin menemukan akar tradisi yang punya ikatan khusus dengan bumi.
Selama berpuluh tahun, desa dianggap sebagai wilayah yang tak perlu ditengok. Padahal, desa merupakan sumber pengetahuan. Budaya pertanian merupakan platform besar dari sebagian budaya Nusantara. Kedekatan dengan alam telah menumbuhkan hubungan erat dalam kesadaran akan kebaikan hidup bersama.
Akan tetapi, desa terus direngsek kebudayaan urban. Semua berubah, termasuk pola konsumsi. Kebudayaan agraris luntur. Kemampuan mengolah alam dan menciptakan peralatan kerja juga semakin tergulung dinamika perubahan oleh teknologi dan desakan pasar global.
Eko mencoba menganyam kembali remah-remah nilai yang seharusnya menjadi dasar pemikiran tentang keberlanjutan yang lebih otentik, yang digali dari dalam.
Di rumahnya, dia membuat semacam museum alat-alat pertukangan desa. Seperti memori kolektif yang disajikan ulang, yang bisa dipelajari lagi oleh siapa pun. Eko menyebutnya Museum of the Ordinary things; sebuah simpul kecil di Desa Banjararum, Kulon Progo, suatu prakarsa awal yang mengajak kita merawat akar budaya, masa lalu, sekaligus masa depan bersama.
Baca juga: Arsitektur Nusantara Penting dan Perlu Dipertahankan
Tekadnya menemukan kembali akar tradisi dan pilihan bermukim di desa bukan tanpa konsekuensi. Dusun Kedondong, Kulon Progo berada di wilayah rawan gempa dan longsor. ”Koreksi alam atas bentuk rekaan,” kata Eko. ”Pelajaran penting bagi saya yang pengetahuannya belum genap satu putaran musim.”
Eko telah mengakhiri pertandingan hidup dengan baik. Banyak hal sedang dia kerjakan, banyak cita-cita dia tinggalkan. Dia pergi, tetapi spiritnya menunggu untuk terus dihidupi dan ditumbuhkan melalui siapa pun yang meyakini bahwa alam adalah ibu dari segala kebudayaan.
Terimakasih, Eko Prawoto.
Maria Hartiningsih, Penulis, Jurnalis Harian Kompas 1984-2015
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F22%2F5b965015-6591-42ec-bb62-e10d595b8849_jpg.jpg)
Maria Hartiningsih